Kumpulan Masa Lalu di Tubuh Seseorang
Oleh: Jemi Batin Tikal
Pacarnya
mengajak bertemu empat mata. Yang kemudian ia sadari itu adalah pertemuan enam
mata. Rosi, gadis manis yang sudah ia pacari selama dua tahun, menggandeng
seorang polisi. Gagah dan tampan dalam artian sebenarnya. Rosi membawa kabar
yang membuat dada laki-laki manapun akan rubuh. Katanya, ia ingin mengakhiri
hubungan dengan Achri. Rosi hendak menikah, sedangkan Achri membuatnya
terlampau lama menunggu. Kau tahu, menunggu adalah kutukan. Salah satu hal
paling membosankan di alam semesta. Dan tak seorang pun ingin terjebak dalam
dimensi yang tak pasti dan mengkhawatirkan itu, termasuk Rosi.
Masih dengan gaya yang sama seperti
datang, Rosi pun pergi. Achri seperti bermimpi. Berkali-kali ia menyesap kopi
yang dipesannya. Seperti kopi manapun di dunia ini, rasanya tentu pahit,
kecuali ditambah gula, susu, atau pemanis apa pun. Pahit, kata yang paling pas
disesap lidah pemuda yang memiliki wajah lugu, mendekati tolol itu. Begitu pula
rasa yang membasahi dadanya. Pahit, semakin pahit. Achri merasa, Rosi datang
bagai hantu seram, yang pergi dengan samar-samar. Meninggalkan seutas getar
ketakutan di jiwanya.
Kopi tandas, tinggal ampas. Dan ia
tetap saja merasa bermimpi. Tapi, satu hal Achri sadari, puisinya kalah dengan
polisi. Ia ingat kalimat yang diucapkan Rosi, saat puisinya pertama kali
diterbitkan sebuah koran lokal yang hampir bangkrut. Honornya cuma cukup untuk
membeli dua liter bensin, dua mangkok bakso, dan empat bungkus mi instan
murahan. “Teruslah menulis puisi, tidak apa-apa.” Terngiang-ngiang di
telinganya hingga beberapa tahun kemudian.
Ya, puisi memang tak mampu
menyelamatkan apa pun. Polisi tentu adalah pilihan yang masuk akal. Berguna
untuk negara. Sedangkan dirinya, yang hampir berusia seperempat abad, tak
berguna bagi apa pun, seperti harapan kedua orang tuanya, seperti harapan
dunia, ketika ia pertama kali terlahir. Lagi pula, apa istimewanya puisi, di
dalam masyarakat yang masih gemar bergosip, pikirnya putus asa. Puisi hanya
ditulis orang-orang iseng, yang putus asa memandang dunia beserta
tetek-bengeknya, tak mampu diubah, juga oleh kata-kata. Tolol, ya, tolol,
pikirnya, jungkir balik bahkan sampai nungging menemukan metafora, rima-irama tepat,
yang tak menghasilkan apa pun untuk dibanggakan.
menyelamatkan apa pun. Polisi tentu adalah pilihan yang masuk akal. Berguna
untuk negara. Sedangkan dirinya, yang hampir berusia seperempat abad, tak
berguna bagi apa pun, seperti harapan kedua orang tuanya, seperti harapan
dunia, ketika ia pertama kali terlahir. Lagi pula, apa istimewanya puisi, di
dalam masyarakat yang masih gemar bergosip, pikirnya putus asa. Puisi hanya
ditulis orang-orang iseng, yang putus asa memandang dunia beserta
tetek-bengeknya, tak mampu diubah, juga oleh kata-kata. Tolol, ya, tolol,
pikirnya, jungkir balik bahkan sampai nungging menemukan metafora, rima-irama tepat,
yang tak menghasilkan apa pun untuk dibanggakan.
Puisi, meski tak mampu menyelamatkan
orang lain atau dunia, setidaknya mampu menyelamatkan penulisnya. Taek kucing,
umpatnya. Ia kini membenci kata-kata bijak yang ditulis seorang, yang dikenal
sebagai cerpenis dan novelis. Buktinya, puisi bahkan tak mampu mencegah
pacarnya pergi. Sepotong kalimat motivasi basi-basi yang diucapkan pacarnya dua
tahun lalu, awal mereka pacaran, kini terasa memuakkan.
orang lain atau dunia, setidaknya mampu menyelamatkan penulisnya. Taek kucing,
umpatnya. Ia kini membenci kata-kata bijak yang ditulis seorang, yang dikenal
sebagai cerpenis dan novelis. Buktinya, puisi bahkan tak mampu mencegah
pacarnya pergi. Sepotong kalimat motivasi basi-basi yang diucapkan pacarnya dua
tahun lalu, awal mereka pacaran, kini terasa memuakkan.
Achri masih termenung di meja kafe
itu, pandangannya kosong, seolah dari kejauhan sana, seseorang yang entah siapa,
mengirimkan mantra-mantra, agar ia nampak bodoh malam itu. Dan memang
kenyataannya, ia memang bodoh malam itu, bahkan bodoh sejak dua tahun lalu,
atau mungkin ia bodoh sejak masih berbentuk benih. Benih yang berlomba-loma
berenang mencapi garis akhir, hasrat dipeluk hangat sel telur. Benih yang
terengah-engah dan bangga sebab mampu mengalahkan milyaran bahkan jutaan benih
lainnya. Kebanggan yang nantinya bakal disesali. Terlahir adalah kutukan.
Bodoh, pikirnya, dulu menyepakati perjanjian dengan Tuhan untuk dilahirkan.
itu, pandangannya kosong, seolah dari kejauhan sana, seseorang yang entah siapa,
mengirimkan mantra-mantra, agar ia nampak bodoh malam itu. Dan memang
kenyataannya, ia memang bodoh malam itu, bahkan bodoh sejak dua tahun lalu,
atau mungkin ia bodoh sejak masih berbentuk benih. Benih yang berlomba-loma
berenang mencapi garis akhir, hasrat dipeluk hangat sel telur. Benih yang
terengah-engah dan bangga sebab mampu mengalahkan milyaran bahkan jutaan benih
lainnya. Kebanggan yang nantinya bakal disesali. Terlahir adalah kutukan.
Bodoh, pikirnya, dulu menyepakati perjanjian dengan Tuhan untuk dilahirkan.
Lalu, lahirlah benih tolol itu,
selepas sembilan bulan meringkuk malas di dalam perut perempuan. Achri percaya,
ketika dilahirkan, ialah puncak kejayaan perlombaannya. Oksigen, udara luar,
detak jantung, adalah hadiah besar yang ia terima dari sang kehidupan. Tapi,
tentu dugaan dan kepercayaan prematur itu, perlahan memudar seiring umurnya
bertambah. Apalagi setelah ia berusia remaja, lalu beralih ke fase dewasa.
Kemenangan taek kucing, pikirnya kesal.
selepas sembilan bulan meringkuk malas di dalam perut perempuan. Achri percaya,
ketika dilahirkan, ialah puncak kejayaan perlombaannya. Oksigen, udara luar,
detak jantung, adalah hadiah besar yang ia terima dari sang kehidupan. Tapi,
tentu dugaan dan kepercayaan prematur itu, perlahan memudar seiring umurnya
bertambah. Apalagi setelah ia berusia remaja, lalu beralih ke fase dewasa.
Kemenangan taek kucing, pikirnya kesal.
Melamun, nampaknya adalah bagian
dari ledakan waktu yang tak terasa. Lamunan yang singkat itu, telah menguras
waktu kurang lebih empat jam. Jam bundar pendiam di dinding kafe menunjukkan
pukul 12 malam. Pelayan kafe, membereskan sisa pelanggan lain di meja. Sindiran
halus. Namun, bagi Achri, dalam keadaannya yang jadi pesakitan cinta. Aktivitas
membersihkan meja itu adalah sindiran keras dan ia merasa seluruh dunia
membencinya. Menoleh kiri-kanan, melompong, dialah pelanggan yang belum pulang.
Dengan menahan gejolak di dadanya agar tak tumpah di mata. Achri membayar ke
kasir dengan tangan gemetaran. Petugas kasir menduga ia terlalu lama terpapar
AC dan kedinginan.
dari ledakan waktu yang tak terasa. Lamunan yang singkat itu, telah menguras
waktu kurang lebih empat jam. Jam bundar pendiam di dinding kafe menunjukkan
pukul 12 malam. Pelayan kafe, membereskan sisa pelanggan lain di meja. Sindiran
halus. Namun, bagi Achri, dalam keadaannya yang jadi pesakitan cinta. Aktivitas
membersihkan meja itu adalah sindiran keras dan ia merasa seluruh dunia
membencinya. Menoleh kiri-kanan, melompong, dialah pelanggan yang belum pulang.
Dengan menahan gejolak di dadanya agar tak tumpah di mata. Achri membayar ke
kasir dengan tangan gemetaran. Petugas kasir menduga ia terlalu lama terpapar
AC dan kedinginan.
Di luar, motor matik butut
murahannya, terlihat menyedihkan, sama seperti yang punya. Achri setengah
melamun ketika menyetir menuju pulang. Ia mengenang jalan-jalan yang pernah ia
lalui sembari membonceng Rosi. Ingatan yang menambah kepedihan dan kenyataan
buruk malam ini. Wajahnya yang tolol bertambah kadar ketololannya, sebab muram
dan pucat. Achri lunglai di pemberhentian lampu merah. Dalam kesadaran yang tak
penuh, suara klakson mobil di belakangnya, ia kira peringatan jika lampu telah
hijau. Ia melaju. Dan sebuah sedan hijau tosca menyambar tubuh kurus dan motor
bututnya dari arah kanan. Terpental 15 meter. Tubuhnya yang ringan
melayang-layang menghempas aspal jalanan yang dingin.
murahannya, terlihat menyedihkan, sama seperti yang punya. Achri setengah
melamun ketika menyetir menuju pulang. Ia mengenang jalan-jalan yang pernah ia
lalui sembari membonceng Rosi. Ingatan yang menambah kepedihan dan kenyataan
buruk malam ini. Wajahnya yang tolol bertambah kadar ketololannya, sebab muram
dan pucat. Achri lunglai di pemberhentian lampu merah. Dalam kesadaran yang tak
penuh, suara klakson mobil di belakangnya, ia kira peringatan jika lampu telah
hijau. Ia melaju. Dan sebuah sedan hijau tosca menyambar tubuh kurus dan motor
bututnya dari arah kanan. Terpental 15 meter. Tubuhnya yang ringan
melayang-layang menghempas aspal jalanan yang dingin.
Mobil sedan yang menciumnya, pergi
tak peduli, mirip yang dilakukan Rosi. Beberapa warga sekitar dan para
gelandangan yang penasaran mengerubungi tubuh menyedihkan itu. Orang-orang yang
masih memiliki perasaan sebesar biji zarah, yang iba melihatnya tak berdaya
bagai seekor kucing buduk, menggotong dirinya ke rumah sakit terdekat.
tak peduli, mirip yang dilakukan Rosi. Beberapa warga sekitar dan para
gelandangan yang penasaran mengerubungi tubuh menyedihkan itu. Orang-orang yang
masih memiliki perasaan sebesar biji zarah, yang iba melihatnya tak berdaya
bagai seekor kucing buduk, menggotong dirinya ke rumah sakit terdekat.
Para dokter dan perawat yang lelah
bekerja seharian, hendak menolak tubuhnya yang hampir mirip seonggok tai
ketimbang daging. Namun, atas dasar kutukan kode etik, dengan keadaan terpaksa
mereka menerima onggokan tai itu. Membawanya ke ruangan yang segalanya putih.
Selang oksigen dipasang, onggokan tai itu dingin, tak menampakan gerak apa pun.
Setelah selesai melakukan prosedur yang biasa dilakukan untuk pasien kritis.
Dokter dan perawat meninggalkan onggokan tai itu, pastinya tak ada orang yang
ingin berlama-lama berada di dekat tai, bukan?
bekerja seharian, hendak menolak tubuhnya yang hampir mirip seonggok tai
ketimbang daging. Namun, atas dasar kutukan kode etik, dengan keadaan terpaksa
mereka menerima onggokan tai itu. Membawanya ke ruangan yang segalanya putih.
Selang oksigen dipasang, onggokan tai itu dingin, tak menampakan gerak apa pun.
Setelah selesai melakukan prosedur yang biasa dilakukan untuk pasien kritis.
Dokter dan perawat meninggalkan onggokan tai itu, pastinya tak ada orang yang
ingin berlama-lama berada di dekat tai, bukan?
Sebab mereka bukan keluarga dan tak
memiliki ikatan emosional apa pun terhadap Achri. Mereka tak berharap apa-apa
kepada Tuhan. Kecuali, dua hal, semoga Yang Maha Esa tak menyiksanya
berlama-lama dan tentunya tak menguras energi dan kantong keluarganya. Mereka
berharap semoga besok pagi, saat matahari merekah cerah, onggokan tai itu sudah
ditutup tanah, tak menyusahkan orang lain lagi.
memiliki ikatan emosional apa pun terhadap Achri. Mereka tak berharap apa-apa
kepada Tuhan. Kecuali, dua hal, semoga Yang Maha Esa tak menyiksanya
berlama-lama dan tentunya tak menguras energi dan kantong keluarganya. Mereka
berharap semoga besok pagi, saat matahari merekah cerah, onggokan tai itu sudah
ditutup tanah, tak menyusahkan orang lain lagi.
Dalam masa koma itulah, Achri
mengingat-ingat pertama kali kemenangan gemilang yang mampu diraihnya dulu.
Kemenangan mengalahkan jutaan benih lainnya yang payah dan kelelahan. Ia juga
teringat, ketika hampir mati konyol tenggelam di kali enam bulan lalu. Dadanya
yang menelan air megap-megap dan nyawanya bersiap berenang menuju Tuhan. Namun,
pikirannya yang masih dijaga harapan, memikiran satu hal, “Jangan mati dulu.
Kau belum menerbitkan buku puisi.” Ajaib bin tolol bukan main, nyawanya justru
terselamatkan. Energi terakhir di tubuhnya mengalir ke jemari tengah tangan
kanannya. Dan jemari itu berhasil mencari ceruk kecil bebatuan pinggir kali.
Dengan sekali hentakan napas, ia mengambil udara dan tenaga. Terus merayap
hingga selamat. Jari tengah memang menakjubkan. Satu-satunya jari yang paling
pandai mencari lubang. Kemampuan yang tak dimilik ibu jari atau jari
kelingking.
mengingat-ingat pertama kali kemenangan gemilang yang mampu diraihnya dulu.
Kemenangan mengalahkan jutaan benih lainnya yang payah dan kelelahan. Ia juga
teringat, ketika hampir mati konyol tenggelam di kali enam bulan lalu. Dadanya
yang menelan air megap-megap dan nyawanya bersiap berenang menuju Tuhan. Namun,
pikirannya yang masih dijaga harapan, memikiran satu hal, “Jangan mati dulu.
Kau belum menerbitkan buku puisi.” Ajaib bin tolol bukan main, nyawanya justru
terselamatkan. Energi terakhir di tubuhnya mengalir ke jemari tengah tangan
kanannya. Dan jemari itu berhasil mencari ceruk kecil bebatuan pinggir kali.
Dengan sekali hentakan napas, ia mengambil udara dan tenaga. Terus merayap
hingga selamat. Jari tengah memang menakjubkan. Satu-satunya jari yang paling
pandai mencari lubang. Kemampuan yang tak dimilik ibu jari atau jari
kelingking.
Lalu, secara random, ingatannya mengingat-ingat
kisah cinta yang telah terjalin bersama Rosi. Awal-awal pendekatan, ia sering
membeli seporsi nasi goreng, bukan bermaksud romantis, memang uangnya cuma
cukup membeli satu. Dua minggu adegan suap-suapan itu, tumbuh menjadi adegan
mengecup kening pacarnya yang bagai pualam. Tiga bulan berpacaran, Achri sudah
berani merangkul pinggang atau bahu Rosi. Tiga bulan berikutnya, ciumannya
turun ke hidung, lalu turun ke bibir. Dua potong bibir paling indah di dunia.
Kenyal macam permen mengandung gelatin berlebihan.
kisah cinta yang telah terjalin bersama Rosi. Awal-awal pendekatan, ia sering
membeli seporsi nasi goreng, bukan bermaksud romantis, memang uangnya cuma
cukup membeli satu. Dua minggu adegan suap-suapan itu, tumbuh menjadi adegan
mengecup kening pacarnya yang bagai pualam. Tiga bulan berpacaran, Achri sudah
berani merangkul pinggang atau bahu Rosi. Tiga bulan berikutnya, ciumannya
turun ke hidung, lalu turun ke bibir. Dua potong bibir paling indah di dunia.
Kenyal macam permen mengandung gelatin berlebihan.
Hanya sampai di situ, bibir Achri
tak pernah turun ke bawah lagi atau bawahnya lagi. Bukan karena tak berani.
Tapi, ia merasa cukup dan bersyukur. Lagi pula, ia lelaki yang beriman pada
mazhab romantis. Achri berkeyakinan bahwa ciuman bibir adalah sumber puisi dan
segala yang melewati batas itu akan merusaknya. Keyakinannya itu tumbuh karena
keseringan menonton film barat. Setahun bersama, tangannya telah terampil
menciptakan kesenangan-kesenangan lain.
tak pernah turun ke bawah lagi atau bawahnya lagi. Bukan karena tak berani.
Tapi, ia merasa cukup dan bersyukur. Lagi pula, ia lelaki yang beriman pada
mazhab romantis. Achri berkeyakinan bahwa ciuman bibir adalah sumber puisi dan
segala yang melewati batas itu akan merusaknya. Keyakinannya itu tumbuh karena
keseringan menonton film barat. Setahun bersama, tangannya telah terampil
menciptakan kesenangan-kesenangan lain.
Saat Rosi masak di dapur, Achri suka
memeluk erat pinggang pacarnya dari belakang. Tangan kanannya lalu merayap
pelan memegang tangan kanan Rosi. Mereka masak bersama. Jika lewat tengah malam
dan udara jadi dingin, di sofa busuk kosannya, Achri akan berbaring manja di
paha Rosi. Tangannya dengan terampil mengusap-usap rambut pacarnya. Rosi sangat
suka, ia merasa disayangi dengan lembut. Jika bosan, ia akan mengangkat
kepalanya sedikit, lalu mereka berciuman. Ciuman yang membuat cecak-cecak di
dinding cemburu. Ciuman membara, seolah itulah malam terakhir Achri memiliki
bibir Rosi.
memeluk erat pinggang pacarnya dari belakang. Tangan kanannya lalu merayap
pelan memegang tangan kanan Rosi. Mereka masak bersama. Jika lewat tengah malam
dan udara jadi dingin, di sofa busuk kosannya, Achri akan berbaring manja di
paha Rosi. Tangannya dengan terampil mengusap-usap rambut pacarnya. Rosi sangat
suka, ia merasa disayangi dengan lembut. Jika bosan, ia akan mengangkat
kepalanya sedikit, lalu mereka berciuman. Ciuman yang membuat cecak-cecak di
dinding cemburu. Ciuman membara, seolah itulah malam terakhir Achri memiliki
bibir Rosi.
Kadang kala, Achri yang gemas suka
memeluk tubuh Rosi, yang tak kurus, juga tak gemuk itu, ideal baginya.
Adegan-adegan itu terus muncul menyesaki ingatan-ingatan Achri selama koma. Ia
tersedak. Membuka mata dan menangis. Kumpulan masa lalu di tubuh pacarnya,
lebih tepatnya mantan pacar, tak pernah ia miliki di masa depan. Tak pernah
penuh ia miliki. Kepalanya berdenyut, “Jangan mati dulu. Kau belum menerbitkan
buku puisi.” Suara itu terngiang panjang. Taek kucing, pikirnya.
memeluk tubuh Rosi, yang tak kurus, juga tak gemuk itu, ideal baginya.
Adegan-adegan itu terus muncul menyesaki ingatan-ingatan Achri selama koma. Ia
tersedak. Membuka mata dan menangis. Kumpulan masa lalu di tubuh pacarnya,
lebih tepatnya mantan pacar, tak pernah ia miliki di masa depan. Tak pernah
penuh ia miliki. Kepalanya berdenyut, “Jangan mati dulu. Kau belum menerbitkan
buku puisi.” Suara itu terngiang panjang. Taek kucing, pikirnya.
Yogyakarta, 2021
Tentang Penulis
Jemi Batin
Tikal, kelahiran Indonesia, Oktober
1998. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari sebuah
kampus di Yogyakarta. Sedikit tulisannya berupa puisi, esai-esai pendek,
tulisan jurnalistik tersebar di media, baik cetak maupun daring. Bergiat di
komunitas sastra Jejak Imaji dan KebunKata. Bisa dihubungi via Instagram:
jemibatintikal atau FB: Jemi Batin Tikal. No. WA:
081995321366, surel: jemiilham26@gmail.com.
Tikal, kelahiran Indonesia, Oktober
1998. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari sebuah
kampus di Yogyakarta. Sedikit tulisannya berupa puisi, esai-esai pendek,
tulisan jurnalistik tersebar di media, baik cetak maupun daring. Bergiat di
komunitas sastra Jejak Imaji dan KebunKata. Bisa dihubungi via Instagram:
jemibatintikal atau FB: Jemi Batin Tikal. No. WA:
081995321366, surel: jemiilham26@gmail.com.