RISALAH
PEREMPUAN LAUT
Menelusuri
nafas kehidupan samudera
Terbentang
permai di luasnya jagat
Bersama
nyiur dedaunan kelapa
Serta
cicit burung-burung yang
Bermunajat
tentang kemakmuran negeri
Di
tepian pantai
Perempuan-perempuan
menjaring senyum
Sehabis
pagi menghidangkan garam rezeki
Yang
tumpah ruah di pesisir laut
Saban
hari
Di
bawah pancaran bara mentari
Para
perempuan bertudung ketabahan
Memunguti
butiran kerang-kerang
Dalam
tumpukan buliran pasir doa
Tempat
para perempuan pulau itu
Menunggu
sisa rupiah yang berserakan
Hasil
dari gelombang ombak
Menyapu
kekayaan palung lautan
Sembari
di gendongnya seorang bocah
Yang
terlahir dari rahim ratapan
Begitu
lama terombang-ambing nasib badai air mata
Lamat-lamat
peluh bercucuran melepas kebisuan hari itu
Yang
dingin terkubur di ceruk sukma
;
Dalam sunyi pemakaman lukanya
Nak,
sebentar lagi malam. Mari kita pulang,
Mengantar
sekarung keletihan
Kata
perempuan bermandikan cahaya siluet sore yang
Semakin
mengecup mesra di ujung barat cakrawala
Purbalingga, 27 Juli
2019
MERUWAT
SENYUM
pada
setiap pergantian tanggal di bulan April ini
kembang
melati di teras rumahmu
kembali
memekar wewangi memenuhi ruang tidurmu
menyeruak
harum bila tersentuh lembut desir angin
ataupun
sehabis lantun adzan sore kau sirami penuh kasih
sebagai
merawat kebosanan yang semakin mengakar di kepala
semenjak
berbagai siaran wabah duka mendaftar panjang
penginapan
pasien di bangsal rumah sakit
tempat
peristirahatan bagi mata, hidung serta paru-paru
dari
rakusnya meneguk berbagai hidangan menu duniawi
mereka
berjejer membentuk nama cinta dalam sungai fatihah
sembari
menghitung angka kemarahan Tuhan yang melekat dalam usia
sementara
saban pagi kau menanam kegelisahan
bersama
rengek gadis kecil yang kelaparan melahap setumpuk lauk basi
sisa
memasak malam-malam sepi dari keriuhan pagebluk
sebab
hiruk-pikuk alun-alun kota tengah tertidur begitu lelap
tak
dapat lagi tuk menjaring rupiah, meski kau hanya menjajaki kepulan asap jagung
sekedar
menghibur lautan manusia dari kepenatan di malam minggu
dan,
pada setiap laju hari di bulan April ini
dalam
derai air mata kau tertatih menanam ketabahan
sehabis
menyulut amukmu: mengenang keindahan kerlap-kerlip kota malam
namun,
perlahan kembang melati itu kembali menguar keharuman
memeluk
kerapuhan kalbu, serupa pelukan ibu mendekap penuh tulus
dalam
meruwat senyum sembari merengkuh sujud mahabbah
Purbalingga, 02 Mei
2020
RITUAL
Di
hadapan perbincangan malam
Antara
senyum mengepul manis dari bibir layumu
Beserta
beberapa keping biskuit
Tersaji
begitu nikmat dalam kasih perjumpaan
Sementara,
gerimis di balik jendela lapuk itu
Tengah
menderas ragam senandung cinta
Yang
kian membasuh bunga kenangan
Ketika
dengung suaramu tak lagi menjelma nyanyian bocah
Hanya
berupa sisa bingkisan tawa
Yang
telah lama mekar di usia tanah rantau
Semenjak
kau meredupkan pijar lilin ke tujuh belas tahun
Yang
begitu gemerlap memeriahkan nampan isi roti
Sebagai
persembahan ritual syukur
Dan
kini, sudah tampak guratan lelah menyimpan sehelai pesan
:
Sebuah kecupan riang terbang dari bibir merahmu
Lalu
hinggap menyemarakkan kerinduan
Di
hamparan keriput keningnya yang bercahaya
Sehabis
emak melarungkan secarik nama dalam singgasana mulia
Purbalingga, 08 April
2020
LEKAS
SEMBUH IBU
di
bawah teduhnya langit pagi
perempuan
itu tak pernah sangsi
menawarkan
senyum
meski
sembari terbaring renta
sebab,
nyanyian pulau melati
tengah
murung diterpa badai besar
hingga
meruntuhkan dahan-dahan kelapa
di
pesisir pantai: bilik para nelayan
mengistirahkan
resah seusai menjaring ikan-ikan
sedang
perempuan itu menggendong setumpuk rindu
di
punggung bengkoknya yang ditumbuhi tunas kamboja
semenjak
si bungsu merengek mencari setetes madu
hasil
dari menangkap sayap lebah di hutan belantara
namun
kini hanya tampak semak belukar menyesaki keprihatinan
dan
tinggal bangkai perahu menepi di pinggiran debur ombak
menyisa
sepi dari debar penantian para perempuan pesisir
dahulu,
sehimpun senyum merekah di ambang pintu
sembari
salam kasih terhidang di sebuah perjamuan malam
lekaslah
mengemas lelah hasil sebulan menyelami angin samudera
kata
seorang bapak, kepada si bungsu yang girang menemui tawanya
sementara,
di bawah teduhnya langit pagi
kini
perempuan itu semakin menanak ketabahan
disisa
usianya yang tengah terkapar duka
dalam
pembaringan wabah doa
bersama
nyiur pokok kelapa di pulau melati
Purbalingga, 07 Mei
2020
SAJIAN
PANORAMA KOTA
/1/
Terbentang
sunyi sepanjang susur mata air klawing
Mengalir
deras dari tebing mataku
Begitu
dingin oleh gerimis yang hanyut bersama riak waktu
Namun,
sesekali kujumpai jejak senyum sinar matahari
Makin
menyemburat elok di pinggiran tubuh sungai
Berkilauan,
hingga menerabas dasar air yang hening
Tampak
pendar warna-warni bebatuan akik
Memancarkan
pundi rupiah yang tersebar pada langit buana
Hingga
mengharumkan tanah kota perwira
/2/
Sepanjang
sungai klawing yang berkabut
Melarung
kedamaian di dalam lumut bebatuan cadas
Bersama
tawa bocah bermata bening
Berenang
menghanyutkan sisa peluh
Selepas
kulihat tapak kecilnya mengecup becek tanah
Sementara,
di bawah rindang dedaunan pohon bambu
Emak
duduk menunggui kecipak tangan bocah kecilnya
Melepaskan
riangnya, sembari memecah tumpukan kerikil
Untuk
memenuhi kehangatan perut di malam hari
Saban
usia menyelimuti wajah yang kian melapuk oleh musim
/3/
Sinar
lembayung senja mengecup permukaan sungai
Memancar
kehangatan pada gebyok warung desa
Yang
di dalamnya terdapat perjumpaan para wajah kekasih
Ditemani
wanginya kepul asap sate blater
Yang
terpanggang mesra bersama angin klawing sore
Dan
dihadapannya tak luput oleh sajian aroma soto bancar
Yang
disirami kesegaran daun-daun bawang
Serta
ditaburi kupat janur dan aneka olahan rempah-rempah
Hasil
petani memetik dari lereng gunung slamet
Hingga
melarungkan cahaya kenikmatan di setiap langit kota perwira
Purbalingga, 26
Februari 2020
IBADAH
SORE
Ibadah
sunyi mataku pada derita layu dedaunan
Bersimbah
kuyup di tanah merah
Di
pinggiran gemericik tubuh sungai
Yang
begitu tulus tengadah
Menunggu
kecupan hujan sore
Dalam
remang waktu
Kau
hanyalah segelintir bayang
Berjalan
menepi dari geraian rintik
Yang
tak pernah lelah menabur kesunyian
Bersama
pupusnya kelopak bunga randu
Sementara
di atas ranting pepohonan
Bertengger
kicau burung kepodang
Sembari
kupunguti alunan alam
Yang
lama menuang syair kehidupan
Gelayut
kelopak kembang yang
Semerbak
itu menawan dalam sukmaku
Perlahan
menari bersama sepoi angin
Begitu
tabah berguguran dalam pelukan tanah
Hingga,
sampailah kalbuku mengaji di bawah lembayung sore
Purbalingga, Desember
2018
MATA
AIR USIA
Selembar daun teratai
Terbaring di atas permadani kolam
Menjadikan tempat ikan-ikan berteduh
Dari kucuran sinar mentari
Yang terjatuh lembut lewat celah atap
rumahmu
Gadis kecil berambut kepang dua
Duduk di tepi kolam itu
Sembari memandangi kecipak sirip
Yang berlenggak-lenggok
Memperagakan tubuh mungilnya
Tanpa disadari ada sebuah mata kasih
Yang senantiasa memberikannya rezeki
Dengan daun singkong serta hijau lumut
sungai
Untuk dilahap tiap pagi dan petang
Hari kian mengalir
Ikan-ikan senantiasa memamerkan kilau
sisiknya
Bersama insang yang merenangi arus usia
Hingga dekapan kematian hinggap di dasar
kolam
Musnahlah segala yang hidup dan bernafas
Sedang gadis kecil dahulu
Kini tumbuh dewasa
Kembali duduk di pinggir permadani para
ikan
Mentafakuri gemricik mata air kehidupan
Yang bermuara pada ketiadaan
Purbalingga,
24 Juli 2018
Tentang
Penulis
Rafelia Asril Aini, lahir di Purbalingga,
30 September 1998. Dia seorang mahasiswi di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri,
Fakultas Dakwah Prodi BKI. Dia aktif di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban
(SKSP) Purwokerto dan Komunitas Rumah Penyu Cilacap. Beberapa puisinya pernah
dimuat di antologi bersama, Hilang
(Aria Pustaka: 2017), Sepucuk Kasih dari
Sosok Sayang (Penerbit Satria: 2018), Teruntuk
Cinta (Rekan Media Publish: 2018), Surat
Untuk Kaki Langit Palestina (Indonesia Writing Club: 2018), A Skyful of Rain (Banjarbarus Rainy Day
Literary Festifal: 2018). Beberapa puisinya dimuat di Majalah Simalaba, Media Indonesia, Lampung Post
dan Minggu Pagi. Fb: Hardian Rafelia
Asril Aini. No. HP: 085799247723. Kode Pos: 53371.