Angkringan Salim
Oleh: R Toto Sugiharto
Datanglah
ke kampung saya. Ada warung angkring baru. Pemiliknya Salim. Teh nasgithel-nya
khas seduhan tangan dingin Sakinah, istri Salim. Sesuai namanya, nasgithel,
akronim dari panas, legi (manis), dan kenthel (kental).
Bikin segar dan kemepyar. Jika Anda berminat datang, kontak saya,
Angon Raga, di nomor 081327831897. Saya antar Anda ke sana.
Angkringan Salim belum
genap dua bulan buka. Memang banyak yang penasaran, bagaimana ceritanya Salim,
yang tukang sampah, bisa membeli gerobak angkring dan mengisinya dengan aneka
macam menu angkring, seperti yang menjadi favorit: nasi kucing, sambel wader,
gorengan, serta menu lainnya. Nah, Anda penasaran ingin mengetahui ceritanya,
kan? Begini…
Sudah
lebih dari tiga tahun Salim punya impian usaha sambilan. Warung angkring. Buka
khusus malam. Jadi, ia bisa menambah pendapatan dari warungnya. Setelah kerja
seharian memunguti sampah di komplek perumahan dan perkantoran, ia bisa rehat
sambil menunggui warung angkringnya dan melayani para pembeli dari petang
hingga dini hari menjelang subuh.
Setiap
detik ia memohon kepada Allah SWT supaya dimudahkan mendapatkan rezeki.
Sakinah, istrinya, juga tidak kurang-kurang mencerocos bibirnya mendoakan
suaminya cepat dapat rezeki nomplok hingga cukup untuk membeli gerobak
angkring.
“Cukup
gerobaknya dulu saja juga ndak apa-apa, ya Allah. Kebutuhan
kami makin membengkak. Tambahkan pula rezeki kami melalui usaha baru yang akan
kami buka, warung angkring ya, Allah…,” seru Sakinah setiap selesai salat.
Sementara
itu, Salim juga tetap bekerja keras. Rajin dan disiplin. Salim menafkahi istri
dan dua anaknya dari jasa memunguti sampah. Setiap rumah dipungut Rp7.500 per bulan.
Di perumahan itu sebenarnya ada 100 unit tapi yang sudah dihuni baru 75 unit.
Total pendapatannya pada kisaran Rp500 ribuan. Salim sendiri mengontrak rumah
kecil di kampung luar komplek perumahan.
Mereka
berdua, pasangan suami-istri itu, harus gesit lagi mencari tambahan. Kadang ada
penghuni perumahan memberikan stok makanan atau sembako sehingga Sakinah tidak
perlu belanja. Tapi, sudah dua tahun terakhir beberapa penghuni perumahan tidak
lagi memakai jasa Salim lantaran mereka bisa menyuruh anak atau pembantunya
membuang sendiri sampah rumah tangga mereka ke tempat pembuangan sampah di
ujung jalan jalur dari perumahan ke kota. Alhasil, pendapatan Salim pun semakin
merosot hingga hanya Rp300 ribuan.
Sakinah
dituntut lebih kreatif mencari tambahan agar mereka berempat—Salim, Sakinah,
dan dua anaknya—tetap bisa makan. Salah satu cara yang dilakukan Sakinah adalah
membantu memasak di keluarga Ujar. Keluarga ketua RT itu mengakui dan menyukai
kelezatan masakan Sakinah. Sebagian besar tetangga juga bersaksi masakan
Sakinah enak. Itulah kelebihan Sakinah: pintar memasak. Pintar menyeduh
teh nasgithel. Kekurangannya: tidak ada yang bisa dimasak di
rumahnya.
Salim,
seperti biasa sebelum memunguti sampah, menunaikan tugas sebagai muazin di
musala. Hari itu ia lebih dini ke musala supaya tidak kehujanan. Maklum,
beberapa hari setiap subuh turun hujan cukup lebat. Setiba di musala, suasana
masih senyap. Belum ada seorang pun yang datang.
Tapi,
hari itu ada yang berbeda di musala. Mata Salim menangkap benda mencurigakan di
lantai dekat pintu masuk. Tas plastik. Ada dua tas plastik. Hitam dan putih. Di
dalamnya ada plastik lagi pembungkus barang. Gerangan apakah barang itu? Ooh,
masing-masing tas berisi segepok uang. Masing-masing dibendel puluhan
lembar pecahan Rp100 ribuan. Tiap-tiap bendel disatukan
dalam satu ikatan tali rafia hingga puluhan ikat. Total jadi… ooh,
Rp800-an juta? Uang siapakah itu? Salim berharap menemukan identitas di dalam
tas plastik. Ternyata tidak ada.
Uang
itu akhirnya diserahkan kepada Ujar selaku ketua RT. Selanjutnya, oleh Ujar,
uang diserahkan ke polisi untuk pengusutan. Setiap kepala punya kecurigaan.
Sebagian besar mungkin akan mengerucut pada anggapan uang untuk serangan fajar
dari kubu calon bupati tertentu yang tengah berkompetisi di ajang pilkada. Si
pembawa uang takut tertangkap dan dipidana penyuapan yang dilakukan kelompok
tertentu. Alhasil, uang itu dibiarkan ditinggal di musala. Jadi, belum tentu
pula yang membawa uang itu warga kampung.
Sebaliknya,
Sakinah uring-uringan. Ia menyesali Salim menyerahkan uang itu ke polisi.
Katanya, mestinya uang itu dibawa pulang dulu lalu dirembug berempat bagaimana
sebaiknya. Karena, menurut Sakinah, itu rezeki Salim dari Allah SWT. Kebetulan
perantaranya orang yang entah kelupaan atau memang sengaja meletakkan uang itu
di musala.
Kedua
anak Salim juga mendukung ibunya. Mereka menyesali cara ayahnya memutuskan
permasalahan secara sepihak di saat subuh itu. Karena, akibatnya, mereka
kembali hidup apa adanya. Bahkan, kekurangan.
“Tapi,
Tuhan tidak mungkin memberi rezeki kepada manusia di luar kemampuannya ia
mengelola rezeki itu,” dalih Salim.
“Tapi,
ayah juga mesti mikir, mengapa Pak Salim, yang cuma tukang sampah keliling,
diganjar Tuhan rezeki sebesar itu? Itu pasti jalan dari Allah SWT yang
diberikan kepada ayah buat mengubah kehidupan keluarga kita,” timpal anak
sulungnya.
“Percaya ndak,
Pak? Memang aku yang minta. Beberapa hari ini aku selalu tahajud, minta dikasih
rezeki uang sak tas kresek. Lha kok sampean bener-bener
dapat ya? Malah dua tas, kan? Tapi, malah dikembalikan entah ke mana. Sekarang
mungkin sudah jadi bancakan orang banyak,” susul Sakinah dengan nada kesal.
“Husss!”
sergah Salim seraya geleng-geleng kepala. Pusing, “Kalau kamu, bagaimana, Le?”
pancing Salim kepada anak bungsunya.
“Mungkin
Allah memang akan memberi rezeki kepada Bapak. Cuma ndak sebesar
itu. Uang itu cuma sebagai lantaran saja,” ucap si bungsu.
Salim
melongo, tidak menyangka anak bungsunya berpikir jernih dan berucap bijak,
“Insya Allah, Le,” sahutnya.
Informasi
perihal penemuan uang tersebar luas di media cetak dan online. Salim
berulang kali diwawancarai wartawan. Tampang Salim pun menjadi viral di
medsos. Para pengamat politik yang lama dan yang karbitan saling
melontarkan opini spekulatif. Sebagian mengapresiasi dan memuji kejujuran
Salim.
Namun,
meski sudah diberitakan, tiada yang mengaku sebagai pemilik uang tersebut. Yang
bersangkutan pasti takut bila justru diperiksa dan dikenai pidana penyuapan.
Hingga lebih dari sepekan, tiada kabar berkembang terkait penemuan uang di
musala. Sampai tiba suatu hari Ujar memanggil Salim. Tukang sampah teladan itu
diberi Rp10 juta. Katanya, uang penghargaan dari bupati atas kejujuran Salim.
Uang itu dipakai Salim untuk membeli gerobak angkring berikut perlengkapannya:
bangku, terpal, anglo, arang, ceret, gelas, dan lainnya.
Jam
buka angkringan Salim antara bakda magrib hingga pukul
02.30. Seperti malam itu, Salim tengah sibuk melayani pelanggannya. Sebagian di
antara pelanggan adalah pembeli baru yang menanyakan kisah di balik usaha
angkringan Salim. Lalu, mereka ber-selfie bersama Salim dengan
latar belakang menu angkringan. Kemudian mereka pergi.
Saya
kebetulan menikmati kopi di angkringan Salim. Kami asyik mengobrol. Menginjak
dini hari, datang dua orang lelaki berperut tambun berboncengan motor.
Setelah
berbasa-basi, salah seorang yang bertopi menanyakan jumlah uang dan
ciri-cirinya, apakah ada tanda di beberapa bendel?
“Jumlahnya
sekitar delapan ratus juta. Kalau ciri-ciri, wah… saya lupa,
Pak. Tapi, kok sampean tahu kalau ada tandanya?” sentil
Salim.
“Wah,
berarti sudah dipotong lima puluh, Bung,” bisik yang membonceng kepada
temannya, tak menjawab sentilan Salim.
“Begini,
Mas, itu milik botoh. Buat umpan. Mungkin nggak cuma
milik satu orang, dia atau mereka, yang selama ini jadi botoh di
ajang pilkada. Konon, juga membiayai partai dan memodali calon yang maju. Tapi,
tentu nggak gratis, kan? Kalau jagonya menang, para botoh bisa
berharap kembali modal,” Si Perut Tambun bertopi merespons Salim.
Yogyakarta, Januari
2018/Jumadil Awwal 1439 H
Tentang Penulis
R Toto Sugiharto dilahirkan di
Jakarta, 4 April 1966. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Jejak karier Toto diawali dari selepas ia
dari FIB UGM, sebulan setelah lulus, ia mendapatkan pekerjaan di PT Gatra Cipta
Dwipantara sebagai penulis skenario. Di tengah kesibukan kerja, Toto menulis
dan mengikuti kompetisi puisi yang dihelat Sanggar Minum Kopi, Bali melalui
puisi “Metamorfosis Kesunyian” dan meraih nomine sebagai 10 Puisi Pilihan yang
diantologikan dalam Sayong (1994). Sementara
itu, proses kerja sebagai penulis skenario mulai terganggu setelah manajemen
perusahaan tidak mampu melanjutkan proses produksi.
Toto pernah bekerja sebagai reporter di Bernas dan ditugaskan di Magelang serta
Sragen dan Surakarta, ketiganya di Provinsi Jawa Tengah. Kasus kerusuhan di
Surakarta yang meletup pasca-Reformasi, yaitu 20 Oktober 1999 menginspirasi
Toto menulis novel Dalam Bejana Jam Pasir
(terbit 2004) dan dicetak ulang 10 ribu eksemplar untuk Proyek Pengadaan Buku
Sastra Dirjen Dikmenum Kemendikbud.
Setelah novel debutan terbit dan cetak
ulang, Toto lebih produktif. Pada tahun sama, 2004, ia menerbitkan novel remaja
Asmaralaya: Chatting–Chatting Cinta.
Satu tahun kemudian, pada 2005 ia menerbitkan novel Patala dan mengikuti Lomba Penulisan Fiksi Sosial serta meraih
Juara Harapan melalui novel “Owel” (belum diterbitkan). Selanjutnya, pada 2008
ia menerbitkan novel Jamila, diikuti
kemudian Semar Mesem (2011) dan Genderang Baratayudha (2012), keduanya
nomine untuk Penghargaan Buku Sastra Balai Bahasa DIY. Berikutnya, juga novel,Panji Asmarabangun (2013), dan 0 Kilometer (2014). Kemudian, novelnya Mentaok memenangkan Lomba Penulisan
Novel Balai Bahasa DIY (2016). Kemudian, untuk kali pertama menulis novel
berbahasa Jawa, Sampur Pambayun membawa Toto meraih sebagai
Pemenang Lomba Penulisan Novel Berbahasa Jawa Dinas Kebudayaan DIY (2018).
Kegiatan literasi yang dilakukan Toto di
bidang sastra dan jurnalistik, antara lain menjadi tutor Bengkel Sastra Balai
Bahasa DIY untuk penulisan cerpen bagi siswa SMA dan sederajat di wilayah DIY.
Toto juga menjadi narasumber untuk Gerakan Indonesia Menulis yang dihelat Pena
Writing School, antara lain di Depok, Jakarta, Yogyakarta, Blitar, Malang,
Kediri, Makassar, Palu, dan Morowali. Toto mengikuti Temu Sastra Mitra Praja
Utama XI Jawa Barat pada November 2017 dengan mengikutkan cerpennya, “Voucher”
diterbitkan dalam Kota, Kubur Terbuka: Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Mitra Praja Utama XI Jawa Barat.
Pada 2018 Toto mengikuti Program Sastrawan
Berkarya di Wilayah 3 T dari Badan Bahasa Kemendikbud. Selama 20 hari di bulan
April 2018 Toto mengikuti residensi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe
Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara dan menghasilkan buku Kasih Tak Sampai di Tumburano
: Catatan Perjalanan dari Konawe Kepulauan. Toto juga mengikuti kegiatan Pesantren Keliling
Nusantara bersama Gerakan Indonesia Menulis selama 20 hari pada Mei 2018 di
Lombok dan Sumbawa, NTB memberikan pelatihan menulis di pesanren dan Universitas
Nahdhatul Ulama Lombok.