Pelajaran Mengingat Para Penyair
“Kelahiran Kedua”
Oleh:
Ahmad Sultoni*
besar” sehingga memilih jalan sebagai penulis puisi. Atau jangan-jangan mereka
pernah membaca pernyataan penyair Badruddin Emce lewat larik sajaknya: sebuah kata yang tak pernah tepat/ di baris
manapun/ telah memaksa kami untuk memilih/ dan berhimpun (Diksi Para
Pendendam, 2012). Melalui himpunan diksi dalam Kelahiran Kedua boleh jadi para penyair ini menemukan keleluasaan
menuangkan semesta gagasan, setumpuk kegelisahan, atau berjubel peristiwa
keseharian. Akhirnya dipilihlah puisi.
Komunitas Penyair Institute (KPI) tidak
mau mati muda, sebagaimana harapan penyair Chairil Anwar yang ingin hidup
seribu tahun lagi. Buku puisi Kelahiran Kedua
(2018) menjadi bukti ikhtiar KPI untuk terus menghela napas panjang. Anak
kandung pertamanya bertajuk Historiografi
(2013) sudah lima tahun lalu dilahirkan. Baru selang lima tahun kemudian Historiografi punyai adik. Rentang waktu
yang tidak pendek dan pasti memiliki pergulatan besar. Para penggerak generasi
terdahulu, penyair-penyair Irfan M. Nugroho, Muhammad Musyaffa, Hendrik
Efriyadi, dll., berhasil menyemaikan benih segar. Generasi baru, antara lain Adhy
Pramudya, Muharsyam Dwi Anantama, Cuya Suryanto, Aditya Setiawan, Adityanang, Galuh
Kresna, serta nama-nama lain yang karyanya belum terhimpun dalam karya bersama
ini.
Saya dalam tulisan ini tidak berniat
menkhotbahi pembaca. Apalagi ‘babat alas’ atas makna-makna yang terhampar dalam
puisi-puisi Kelahiran Kedua ini. Biar
saja pembaca yang menafsirkan, bahkan mungkin melempar tanggapan atas puisi-puisi
dalam buku puisi ini. Sebab idealnya—dalam pandangan saya pribadi—buku yang
baik dibiarkan berdialog sendiri dengan pembaca. Dan saya termasuk pribadi yang
mencoba berdialog dengan puisi-puisi dalam Kelahiran
Kedua ini.
Pelajaran Mengingat
Membaca puisi-puisi dalam buku Kelahiran Kedua ini, saya menemukan gejala
mengabadikan perjalanan sebagai satu titik tolak ide puisi. Para penyair dalam Kelahiran Kedua berusaha memotret
fragmen-fragmen ingatan, baik berupa perasaan, aneka peristiwa, dan sedikit
kegelisahan diri. Maka pada kelahirannya, puisi-puisi yang termaktub dalam buku
puisi ini dapat ditarik garis besar pembicaraannya. Atau mungkin enam subjudul
yang memisahkan puisi antarpenyair ini sesungguhnya saling berkait. Melacak Muasal-nya Adhy Pramudya, Ziarah-nya
Aditya Setiawan, Menjemput Satori-nya Adityanang, Rumah Waktu-nya Cuya Suryanto, Riwayat
Mawar-nya Galuh Kresna, dan Pada Suatu
Perjalanan-nya Muharsyam Dwi
Anantama. Ada sisi-sisi romantisme yang berkelindan.
“Melacak Muasal” kepekaan Adhy Pramudya. Adhy Pramudya seolah leluasa
mempuisikan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, misalnya tatkala melewati
kediaman Ki Dalang Sugino Siswa Carito pada puisi “Jalan Tikung Patikraja”,
tatkala “Usai Nonton Wayang Dalang Jemblung”, tatkala melewati jalanan Sokaraja
pada puisi “Kepala Bocah Bertuma”, dan lainnya. Hal ini menyiratkan bahwa Adhy
Pramudya memainkan betul kepekaan puitiknya. Adhy Pramudya tinggal menambahi
sehimpun diksi filosofis agar memberi makna pada pembaca.
Kita simak sepenggal puisi Adhy Pramudya
berjudul Melacak Muasal berikut: //mbah, kitalah situs-situs/ peninggalan
moyang/ artefak-artefak purbakala, dan/ batu-batu yang mesti dipecahkan/ dengan
ritual itu// tak ada sejarah tanpa kita, sebab// kitalah nenek moyang itu
sendiri/ bukit-bukit adalah bukit dan/ hidup dalam mati kita/ di bawah naungan
semesta, dan/ gerak-gerak napas yang dipanjatkan angin/ adalah napas kita//.
Terkadang memang kehidupan menghadirkan
keruwetan yang seolah tak berujung. Terdapat sisi yang rumit tetapi seolah kita
punya jalan pintasnya. Itu karena manusia, termasuk Adhy Pramudya memiliki
dunia yang diidealkan. Apalagi Adhy Pramudya adalah seorang penyair. Puisi
sebagai teks tak dibiarkan kosong makna. Dunia yang diidealkan penyair
disusupkan pada teks puisinya. Itulah yang saya sebut petualangan hikmah Adhy
Pramudya lewat sajak-sajak filosofisnya.
“Ziarah” identitas makna Aditya Setiawan. Ada banyak ingatan yang diabadikan
Aditya Setiawan lewat puisi-puisinya. Puisi berjudul “Penantian”, “Lingkaran
Batu yang Dirindukan”, “Menyalin Memori”, dan “Sedekah” ialah ingatan itu.
Simak bagaimana ia mengabadikan perjalanan tatkala berada di suatu tempat di
alun-alun kota. Tulisanya: kami hadir
bersama hujan/ menyalin memori di setiap jalan/ duduk di pojok alun-alun/
melafalkan makna terangnya lampu.
Tak jauh berbeda dengan Adhy Pramudya,
Aditya Setiawan sesungguhnya cakap menemukan momen puitis. Ini bisa ditilik
bagaimana ia menyimpan tiap momen perjalanan hidup kemudian ditulis jadi puisi.
Saya kutipkan satu puisinya berjudul Sedekah:
kakiku menapaki laut yang diapit dua
bukit/ dan bumi bersedekah senja pada laut/ sementara/ ribuan pohon kelapa menangis/
semuanya menanti/ Tuhan dari keluar dari mulut goa.
Lewat puisi berjudul Sedekah tersebut Aditya boleh jadi
sedang dalam suasana keharuan. Ia tengah berjalan di suatu tempat dan di tempat
itu ia temui banyak pohon kelapa yang diambil air niranya oleh penderes. Bagi
Aditya Setiawan pemandangan semacam itu teramat langka.
“Menjemput Satori” yang Sungsang
dari Adityanang. Satori berarti kemerdekaan yang hakiki. Segala bentuk
diskriminasi telah dimatikan. Tetapi apakah satori itu kita temukan di
kehidupan yang konon telah terbebas dari penjajahan ini? Penyair Adityanang
rupanya belum benar-benar merasakan udara kebebasan itu. Ia tulis dalam larik
sajaknya: Di tengah kota./ tubuhku
metafora sumbang/ mulut nista/ memungut kata-kata: kering, sekaligus sedingin/
mata dadu yang tak henti bergulir/ di antara dusta pemiliknya/ di tengah kota./
tubuhku metafora rumpang/ yang kini harus kembali/ pada tubuh terbuka, menyepi/
menjemput satori.
Kota yang konon membebaskan manusia
dari kelaparan, kemiskinan, pengangguran, nyatanya belum sepenuhnya bisa
diterima. Kota seringkali—sebagaimana dikatakan Adtiyanang—menyodorkan “tubuh”
yang “sumbang” dan “tubuh” yang “rumpang”. Rumpang dan sumbang adalah
keganjilan. Sesuatu yang belum mengenakan dan mencukupi. Entah itu tubuh yang
batin maupun tubuh yang lahir. Jika demikian keadaanya, tak ada jalan lain yang
ditempuh, kecuali harus kembali pada
tubuh terbuka, menyepi menjemput satori. Kembali pada tubuh terbuka itu
artinya berpasrah diri, menjemput kemerdekaan hakiki di kematian diri. Ini kali
satori sejati.
Membaca puisi-puisi Adityanang dalam
kumpulan puisi Kelahiran Kedua ada
pencarian bahasa ungkap baru tiap rentang waktunya. Hanya memang terkadang
kemubaziran kata pada beberapa puisinya. Diksi-diksi klise, bertele, dan
menjemukan. Di sisi lain ia menikmati betul perjalanan proses sebagai penulis
puisi.
“Rumah Waktu” yang Metaforis dari Cuya
Suryanto. Hujan malam ini membasahi kalbuku/ menyergap kelam pada jantung hati
yang beku/ hujan di selasar malam menjelma diriku/ yang hilang bersama angin
malam. Penyair Cuya Suryanto pandai memikat. Lewat metafor-metafornya ia
berpikat. Metafor-metafor tak biasa sengaja ia hadirkan agar pembaca cepat kesengsem tatkala membaca sajaknya.
Meski praktik itu baru ia amalkan lewat isi sajak-sajaknya. Pada judul belum ia
coba. Ini terlihat pada judul-judul puisinya yang rata-rata terdiri satu kata.
Sehingga kesengsem pembaca baru
muncul tatkala sudah membaca baris sajaknya.
Konon penyair diberi kemerdekaan dalam
hal menulis puisi. Lisensia puitika. Andai hal itu dilakukan oleh penyair Cuya
Suryanto ia bisa saja bereksperimen pada segenap sajak-sajaknya. Bahkan mungkin
kelewat merdekanya sampai ia bergelap-gelap dengan puisinya. Tetapi bagi
penyair Cuya Suryanto hal ini masih dipertimbangkan. Ia lebih memilih berbagi
dengan khalayak pembaca. Ia tidak mau membiarkan pembaca puisinya tergagap
memaknai sajaknya. Maka untuk mengabadikan pengalaman puitisnya cukup ia
ejawantahkan lewat metafor sederhana tetapi segar.
“Riwayat Mawar” di kegelapan Mmalam dari
Galuh Kresna. Dalam kecemasan yang
memuncak kadang-kadang lahirlah puisi. Seperti penyair Galuh Kresna yang
sedikit cemas tatkala mengingat-ingat umur. Kecemasan itu Galuh tulis: /Sebuah tangkai daun tumbuh bersamaan/ Dan
bertukar garis urat daun/ corak kuning kesialan atau ujian/ Maha waktu
menyimpan rahasia/ Sangkala kirimkan angin/ Menjatuhkan daftar kuning/
Menghantam tanah tinggal rangka (Umur). Atau sewaktu: Jarum jam maraton/ berlari semakin cepat/ di sebuah ruangan/ Musik
keroncong:/ berbaur obrolan orang di kursi/ Dan yang berdiri: Juga obrolan kita
ikut melebur/ ketika kau aku semacam senyap (Stasiun).
Sajak dari perasaan penyair yang guyah.
Waktu dimasak dalam tungku permenungan. Sementara kita dipermasak oleh waktu.
Pada titik semacam ini penyair diharu biru. Memang maha waktu menyimpan rahasia dan sepenuhnya empunya Si Pemilik
Rahasia. Tetapi gundah itu akan terus memagut. Barangkali sebab jarum jam maraton/ berlari semakin cepat.
Apalagi jika mengingat: setangkai mawar
yang goyah/ memasuki ruangan melalui celah jendela/ menyisakan isak/ tangkai
merah yang gugur/ sepi sahabat sendiri (Riwayat Malam).
Membaca sajak-sajak Galuh Kresna pembaca
akan menemui banyak permenungan. Sama halnya Adhy Pramudya, Aditya Setiawan,
dan Muharsyam Dwi Anantama senang mempuisikan perjalanan dari satu tempat ke
tempat, Galuh Kresna memberi makna lain perjalanan. Perjalanan itu adalah ihwal
kehidupan dan sesudahnya yakni kematian. Tema demikian tampaknya menjadi
favorit Galuh Kresna dalam berpuisi.
Lanskap “Pada Suatu Perjalanan”
Muharsyam Dwi Anantama. Sehelai puisi gugur dari kaki bukit/ membawa
kisah dari catatan rapuh/ yang mengular di sepanjang celah bukit (Hikayat
Bukit Krumput). Angin menyelinap/ pada
sela pohon/ meratakan hening (Seekor Gagak). Di sudut kebun/ batu kali berjejer rapi/ berselimutkan lumut/
nmenguapkan ingatan (Sebuah Makam). Pembaca akan menemukan banyak lanskap
yang coba dihadirkan penyair Muharsyam Dwi Anantama dari perjalanan puitisnya.
Entah itu perjalanan ketika ia di sebuah bebukitan yang rimbun pohonnya, di
sebuah makam, saat di perjalanan kereta, di tepian sungai, dan sebagainya,
pembaca akan dibantu dengan gambaran angan yang dibangun penyair dengan baik.
Citraan membuat puisi lebih menimbulkan
suasana lebih hidup dan menarik. Bila citraan dibangun dengan baik, entah itu
citraan penglihatan, pendengaran, gerak, dan sebagainya, akan menimbulkan
gambaran yang pas dalam pikiran pembaca. Sesuai gambaran pikiran yang
diharapkan penyair. Citraan dalam puisi-puisi Muharsyam Dwi Anantama, khususnya
citra gerak dan penglihatan dibangun dengan baik. Bahkan sajak-sajak sarat
citraan. Hanya kadang keberlimpahan itu membuat penyair sedikit memberikan
porsi pada wacana yang hendak tawarkan lewat teks puisinya.
Demikianlah. Membaca sajak-sajak yang
termaktub dalam buku kumpulan puisi “Kelahiran Kedua” ini, saya merasa melayari
samudera puisi melewati pulau-pulau ingatan penyair. Kapal puisi yang saya
naiki berhasil membawa saya menemukan hamparan makna. Betul memang bahwa puisi
adalah kelahiran kedua setelah kata-kata. Itu sebabnya pembaca puisi dituntut
membaca beribu kali sebuah sajak hanya untuk menemukan makna di kelahiran
ketiganya. Terakhir, saya menyambut betul “Kelahiran Kedua” anak kandung dari
Komunitas Penyair Institute. Semoga adik kandung Historigrafi akan terus berlanjut hingga waktu yang tak berhingga.
Semoga!
Tentang Penulis
Institut Teknologi Telkom Purwokerto dan mahasiswa program doctoral Pendidikan
Bahasa Indonesia UNS. Buku puisi Dongeng Pohon Pisang (2019) merupakan
karya pertamanya. Saat ini bermukim di Adipala Cilacap.