Sang Penyanyi dan Putarannya yang Menakjubkan
Oleh: Bagus Sulistio
“Selain suaranya bagus, goyangnya juga menggoda,” ujar temanku.
“Ah, kamu ini. Kalau otaknya kotor ya seperti ini nih. Pikirannya tidak pernah benar,” balasku sambil terus melihat penampilan Bunga yang berada di atas panggung. Sebenarnya bukan hanya aku saja yang sepasang matanya terus memperhatikan Bunga, ada puluhan bahkan ratusan pasang mata yang melihat Bunga bergoyang. Kebanyakan dari mereka adalah kaum Adam.
Ya, laki-laki memang selalu membutuhkan hiburan. Baik laki-laki yang masih membujang maupun yang sudah beristri, kami berkumpul menjadi satu di lapangan ini. Demi untuk melihat sang biduan terkenal tampil, kami rela berdesak-desakan. Tidak jarang ada yang kehilangan uang atau barang berharganya karena sibuk menatap terus wanita tersebut.
“Masih kuat digoyang Bang?” tanya Bunga melalui mic yang ia pegang. Seketika kami, penontonnya kompak menjawab “iya!” agar Bunga terus menampilkan suara dan goyangnya.
Intro dimainkan, Bunga bergoyang memancing hasrat para penontonnya. Dengan You Can See hitam dan rok setinggi pertengahan paha, ia meliuk-liukkan pinggul dan punggungnya. Semua orang yang berada di lapangan terpukau melihat tubuhnya.
Ada salah satu di antara kami nekad menaiki panggung. Satpam yang berjaga di atas panggung sempat ingin mengusirnya, kalau-kalau ia melakukan hal yang buruk. Namun ia hanya ingin bergoyang bersama Bunga dengan saweran sebagai balasannya.
Nampaknya tindakan laki-laki itu memancing laki-laki lain untuk turut naik ke atas panggung. Satu per satu dari mereka memanjat. Belasan hingga hampir tiga puluh orang bergoyang di atas panggung.
Salah satu dari mereka adanya mencoba mendekati tubuh Bunga yang sedang bergoyang. Ia menempelkan badannya ke tubuh biduan itu sambil memberikan uang pecahan seratus ribu rupiah.
Sebenarnya hal tersebut membuat risih Bunga, akan tetapi demi uang yang datang, Bunga tetap pasrah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu. Hingga kepasrahannya memancing laki-laki untuk melakukan hal yang sama. Sampai-sampai belasan laki-laki mengepung dan menghimpit tubuh Bunga hingga tak terlihat lagi.
***
Ia berjalan membungkuk di atas panggung. Bibir indahnya ditempelkan ke mic yang barusan ia ambil. Matanya sempat menyorot ke penonton yang hadir. Namun hal itu terjadi sejenak. Pandangannya tertunduk kembali. Sambil menunduk, ia menarik nafas dalam-dalam bersiap untuk mengeluarkan suaranya.
“Allahuma sholli wa salim ala saidina Muhammadin…“
Semua orang menjawab shalawatnya. Tanpa terkecuali. Dengan mata basah berkaca-kaca mereka mengangkat kedua tangan mereka. Umpatan kerinduan, teriakan rasa cinta keluar dari mulut mereka.
Ketika ia mulai bersholawat dengan lagu Assalamu ‘alaika zainal anbiya, semua orang menirukan. Burung-burung malam terbang di atas panggung. Mengelilingi perempuan yang ada di dalamnya. Bunyi musik dan nyanyiannya berjalan beriringan menuju telinga mereka. Telinga manusia bahkan ke hewan seperti burung sekalipun. Perpaduan suara mengubah atmosfer suasana menjadi syahdu. Malam yang indah dan sangat sayang jika dilewatkan.
Sholawat demi sholawat dilantunkan terus olehnya. Penontonnya tidak bosan-bosan melihat dan mendengarkannya. Alangkah indahnya malam itu. Perempuan yang menyerupai bidadari surga datang menghibur mereka dengan kecintaan dan kebaikan.
Setelah hampir dua jam melantunkan sholawat-sholawat, perempuan itu beranjak dari duduknya. Hal itu disusul oleh kedatangan seorang lelaki berjubah putih. Jubah besar dengan bagian bawah yang sangat lebar menambah keanggunan lelaki itu. Jenggotnya yang panjang sejengkal pun turut menambah karismatiknya. Topi kerucut berwarna putih dengan dililit sorban putih menghiasi kepalanya. Kedatangannya sungguh membuat orang-orang menangis bahagia.
Sejak kedatangan lelaki itu, perempuan yang tadinya duduk sambil melantunkan shalawat kini berdiri mematung. Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.
“Mari kita lanjutkan bershalawat. Agar kekasih kita lebih mencintai kita karena shalawat yang dilantunkan,” ujar lelaki itu dengan mic yang barusan ia ambil.
“Shollu alannabi Muhammad,” lelaki itu memulai sholawat. Sebuah lagu shalawat Ya nabi salam alaika dilantunkannya. Semua orang di sana melakukan hal yang sama seperti apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, menirukan semua lantunan shalawat dari orang yang berada di panggung.
Di panggung yang sama, perempuan yang tadinya berdiri mematung kini mulai bergerak. Ia melakukan putaran demi putaran. Tubuhnya berputar layaknya gangsing. Semakin cepat alunan tempo shalawat yang lelaki itu lantunkan, semakin cepat pula putaran sang perempuan tersebut. Begitu juga dengan sebaliknya.
Perempuan itu terus berputar ketika shalawat-shalawat terus dinyanyikan. Ia baru akan berhenti jika tidak ada shalawat yang terdengar ke telinganya. Tidak sedikit pun darinya tampak rasa pusing atau mual atas gerakan berputarnya. Ia begitu terlihat indah dan menakjubkan tatkala berputar.
Hingga tengah malam tiba, sang lelaki menghentikan lantunan shalawatnya. Begitu juga dengan sang perempuan itu, menghentikan tarian berputarnya. Semua orang sedih atas selesainya dua pertunjukan yang menakjubkan itu. Mereka merasa enggan pulang ke rumah masing-masing. Tapi tidak ada yang diharapkan lagi. Pertunjukan sudah selesai.
***
“Aku merasa tidak tenang menjadi penyanyi dangdut,” ujar Bunga kepadaku.
“Bukankah menjadi penyanyi dangdut menjanjikan?”
“Apakah tujuan dari hidup hanya untuk mencari uang?” ucapnya sambil menatapku nanar.
“Tolong bantu carikan aku tokoh agama yang bisa menyejukkan rohaniku,” pintanya.
Aku merasa heran dengan Bunga. Setelah manggung, sifatnya berubah. Ia terlihat gelisah ketika berada di kumpulan para lelaki. Hal itu tidak seperti biasanya ketika tempo hari. Biasanya ia tidak rikuh dan gelisah ketika didekati para lelaki. Namun, malam ini ia sangat berbeda.
Seperti yang ia pinta. Kebetulan aku mempunyai kenalan seorang kyai yang alim ilmunya, baik perangainya dan arif keputusannya. Kuceritakan dirinya terhadap Bunga. Tanpa bertanya-tanya lebih lanjut tentang dirinya, Bunga memintaku untuk menghantarkannya kepada kenalanku itu.
Dengan masih menggunakan pakaian panggungnya, Bunga kuhantarkan ke kyai tersebut. Ia tidak malu menunggangi motor butut milikku. Yang dipikirkannya hanya ingin bertemu sang kyai. Untung saja rumah kyai itu tidak terlalu jauh. Cukup setengah jam perjalanan untuk sampai ke sana.
“Silahkan duduk dulu,” sambut kyai tersebut.
Memang betul kata orang-orang dan dugaanku, ia adalah orang yang sangat ramah dan baik. Walaupun kami bertamu dengan pakaian yang kurang sopan, tapi ia tetap menyambut kami. Sungguh, ia tidak pandang bulu terhadap orang-orang. Semua orang dilayani dan diperlakukan dengan sama. Hal itu membuat Bunga menjadi lebih leluasa untuk bercerita keluh kesahnya.
“Oh begitu ceritanya,” ujarnya sambil mengelus-elus jenggotnya yang cukup panjang.
“Kalau kamu ingin berubah, kamu mondok di sini dulu. Mau kan?”
“Iya saya mau sekali.”
“Baguslah kalau begitu.”
Setelah berbincang-bincang dengan Bunga, kyai itu memanggil seseorang. Perempuan berjubah besar dengan rok sangat lebar mendatanginya. Perempuan itu berjalan perlahan menghampiri sang kyai dengan pandangan tetap menunduk.
“Nduk, bawa Mbak Bunga ke dalam,” perintah sang kyai ke perempuan yang barusan datang.
Perempuan itu menggandeng Bunga dengan lembut. Ia membawa Bunga masuk ke ruangan sebelah. Sebenarnya aku penasaran kenapa Bunga harus dibawa. Akan tetapi, kusimpan rasa penasaran itu demi temanku, Bunga.
Kini tinggal hanya ada kyai itu dan aku di ruang tamu. Aku begitu rikuh berhadapan dengannya. Namun ia tetap saja mengakrabkan diri agar aku tidak terlalu kaku terhadapnya.
“Sekarang Mbak Bunga di sini dulu. Kalau Mas mau ikut di sini, ya tidak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Tidak kyai. Saya hanya mengantarkannya saja. Dan sebentar lagi saya akan pulang.”
Setelah berpamitan dengan sang kyai. Aku tidak pernah bertemu temanku lagi. Ia juga menghilang dari dunia perdangdutan. Dan aku sampai saat ini tidak tahu bagaimana kabarnya dan dimana dirinya.
Tentang Penulis
Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ.
Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai Bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasi dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka, Kompas id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi. Nomor Hp/WA 083126620440. Facebook: Bagus Sulistio.