Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi Tjahjono Widijanto

Admin by Admin
18 Juli 2021
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

ANAK PEMANJAT TIANG  BENDERA DI ATAMBUA


Di
Atambua, seorang bocah

menyelimuti
hatinya dengan bendera

tanpa
busana telanjang dada

tak
segagah paskibraka

angkasa
hanya cerita milik para dewa

tapi
seorang bocah telanjang dada

menakluk
angkasa mengibarkan bendera

 

“Aku
tak butuh tali temali,

hanya
hati untuk negeri ini!”

 

Di
Atambua,

seorang
bocah telanjang dada

tak
segagah paskibraka

bertaruh
nyawa

mengibar
bendera di angkasa

ketika
para bapanya di ibu kota

tanpa
muka dan kepala

berebut
melahap negara untuk diri sendiri

 

Di
Atambua,

bersama
angkuh cakrawala

aku
belajar kembali

mengibarkan
bendera

dengan
hati tanpa tali temali

 

Di
Atambua,

bersama
seorang bocah dan bendera

belajar
lagi mencinta negara

dengan
jujur dan sederhana

 

 

Ngawi, 170818


 

 

BURUNG YANG JATUH DI TAMAN

 

aku
bukan pengembara yang bernafsu mengukur

luas
panjang benua lalu menancapkan panji-panji di ujumgnya

sementara
cuaca akan memandang dengan diamnya yang biru

tak
bisa aku membaca apalagi menghafal peta

hanya
aku ingin memasuki sebuah pintu

yang
kelak menjelma secuil celah tempat bertemu

ujung-
ujung jariMu dan ranting singgahku

 

kalau
boleh meminta

kelak
aku bisa sampai jauh ke pesisir

di
tepi-tepi yang selalu basah di usap ombak

tempat
kekasih menunggu pacar berlayar

bersama
bau ikan tuna yang dibakar

dan
purnama  mengatur surut dan pasang lautan

 

aku
baru sampai di taman halaman

dalam
pagar rumah tempat orang-orang bersulang

sebelum
mereka berangkat ke kantor atau ke pasar

ditemani
kekupu menjalangi bunga-bunga di taman

bunga-bunga
yang merunduk meyerahkan tubuh

pasrah
pada musim yang selalu datang berulang-ulang

 

aku
belum sampai ke pesisir

juga
belum ada ujung peluru pemburu

tapi
bau humus tanah dan warna hitamnya keburu melambai

 

 

Ngawi, 2021

 


 

 

BAWANGIN

 

Di
puncak Tiwallung seseorang memandang pelangi

dan
nubuatpun terbentang dari Wuidduanne

orang-orang
berebut menyalakan lilin dalam sunyi pantai

seorang
suci menggedor-gedor pintu langit

di
pojok gerbang yang perkasa melantunkan doa-doa

mantram-mantram
sorga yang melayang bersama kabut

singgah
di pohon-pohon teduh juga belukar yang terbakar

“Aku
bertapa di bukit ini, di kedalaman Lirung yang hijau

mendendangkan
pujian langit gemanya membayang di ujung-ujung pasifik!”

 

Tak
ada yang mesti diperebutkan di sini karena bagimu

Tuhan
tumbuh dalam tubuh, bermekaran dalam jantung

seperti
kabar yang dikekalkan debur ombak dan teguh karang:

diwartakan
pada yang rendah hati, tempat yang sunyi menjadi tempat tinggalmu!

 

Dan
warta itu menjelma seutas rantai tangga langgit

tempat
seseorang tertatih tatih menjumpai Tuhannya

saat
matahar dikepung bintang-bintang

di
Sabaat yang suci di bawah naungan mawwu
warlada

di
dalamnya jagat bungkuk dalam Adat
Bawangin

 

 

Mussi-Jkt, 017/019

 

 Mawwu
warlada
(bhs. Talaud) yang berati Tuhan Pemelihara.

Adat
bawangin: Aliran kepercayaan di ds Mussi di Pulau Lirung, Talaud, yang
disebarkan oleh seorang tokoh bernama Bawangin.


 

 

PULAU SARAK

 

 

pertama
datang melempar sauh aku nyiyir bertanya

siapa
menabur warna salju di punggungmu?

dari
pecahan karang yang di obrak abrik naga lautan

engkau
menjelma gadis dengan wajah malu-malu

menari-nari
mendendangkan larik-larik sasambo

 

“berangkatlah
dari air pangkalan

disertai
mantra-mantra pengasihan

kuatkan
hati meminta berkat

sebab
semua pemberian Tuhan

 

di
sana haluan perahu

emas-emas
gemerlapan

di
antara pulau-pulau

di
tengah-tengah tanah besar

 

di
sana api di pantai

tanda-tandanya
akan sampai

terima
kasih sudah sampai

selamatlah
telah tiba”

 

di
heningmu aku tenggelam dalam santi patana
dan surya manaskar

meminum
cahaya hangat matahari dalam khusuk pantai

mendengarkan
pekik burung-burung sampiri menjerit riang

dalam
rimbun daun-daun bakau dan gericik buih mencumbu pasir

membayangkan
dewa-dewi menari bersama matahari

meminjam
tenaga nelayan yang tak pernah lelah mendayung perahu

membayangkan
menjadi anak laut berdiri di atas jukung

mengejar
ikan-ikan terbang dengan paonade

di
atas buih air-air lautmu yang berganti-ganti warna

darinhijau
lelumut ke warna kecubung

 

bagai
seorang yang kangen pada kekasih

aku
terbang memassuki tirai laut yang putih

bagai
gaun pengantin berkelebat-kelebat pada sayap-sayap awan

sebelum
rontok menggelepar mabuk kepayang

 

di
pulau ini sungguh Tuhan memperlihatkan secuil surga dengan sempurna.

 

 

Sarak, 017/019


 

 

GANDRING

 

Kupahat
kutuk di bilah karatan ini

mantram-mantram
yang ditanam

dalam
pamor walang sinuduk

dengan
genggam hulu kayu cangkring

kutuk
yang dihanyutkan air kali

menjelajahi
waktu demi waktu

 

Kupahat
serapah di lancip besi

bersama mantram
aji-aji

serupa
rajah  di lancip  besi

aku
menitipkan masa depan

mengabadi
dalam jejak

dapat
dibaca sembari minum kopi

betapa
para pemburu dilahirkan di tanah ini

syajarah
selalu  roboh oleh kapak para penebang

yang
mengendap-endap di balik bayang-bayang

 

Kupahat
kutuk di lancip dingin ini

disediakan
bagi para petualang

yang tak
pernah mau layu

dalam
genggam waktu

membiarkan
ruh-ruh bergemuruh

menyambut
siapa saja yang pergi

mengabadi
dalam kutuk yang beku

 

 

Ngawi, 2019



 

 

AJISAKA

 

 

–tuan,
mana  kau pilih nyawa atau aksara?

 

maka
selepas senja buram itu

langit
tak henti berkabung

dua
jagoan lenyap diserap halimun

meninggalkan
rajah menua

bersama
musim yang insomnia

berharap
abadi dalam lipatan

 

nafas-nafas
waktu memburu serupa hantu

membayang
di tiap tikungan

siapa  masih sudi mengeja alfabet ini

yang
lahir dengan mahar nyawa

dipuja
kaum satriya serupa mantram keramat

para
jawara, sudra dan praira ditabalkan

jadi
pahlawan yang ditumbalkan

 

tuan,
apa benar aksara ini milik kita

atau cuma
milik para satriya

pangeran
lembut nan tampan

bersama
putri-putri jelita

tanpa
keringat dan air mata

 

darah
kawula dan jawara

mengabadi
dalam amis yang pilu

dan tuan
tertawa pada sayap-sayap malam:

“bahasa
ini milik satriya bukan kawula

mampus
kau dirajam mimpi!”

 

 

Ngawi, 2019/2020



 

 

DEWATA CENGKAR
 

apa
salahku berwujud raksasa?

aku  lahir di tanah ini

kalau
boleh kuminta

tentu
akan kupilih rupa

wajah
halus tampan satriya

bukan
denawa dengan taring lancip

mengapa
pula kau sampai di negeriku

musyafir
yang disesatkan samodra

tersangkut
di karang karang lautku

 

apa yang
salah dengan wajah raksasaku

berabad
di negeriku musim datang tanpa cedera

tanpamu  musyafir lata berwajah satriya

bunga
dan buah tumbuh silih berganti

tunas
tunas selalu setia menjelma batang

tentu
wajah tampan bukan alasan

kau
datang mengangkat pedang

lalu
menguburku jauh di kedalaman samodra

tanpa
sempat kau tanyakan

berapa
besar cintaku pada negeriku

 

apa yang
salah dengan wujud raksasaku?

apa kau
cemburu melihat cintaku

pada
negeri ini seluas bentangan samodra

sedang
kau sekedar pelancong tanpa KTP

cintamu
pada negeri sendiri cuma sebatas selokan

karena
itu kau tinggalkan negerimu

menyendiri
dalam ingatan sunyi yang pilu

dan
perlahan melupakan namamu

 

 

Ngawi, 2019/2020



 

 

HANACARAKA

 

ini cuma
masalah tafsir, tuan,

kau di
ujung sana aku di kutub lain menaksir aksara

lidah
api yang keluar dari mulut  titisan para
dewa

dan kita
sepasang kadang berseberang dalam tarung 

yang
kejam pada lurung-lurung gaduh mengguruh.

sebelumnya
telah kubayangkan  kau menunggu di
terminal

menyambut
dengan sebuah pelukan alit, cipika cipiki,

selfie
lalu pulang bersama. nyatanya tak.

kita
bersikukuh dalam tafsir-tafsir kejam sedingin lancip keris

 

ini cuma
persoalan tafsir, tuan

maaf
kami beda menangkap isyarat

karena
kita bukan pendeta waskita

bukan
satriya titisan dewa

cuma
petarung silsilah para jawara

karena
itu jangan paksa kami seia menafsir

mantram
mantram rumit dalam kuasa bahasamu

 

 

Ngawi-Jakarta, 018/019

 



 

 

NUBUAT
POHON ASAM
*Baradah

 

aku
lahir dari kutuk

doa tua
yang membonsai tubuh

memisahkanku
dari genggaman langit bapa angkasa

belenggu
yang berpinak sepanjang gelisah nafas tak pernah lunas terbalas

tempat
sunyi yang menyerah pada kehendak berkarat

batang
tubuhku yang kuat perkasa

hanyalah
si terkutuk dengan jiwa nelangsa

menggumpalkan
kekalahan dalam samadi tak terperikan

menjinjing
waktu bersama darah meleh di pinggang

menunggu
penebang mematahkan tulang-tulangku

 

aku
lahir dari kutuk

mantram
yang membelenggu dahan rantingku

mengurung
rinduku pada nikmat  liukan ujung badai

juga
bisikan cinta dari pucuk kabut di tangga langit

terbungkuk-bungkuk
jadi si tua diterpa dingin dan mimpi buruk

 

aku
lahir dari kutuk

berkabar
pada cuaca yang datang dan pergi

dalam
kubangan waktu yang gelisah dalam sejarah

bersama
ingatan-ingatan kecut serupa pecut

menganyam
senja, jarak dan peristiwa

berkawan
hantu tua penunggu jalan yang juga tua

merajam
bunyi menjadi sunyi

 

 



 

 

PISANG BAKAR DAN SEBIJI TREMBESI SERUPA KHULDI

 

seseorang
di dalam kamar

merajuk
dalam mimpinya:

“aku
ingin pisang

yang
tumbuh di bilik sorga,

ditanam
para malaikat,

dibakar
dalam rahasia api!”

 

sesorang  entah siapa

menjawab
dalam mimpinya,

“tak ada
pisang  yang ditanam

dan bisa
dibakar, 

di ceruk
ini cuma ada

sebiji
trembesi sebesar khuldi!”

 

seseorang
terjaga dari mimpi,

di
mejanya sepiring pisang bakar

telah
jadi dingin dan basi

langsung
ke luar kamar

pergi ke
angkringan

memesan  sebiji pisang

minta  dibakar di perapian

 

pisang
separo terbakar

mendadak  ditinggal pergi

sebelum
sempurna matang

karena
pandang  matanya

terbentur
hitam warna arang

 

 

Ngawi, 018/019

 



 

 

HIKAYAT PALA
 

kisahku
sampai juga di benua-benua ini

ditiup
angin selatan dan angin barat, didendangkan nelayan

memburu marulaga pada bulan  alo kasuang

hinggap
ditelinga nahkoda kaparo bersama
serombongan kelasi berkudis

menyanding
sebotol minuman keras dan peta yang kumal

berteriak-teriak
parau, meracau nyaris putus asa

                                                                        –“ad loca aromatum!”

perjalanan
edan untuk persembahan maharaja yang lapar

 

ini si
tua, hidangan rahasia penghuni sorga

mendekam
dalam ceruk ceruk lembah

dilindungi
mantram-mantram dan dentam tifa

pulau-pulau
bukit menjulang, gunung api,

pasir-pasir
perak serta laut warna kecubung

gumpalan-gumpalan
padat sejarah yang mendadak telanjang

 

aku si
tua, berhasil membuat para jagoan mengidap insomnia

mata
caling beling terkesiap menatapku lalu dentam sepatu

anyir
angin bersiutan, wangi amunisi, leher meriam yang dibelai

seringai
badai api menggasak pantai-pantai

batang-batang
lenganku terkayuh jauh

meninggalkan
celah lembah, pasir perak dan laut warna kecubung

mengembara
dan terbantai seperti nabi disalib di tengah bandar

 

ini si
tua, korban sekaligus pahlawan

jadi
penumpang sial dipaksa berlayar ke ujung-ujung jagat

tak kuasa
mengutuk apalagi menolak

 

ini aku
si tua, kini tak lagi digdaya

seperti
dulu saat sebiji merah coklatku ditukar maharaja

dengan
pulau di ujung dunia yang lain lagi

 

 

Melonguane, 05017



 

 

NELAYAN PULANG DI PANTAI SAWANG

 

lelaki
jantan, sudah lama kau pergi

dibawa
kencang angin laut pasang

kubayangkan
kau segera pulang

dengan
tubuh wangi lautan

para
kekasih menunggu

di pasir
basah yang gelisah

 

lelaki
jantan, sepanjang malam Tuhan biarkan

aku
gemetar membayang takdir lelaki lautan

setiap
saat siap disalib tajam karang

mataku
basah membayang

berapa
tajam kelokan

berapa
purnama sampai tujuan

 

lelaki
jantan selalu saja aku gemetaran

membayangkan
berapa kali kau mati

dalam
gemuruh lindu dan geluduk taufan

 

lelaki
jantan selalu aku gemetar

membayang
purnama

tanpa
kekasih dalam dekapan

 

 

Pantai Sawang Melonguane, 2017



 

 

TULUDE*

 

bersama
ombak saat laut pasang

telah
aku kirimkan perahu  lalotang

tanpa
kelasi, juru mudi atau nahkoda

namun
tak sangsi pasti esok sampai

melempar
sauh di dermagamu

krasan
disitu dan takkan kembali

 

tahun-tahun
lalu lewatlah larut

ditiup
angin laut dan angin darat

tahun-tahun
kecut dan wajah purut

biarlah
hanyut dibawa topan lautan

 

berangkatlah
perahu  lalotang

memanggul
beban tahun merimbun

melarungnya
jauh-jauh ke pusar laut

bersama
ombak janganlah kembali pulang

 

bersama
ombak saat laut pasang

perahu lalotang biarlah karam di karang

bergantilah
tahun dengan senyum gelombang

setelah
badai turun kemarin malam

gantilah
kini nelayang berdendang

bersama
ikan-ikan rajin bertandang

 

 

 01/18

 

 

*Tulude adalah upacara perayaan tahun
baru di kepulauan Talaud dengan cara menghanyutkan perahu tanpa penumpang.
Perahu terbuat dari pohon khusus tanpa cabang yang dihanyutkan ke tengah
samodra sebagai simbol semua hal yang tak baik biarlah lenyap bersama tahun
yang berlalu untuk tidak kembali, dan yang datang  biarlah hal-hal yang baik bersama tahun yang
baru.



 

 

INGATAN PADA FRANSISCO RODRIGUES*)
 

atlas
ini telah menyediakan jalan menuju lembah-lembah sorga

bandar
demi bandar dan kapal-kapal yang menyala

ingatan
jalang, tatapan liar dendam dan putus asa                   

kebangkitan
dan kebangkrutan silih berganti

bagai
hantu tua yang dikeluarkan dari peta usang yang rengat

menjadi
roh abadi dalam dada para pelaut petualang yang liar

dan
matahari sungsang di lautan mendadak gerhana

darah
dari segala tarian perang meramaikan lautan

menyusup
di antara sengat bau pala dan sangit bakaran kopra

 

tak ada
yang dapat menolak sejarah

kaulah
pencuri ulung alamat pojok-pojok sorga

cuilan
firdaus dari secarik kertas retak lamat-lamat

menjadi
route perjalanan, persaingan penuh rahasia

sangkakala
api yang berkelabat sepanjang detak detak jam

digerakan
taufan ke arah bebukit karang yang segera terbakar

racikan-racikan
sorga diperebutkan dalam tangan-tangan terbuka

 

tak ada
yang dapat menolak sejarah

di
pantai-pantai ini tangis bocah-bocah diterbangkan camar

di atas
geledak kapal kapitenmu mengelus-elus kepala meriam

menggambar
langit dengan asap lada, cengkeh dan pala yang terbakar

membabat
menimbunnya di tebal papan geledak kapal

persembahan
dari tanah sorga yang kehilangan pintu gerbangnya.

 

 

017/018

 

 

*)
Rodrigues adalah salah satu ahli peta Portugis yang berhasil merampas sebuah
peta route jalur rempah kawasan Timur setelah sebelumnya menaklukan Malaka.

 

 



 

Tentang Penulis

 


Tjahjono
Widijanto
,  sastrawan dan
Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2020)  ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Dia
menulis puisi, esai, dan cerpen. Buku karyanya:
 Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai
Sastra  (
2020); Dari Jagat
Wayang Hingga Peahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan
Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020)
; Prodisa:
Surga Halaman Depan (
Badan Bahasa, 2017); Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora
Waktu: Kumpula
n Esai Budaya (2017); Dari
Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra
(2011); Wangsit Langit (2015); Janturan (Juni, 2011); Singir (2014); Cakil & 15 Kisah Lainnya(2019); Rezim Para
Satriya
(Naskah drama, 2013); Menulis
Sastra Siapa Takut?
(2014); Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra
DKJ (Kepustakaan Populer Gramedia
dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010); Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000)
; Birahi Hujan
(Logung Pustaka, 2004,)
; Compassion & Solidarity A
Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009)
.

Dia
d
iundang dalam berbagai acara sastra nasional dan internasional: memberikan
ceramah sastra di
Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Selatan 
(Juni, 2009); Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival (2009); Cakrawala
Sastra Indonesia
(Dewan Kesenian Jakarta,2004); Mimbar
Penyair Abad 21 (DKJ, 1996)
. Dia memperoleh Penghargaan
Seniman (Sastrawan) dari Gubernur Jawa Timur (2014)
; dan Penghargaan Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur (2019). Pada bulan
April-Mei tahun 2017 lalu ditunjuk Badan Bahasa untuk mengikuti program
Residensi Sastrawan Berkarya di Talaud Sulawesi Utara.
Dia memenangkan
berbagai sayembara menulis:
Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan
Kesenian Jakarta (2004)
;
Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010); Pemenang II
Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009)
; Pemenanang
Lomba Mengulas Karya Sastra (
5 kali berturut–turut; 2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006).

Selain sebagai sastrawan, dia menjadi Kepala Sekolah SMA Negeri di Ngawi; bertempat tinggal di Jl. Hasanudin Gg Cimanuk 1–A Ngawi; HP 082143785362; email tjahwid@yahoo.co.id.

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In