Mengapa Kita Harus Menulis?
Oleh Sam Edy Yuswanto
Bagi sebagian orang, menulis bisa
jadi termasuk salah satu aktivitas yang tak diminati. Apalagi sampai berkeinginan
menekuninya untuk dijadikan sebagai sebuah profesi yang menguntungkan. Mungkin
mereka menganggap menulis bukanlah hal penting, membosankan, yang hanya dilakukan
oleh para pemalas dan bukan termasuk profesi bergengsi yang bisa menghasilkan
pundi-pundi rupiah.
Sementara sebagian yang lain justru menganggap menulis sebagai
rutinitas yang sangat menyenangkan dan bila sampai ditinggalkan akan membuatnya
merasa gundah, resah, gelisah, bahkan mungkin sakit kepala. Mengapa hal ini
bisa terjadi? Karena menulis baginya menjadi sarana yang sangat tepat dan
efektif untuk menuangkan ide, gagasan, unek-unek yang berkecamuk di dalam jiwa,
dan lain sebagainya. Alasan ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan “mengapa
kita harus menulis?”
Saya sendiri mengamini (karena saya telah menjalaninya) bahwa
menulis merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan. Bagi saya, menulis
menjadi wadah yang membahagiakan untuk mengungkapkan pendapat atau pemikiran
saya atas berbagai peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.
Saya yakin, setiap orang tentu memiliki pendapat saat berhadapan dengan sebuah
peristiwa di sekitar kita. Yang jadi persoalan, tak semua orang berani untuk menuangkan
pendapatnya. Bisa jadi karena ia memiliki sifat pemalu, tidak percaya diri,
takut dianggap pendapatnya kurang berbobot, atau karena alasan-alasan lainnya.
Bagi orang-orang pemberani dan memiliki sifat percaya diri tinggi,
ditambah bekal keilmuan yang mumpuni, tentu mereka bisa dengan mudahnya
menyampaikan pendapat atau gagasannya secara langsung di depan publik. Namun,
bagi orang-orang introvert, pendiam, pemalu, dan sejenisnya, tentu ia tak mengalami
kesulitan dan berani menuangkan pendapatnya di depan umum. Inilah mengapa
menulis menjadi hal penting bagi orang-orang yang memiliki sifat tertutup dan
pendiam, agar segala unek-unek dan gagasannya dapat tersalurkan lewat rangkaian
kata-kata yang bisa dibaca dan pahami oleh orang lain.
Selain sebagai bentuk menyampaikan
gagasan melalui tulisan, tentu masih banyak alasan mengapa kita harus menulis.
Saya sendiri memiliki beberapa alasan yang membuat saya terus berusaha
konsisten menulis hingga hari ini. Sekadar catatan, saya mulai serius menekuni
dunia kepenulisan sejak pertengahan tahun 2009. Bahkan kini saya menjadikan
aktivitas “menulis” sebagai profesi tetap. Alasan mengapa saya merasa yakin dan
mantap menekuni dunia tulis menulis karena menulis bisa membuat hati terasa
plong. Apa yang saya pikirkan dan rasakan bisa tertuangkan dalam berbagai jenis
tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi.
Bagi para penikmat karya-karya fiksi, mungkin telah akrab dengan
nama penulis-penulis beken seperti Tere Liye, Andrea Hirata, Asma Nadia, Ahmad
Tohari, Dewi Lestari (Dee), dan masih banyak yang lainnya. Mereka bisa
menghasilkan banyak materi (uang) lewat aktivitas menulis. Kisah suka duka
mereka saat menekuni dunia kepenulisan penting kita renungi untuk memotivasi
kita agar terus menulis dan pantang menyerah bila tulisan yang dikirim ke media
massa atau penerbit mengalami penolakan demi penolakan.
Bicara perihal penolakan demi penolakan saya yakin pasti pernah
dialami oleh setiap penulis. Sebagai penulis lepas di berbagai media massa,
saya sangat sering mengalami penolakan naskah di berbagai media massa. Kecewa
dan sedih tentunya saat naskah kita ditolak di media massa yang dituju. Namun
jangan sampai kekecewaan tersebut membuat kita menyerah dan berhenti menulis.
Justru kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Kita masih bisa memperbaiki tulisan kita, mengoreksi kekurangannya,
lalu mencoba mengirimkannya ke media lain. Penting dipahami bahwa ditolaknya
naskah di sebuah media massa terkadang bukan karena tidak layak muat, tapi
karena naskah tersebut tidak cocok dengan karakter media massa tersebut, atau
karena sudah ada tema sejenis yang ditulis oleh penulis lain, atau karena
alasan-alasan lainnya. Inilah pentingnya bagi kita untuk mempelajari terlebih
dahulu tulisan-tulisan yang telah dimuat di berbagai media massa agar kita tahu
karakter atau jenis tulisan yang disukai redaksi sekaligus untuk mengetahui
tema-tema yang sudah pernah dimuat oleh penulis lain.
Bicara tentang penolakan naskah,
kita bisa membaca kisah yang begitu menginspirasi yang pernah dialami oleh para
penulis ternama. Sihabuddin, dalam buku Terampil
Berbicara dan Menulis (Araska, 2019) menjelaskan bahwa banyak kegagalan
yang dihadapi pada saat-saat awal menjadi penulis, seperti ditolak berkali-kali
oleh penerbit. J.K. Rowling dan Stephen King, misalnya. Naskah J.K. Rowling
yang berjudul Harry Potter baru
diterima penerbit setelah 12 kali mengalami penolakan dari berbagai penerbit. Stephen
King malah mengalami penolakan lebih parah. Novel perdananya, Carrie, yang menjadi international best seller dan diadaptasi
menjadi film sebanyak 2 kali, sebelumnya pernah ditolak penerbit sebanyak 30
kali.
Bila kita rajin membaca kisah atau
biografi para penulis ternama, maka dapat menjadi semacam pelecut semangat bagi
kita agar tidak mudah menyerah saat mengalami penolakan naskah di berbagai
media massa dan penerbit. Selain membaca kisah mereka, sebagai penulis tentu
kita harus berusaha rajin membaca berbagai buku, majalah, koran, dan lain
sebagainya, sebagai bahan untuk belajar sekaligus meningkatkan kualitas tulisan
kita. Namun saya perlu garis bawahi di sini, ketika telah memutuskan menjadi
penulis, jangan sampai melakukan kecurangan seperti memplagiasi atau menjiplak
karya orang lain. Menjiplak tulisan orang lain merupakan tindakan tercela yang
harus dijauhi oleh para penulis.
Menebar Kebaikan dan Mengabadikan Ilmu
Alasan lain mengapa saya mantap menekuni dunia kepenulisan, karena
menulis dapat dijadikan sebagai sarana yang cukup efektif untuk menebarkan
kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Bayangkan, bila kita menulis dengan
hati ikhlas agar para pembaca kelak dapat mengambil hikmah atau pelajaran
berharga lewat tulisan-tulisan kita, maka menulis dapat menjadi ladang pahala
dan amal jariah meskipun kita telah tiada.
Ada hal menarik saat kita menekuni profesi penulis. Yakni, sebagai
penulis kita tak diikat oleh peraturan-peraturan monoton sebagaimana ketika
bekerja di perusahaan atau kantor-kantor. Saat kita telah memutuskan menjadi
seorang penulis, kita dapat mengatur dengan leluasa waktu dan jadwal untuk
menulis. Bisa pagi, siang, sore, maupun malam. Bahkan, kita bisa meliburkan
diri kapan saja kita mau dan menggunakan waktu liburan tersebut untuk
bersantai, berekreasi, mengunjungi tempat-tempat wisata misalnya, itung-itung
sambil mencari ide atau inspirasi tulisan.
Alasan yang tak kalah pentingnya
untuk direnungi mengapa kita harus menulis ialah sebagai sarana mengabadikan
ilmu. Hal ini sebagaimana telah dipraktikkan oleh para ulama terdahulu yang telah
menulis beragam jenis kitab dan ilmunya masih terus kita kaji dan pelajari hingga
saat ini di berbagai lembaga pendidikan seperti pondok-pondok pesantren. Misalnya
kitab-kitab yang membahas tentang seputar fikih, tafsir, tauhid, akhlak,
nahwu-sharaf, dan lain sebagainya.
Coba bayangkan, seandainya dulu para ulama hanya berdakwah secara
lisan saja kepada para santri atau murid-muridnya (tanpa pernah berniat
menuliskannya agar kelak dapat terus dipelajari oleh para generasi setelahnya)
tentu ilmu-ilmu yang mereka miliki akan berhenti saat telah meninggal dunia.
Bila ini yang terjadi maka kelak ilmu yang sangat berharga tersebut akan hilang
seiring laju zaman.
Mudah-mudahan tulisan sederhana saya ini dapat membuat para pembaca lebih
bersemangat dalam menekuni dunia kepenulisan. Wallahu alam bis-shawaab.
Tentang Penulis
Sam
Edy Yuswanto, lahir dan mukim di
Kebumen. Penulis lepas di berbagai media massa. Tulisannya tersiar di berbagai
media massa seperti Kompas Anak, Republika, Koran Sindo, Jawa Pos, Suara
Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Radar Surabaya, Radar Lampung, Radar
Bromo, Radar Banyumas, Kartini, Basis, Nova, Cempaka, dll.