ANAK PEMANJAT TIANG BENDERA DI ATAMBUA
Di
Atambua, seorang bocah
menyelimuti
hatinya dengan bendera
tanpa
busana telanjang dada
tak
segagah paskibraka
angkasa
hanya cerita milik para dewa
tapi
seorang bocah telanjang dada
menakluk
angkasa mengibarkan bendera
“Aku
tak butuh tali temali,
hanya
hati untuk negeri ini!”
Di
Atambua,
seorang
bocah telanjang dada
tak
segagah paskibraka
bertaruh
nyawa
mengibar
bendera di angkasa
ketika
para bapanya di ibu kota
tanpa
muka dan kepala
berebut
melahap negara untuk diri sendiri
Di
Atambua,
bersama
angkuh cakrawala
aku
belajar kembali
mengibarkan
bendera
dengan
hati tanpa tali temali
Di
Atambua,
bersama
seorang bocah dan bendera
belajar
lagi mencinta negara
dengan
jujur dan sederhana
Ngawi, 170818
BURUNG YANG JATUH DI TAMAN
aku
bukan pengembara yang bernafsu mengukur
luas
panjang benua lalu menancapkan panji-panji di ujumgnya
sementara
cuaca akan memandang dengan diamnya yang biru
tak
bisa aku membaca apalagi menghafal peta
hanya
aku ingin memasuki sebuah pintu
yang
kelak menjelma secuil celah tempat bertemu
ujung-
ujung jariMu dan ranting singgahku
kalau
boleh meminta
kelak
aku bisa sampai jauh ke pesisir
di
tepi-tepi yang selalu basah di usap ombak
tempat
kekasih menunggu pacar berlayar
bersama
bau ikan tuna yang dibakar
dan
purnama mengatur surut dan pasang lautan
aku
baru sampai di taman halaman
dalam
pagar rumah tempat orang-orang bersulang
sebelum
mereka berangkat ke kantor atau ke pasar
ditemani
kekupu menjalangi bunga-bunga di taman
bunga-bunga
yang merunduk meyerahkan tubuh
pasrah
pada musim yang selalu datang berulang-ulang
aku
belum sampai ke pesisir
juga
belum ada ujung peluru pemburu
tapi
bau humus tanah dan warna hitamnya keburu melambai
Ngawi, 2021
BAWANGIN
Di
puncak Tiwallung seseorang memandang pelangi
dan
nubuatpun terbentang dari Wuidduanne
orang-orang
berebut menyalakan lilin dalam sunyi pantai
seorang
suci menggedor-gedor pintu langit
di
pojok gerbang yang perkasa melantunkan doa-doa
mantram-mantram
sorga yang melayang bersama kabut
singgah
di pohon-pohon teduh juga belukar yang terbakar
“Aku
bertapa di bukit ini, di kedalaman Lirung yang hijau
mendendangkan
pujian langit gemanya membayang di ujung-ujung pasifik!”
Tak
ada yang mesti diperebutkan di sini karena bagimu
Tuhan
tumbuh dalam tubuh, bermekaran dalam jantung
seperti
kabar yang dikekalkan debur ombak dan teguh karang:
diwartakan
pada yang rendah hati, tempat yang sunyi menjadi tempat tinggalmu!
Dan
warta itu menjelma seutas rantai tangga langgit
tempat
seseorang tertatih tatih menjumpai Tuhannya
saat
matahar dikepung bintang-bintang
di
Sabaat yang suci di bawah naungan mawwu
warlada
di
dalamnya jagat bungkuk dalam Adat
Bawangin
Mussi-Jkt, 017/019
Mawwu
warlada (bhs. Talaud) yang berati Tuhan Pemelihara.
Adat
bawangin: Aliran kepercayaan di ds Mussi di Pulau Lirung, Talaud, yang
disebarkan oleh seorang tokoh bernama Bawangin.
PULAU SARAK
pertama
datang melempar sauh aku nyiyir bertanya
siapa
menabur warna salju di punggungmu?
dari
pecahan karang yang di obrak abrik naga lautan
engkau
menjelma gadis dengan wajah malu-malu
menari-nari
mendendangkan larik-larik sasambo
“berangkatlah
dari air pangkalan
disertai
mantra-mantra pengasihan
kuatkan
hati meminta berkat
sebab
semua pemberian Tuhan
di
sana haluan perahu
emas-emas
gemerlapan
di
antara pulau-pulau
di
tengah-tengah tanah besar
di
sana api di pantai
tanda-tandanya
akan sampai
terima
kasih sudah sampai
selamatlah
telah tiba”
di
heningmu aku tenggelam dalam santi patana
dan surya manaskar
meminum
cahaya hangat matahari dalam khusuk pantai
mendengarkan
pekik burung-burung sampiri menjerit riang
dalam
rimbun daun-daun bakau dan gericik buih mencumbu pasir
membayangkan
dewa-dewi menari bersama matahari
meminjam
tenaga nelayan yang tak pernah lelah mendayung perahu
membayangkan
menjadi anak laut berdiri di atas jukung
mengejar
ikan-ikan terbang dengan paonade
di
atas buih air-air lautmu yang berganti-ganti warna
darinhijau
lelumut ke warna kecubung
bagai
seorang yang kangen pada kekasih
aku
terbang memassuki tirai laut yang putih
bagai
gaun pengantin berkelebat-kelebat pada sayap-sayap awan
sebelum
rontok menggelepar mabuk kepayang
di
pulau ini sungguh Tuhan memperlihatkan secuil surga dengan sempurna.
Sarak, 017/019
GANDRING
Kupahat
kutuk di bilah karatan ini
mantram-mantram
yang ditanam
dalam
pamor walang sinuduk
dengan
genggam hulu kayu cangkring
kutuk
yang dihanyutkan air kali
menjelajahi
waktu demi waktu
Kupahat
serapah di lancip besi
bersama mantram
aji-aji
serupa
rajah di lancip besi
aku
menitipkan masa depan
mengabadi
dalam jejak
dapat
dibaca sembari minum kopi
betapa
para pemburu dilahirkan di tanah ini
syajarah
selalu roboh oleh kapak para penebang
yang
mengendap-endap di balik bayang-bayang
Kupahat
kutuk di lancip dingin ini
disediakan
bagi para petualang
yang tak
pernah mau layu
dalam
genggam waktu
membiarkan
ruh-ruh bergemuruh
menyambut
siapa saja yang pergi
mengabadi
dalam kutuk yang beku
Ngawi, 2019
AJISAKA
–tuan,
mana kau pilih nyawa atau aksara?
maka
selepas senja buram itu
langit
tak henti berkabung
dua
jagoan lenyap diserap halimun
meninggalkan
rajah menua
bersama
musim yang insomnia
berharap
abadi dalam lipatan
nafas-nafas
waktu memburu serupa hantu
membayang
di tiap tikungan
siapa masih sudi mengeja alfabet ini
yang
lahir dengan mahar nyawa
dipuja
kaum satriya serupa mantram keramat
para
jawara, sudra dan praira ditabalkan
jadi
pahlawan yang ditumbalkan
tuan,
apa benar aksara ini milik kita
atau cuma
milik para satriya
pangeran
lembut nan tampan
bersama
putri-putri jelita
tanpa
keringat dan air mata
darah
kawula dan jawara
mengabadi
dalam amis yang pilu
dan tuan
tertawa pada sayap-sayap malam:
“bahasa
ini milik satriya bukan kawula
mampus
kau dirajam mimpi!”
Ngawi, 2019/2020
DEWATA CENGKAR
apa
salahku berwujud raksasa?
aku lahir di tanah ini
kalau
boleh kuminta
tentu
akan kupilih rupa
wajah
halus tampan satriya
bukan
denawa dengan taring lancip
mengapa
pula kau sampai di negeriku
musyafir
yang disesatkan samodra
tersangkut
di karang karang lautku
apa yang
salah dengan wajah raksasaku
berabad
di negeriku musim datang tanpa cedera
tanpamu musyafir lata berwajah satriya
bunga
dan buah tumbuh silih berganti
tunas
tunas selalu setia menjelma batang
tentu
wajah tampan bukan alasan
kau
datang mengangkat pedang
lalu
menguburku jauh di kedalaman samodra
tanpa
sempat kau tanyakan
berapa
besar cintaku pada negeriku
apa yang
salah dengan wujud raksasaku?
apa kau
cemburu melihat cintaku
pada
negeri ini seluas bentangan samodra
sedang
kau sekedar pelancong tanpa KTP
cintamu
pada negeri sendiri cuma sebatas selokan
karena
itu kau tinggalkan negerimu
menyendiri
dalam ingatan sunyi yang pilu
dan
perlahan melupakan namamu
Ngawi, 2019/2020
HANACARAKA
ini cuma
masalah tafsir, tuan,
kau di
ujung sana aku di kutub lain menaksir aksara
lidah
api yang keluar dari mulut titisan para
dewa
dan kita
sepasang kadang berseberang dalam tarung
yang
kejam pada lurung-lurung gaduh mengguruh.
sebelumnya
telah kubayangkan kau menunggu di
terminal
menyambut
dengan sebuah pelukan alit, cipika cipiki,
selfie
lalu pulang bersama. nyatanya tak.
kita
bersikukuh dalam tafsir-tafsir kejam sedingin lancip keris
ini cuma
persoalan tafsir, tuan
maaf
kami beda menangkap isyarat
karena
kita bukan pendeta waskita
bukan
satriya titisan dewa
cuma
petarung silsilah para jawara
karena
itu jangan paksa kami seia menafsir
mantram
mantram rumit dalam kuasa bahasamu
Ngawi-Jakarta, 018/019
NUBUAT
POHON ASAM
*Baradah
aku
lahir dari kutuk
doa tua
yang membonsai tubuh
memisahkanku
dari genggaman langit bapa angkasa
belenggu
yang berpinak sepanjang gelisah nafas tak pernah lunas terbalas
tempat
sunyi yang menyerah pada kehendak berkarat
batang
tubuhku yang kuat perkasa
hanyalah
si terkutuk dengan jiwa nelangsa
menggumpalkan
kekalahan dalam samadi tak terperikan
menjinjing
waktu bersama darah meleh di pinggang
menunggu
penebang mematahkan tulang-tulangku
aku
lahir dari kutuk
mantram
yang membelenggu dahan rantingku
mengurung
rinduku pada nikmat liukan ujung badai
juga
bisikan cinta dari pucuk kabut di tangga langit
terbungkuk-bungkuk
jadi si tua diterpa dingin dan mimpi buruk
aku
lahir dari kutuk
berkabar
pada cuaca yang datang dan pergi
dalam
kubangan waktu yang gelisah dalam sejarah
bersama
ingatan-ingatan kecut serupa pecut
menganyam
senja, jarak dan peristiwa
berkawan
hantu tua penunggu jalan yang juga tua
merajam
bunyi menjadi sunyi
PISANG BAKAR DAN SEBIJI TREMBESI SERUPA KHULDI
seseorang
di dalam kamar
merajuk
dalam mimpinya:
“aku
ingin pisang
yang
tumbuh di bilik sorga,
ditanam
para malaikat,
dibakar
dalam rahasia api!”
sesorang entah siapa
menjawab
dalam mimpinya,
“tak ada
pisang yang ditanam
dan bisa
dibakar,
di ceruk
ini cuma ada
sebiji
trembesi sebesar khuldi!”
seseorang
terjaga dari mimpi,
di
mejanya sepiring pisang bakar
telah
jadi dingin dan basi
langsung
ke luar kamar
pergi ke
angkringan
memesan sebiji pisang
minta dibakar di perapian
pisang
separo terbakar
mendadak ditinggal pergi
sebelum
sempurna matang
karena
pandang matanya
terbentur
hitam warna arang
Ngawi, 018/019
HIKAYAT PALA
kisahku
sampai juga di benua-benua ini
ditiup
angin selatan dan angin barat, didendangkan nelayan
memburu marulaga pada bulan alo kasuang
hinggap
ditelinga nahkoda kaparo bersama
serombongan kelasi berkudis
menyanding
sebotol minuman keras dan peta yang kumal
berteriak-teriak
parau, meracau nyaris putus asa
–“ad loca aromatum!”
perjalanan
edan untuk persembahan maharaja yang lapar
ini si
tua, hidangan rahasia penghuni sorga
mendekam
dalam ceruk ceruk lembah
dilindungi
mantram-mantram dan dentam tifa
pulau-pulau
bukit menjulang, gunung api,
pasir-pasir
perak serta laut warna kecubung
gumpalan-gumpalan
padat sejarah yang mendadak telanjang
aku si
tua, berhasil membuat para jagoan mengidap insomnia
mata
caling beling terkesiap menatapku lalu dentam sepatu
anyir
angin bersiutan, wangi amunisi, leher meriam yang dibelai
seringai
badai api menggasak pantai-pantai
batang-batang
lenganku terkayuh jauh
meninggalkan
celah lembah, pasir perak dan laut warna kecubung
mengembara
dan terbantai seperti nabi disalib di tengah bandar
ini si
tua, korban sekaligus pahlawan
jadi
penumpang sial dipaksa berlayar ke ujung-ujung jagat
tak kuasa
mengutuk apalagi menolak
ini aku
si tua, kini tak lagi digdaya
seperti
dulu saat sebiji merah coklatku ditukar maharaja
dengan
pulau di ujung dunia yang lain lagi
Melonguane, 05017
NELAYAN PULANG DI PANTAI SAWANG
lelaki
jantan, sudah lama kau pergi
dibawa
kencang angin laut pasang
kubayangkan
kau segera pulang
dengan
tubuh wangi lautan
para
kekasih menunggu
di pasir
basah yang gelisah
lelaki
jantan, sepanjang malam Tuhan biarkan
aku
gemetar membayang takdir lelaki lautan
setiap
saat siap disalib tajam karang
mataku
basah membayang
berapa
tajam kelokan
berapa
purnama sampai tujuan
lelaki
jantan selalu saja aku gemetaran
membayangkan
berapa kali kau mati
dalam
gemuruh lindu dan geluduk taufan
lelaki
jantan selalu aku gemetar
membayang
purnama
tanpa
kekasih dalam dekapan
Pantai Sawang Melonguane, 2017
TULUDE*
bersama
ombak saat laut pasang
telah
aku kirimkan perahu lalotang
tanpa
kelasi, juru mudi atau nahkoda
namun
tak sangsi pasti esok sampai
melempar
sauh di dermagamu
krasan
disitu dan takkan kembali
tahun-tahun
lalu lewatlah larut
ditiup
angin laut dan angin darat
tahun-tahun
kecut dan wajah purut
biarlah
hanyut dibawa topan lautan
berangkatlah
perahu lalotang
memanggul
beban tahun merimbun
melarungnya
jauh-jauh ke pusar laut
bersama
ombak janganlah kembali pulang
bersama
ombak saat laut pasang
perahu lalotang biarlah karam di karang
bergantilah
tahun dengan senyum gelombang
setelah
badai turun kemarin malam
gantilah
kini nelayang berdendang
bersama
ikan-ikan rajin bertandang
01/18
*Tulude adalah upacara perayaan tahun
baru di kepulauan Talaud dengan cara menghanyutkan perahu tanpa penumpang.
Perahu terbuat dari pohon khusus tanpa cabang yang dihanyutkan ke tengah
samodra sebagai simbol semua hal yang tak baik biarlah lenyap bersama tahun
yang berlalu untuk tidak kembali, dan yang datang biarlah hal-hal yang baik bersama tahun yang
baru.
INGATAN PADA FRANSISCO RODRIGUES*)
atlas
ini telah menyediakan jalan menuju lembah-lembah sorga
bandar
demi bandar dan kapal-kapal yang menyala
ingatan
jalang, tatapan liar dendam dan putus asa
kebangkitan
dan kebangkrutan silih berganti
bagai
hantu tua yang dikeluarkan dari peta usang yang rengat
menjadi
roh abadi dalam dada para pelaut petualang yang liar
dan
matahari sungsang di lautan mendadak gerhana
darah
dari segala tarian perang meramaikan lautan
menyusup
di antara sengat bau pala dan sangit bakaran kopra
tak ada
yang dapat menolak sejarah
kaulah
pencuri ulung alamat pojok-pojok sorga
cuilan
firdaus dari secarik kertas retak lamat-lamat
menjadi
route perjalanan, persaingan penuh rahasia
sangkakala
api yang berkelabat sepanjang detak detak jam
digerakan
taufan ke arah bebukit karang yang segera terbakar
racikan-racikan
sorga diperebutkan dalam tangan-tangan terbuka
tak ada
yang dapat menolak sejarah
di
pantai-pantai ini tangis bocah-bocah diterbangkan camar
di atas
geledak kapal kapitenmu mengelus-elus kepala meriam
menggambar
langit dengan asap lada, cengkeh dan pala yang terbakar
membabat
menimbunnya di tebal papan geledak kapal
persembahan
dari tanah sorga yang kehilangan pintu gerbangnya.
017/018
*)
Rodrigues adalah salah satu ahli peta Portugis yang berhasil merampas sebuah
peta route jalur rempah kawasan Timur setelah sebelumnya menaklukan Malaka.
Tentang Penulis
Tjahjono
Widijanto, sastrawan dan
Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2020) ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Dia
menulis puisi, esai, dan cerpen. Buku karyanya: Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai
Sastra (2020); Dari Jagat
Wayang Hingga Peahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan
Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020); Prodisa:
Surga Halaman Depan (Badan Bahasa, 2017); Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora
Waktu: Kumpulan Esai Budaya (2017); Dari
Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011); Wangsit Langit (2015); Janturan (Juni, 2011); Singir (2014); Cakil & 15 Kisah Lainnya(2019); Rezim Para
Satriya (Naskah drama, 2013); Menulis
Sastra Siapa Takut? (2014); Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra
DKJ (Kepustakaan Populer Gramedia dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010); Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000); Birahi Hujan
(Logung Pustaka, 2004,); Compassion & Solidarity A
Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009).
Dia
diundang dalam berbagai acara sastra nasional dan internasional: memberikan
ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Selatan (Juni, 2009); Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival (2009); Cakrawala
Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004); Mimbar
Penyair Abad 21 (DKJ, 1996). Dia memperoleh Penghargaan
Seniman (Sastrawan) dari Gubernur Jawa Timur (2014); dan Penghargaan Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur (2019). Pada bulan
April-Mei tahun 2017 lalu ditunjuk Badan Bahasa untuk mengikuti program Residensi Sastrawan Berkarya di Talaud Sulawesi Utara.
Dia memenangkan
berbagai sayembara menulis: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan
Kesenian Jakarta (2004);
Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010); Pemenang II
Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009); Pemenanang
Lomba Mengulas Karya Sastra (5 kali berturut–turut; 2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006).
Selain sebagai sastrawan, dia menjadi Kepala Sekolah SMA Negeri di Ngawi; bertempat tinggal di Jl. Hasanudin Gg Cimanuk 1–A Ngawi; HP 082143785362; email tjahwid@yahoo.co.id.