Kupanggil
Namamu Kekasih
Sudah beberapa minggu ini, aku tidak
bisa tidur. Setiap tengah malam, bangun disertai dengan getaran jantung yang
tak beraturan. Aku bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya? Apa ada orang bermaksud
kurang baik padaku? Terus apa untungnya mempermainkanku?” mataku tak mengenal
kata kantuk kalau sudah seperti itu. Aku berusaha menenangkan diri dengan duduk
bersila. Kuatur napas. Kutenangkan jiwaku. Setiap kutarik napasku, setiap itu
juga namanya muncul di napasku. Ia kekasihku yang telah lama pergi. Pergi
berbekalkan beragam derita yang kubuat sendiri. Aku sengaja membuat agar ia
terus menjauhiku. Inilah kekurangajaranku. Dulu, aku yang mengejarnya, setelah
dekat justru aku tak peduli lagi. Dasar manusia kurang ajar aku ini.
Dulu, ia satu kantor denganku.
Setelah, kujauhi, ia pindah ke kantor lain yang masih satu grup perusahaan denganku,
tapi, tidak dalam satu provinsi. Aku waktu itu merasa menang karena bisa
memutuskan tanpa ada kata putus. Kudengar setelah berada di kantor barunya,
jiwanya tak seimbang. Katanya sering kesurupan di tempat kerja. Aku yakin,
akulah penyebabnya. Apa karena itu lantas aku terus dibayang-bayangi olehnya?
Entahlah.
Kelelahan menghampiri jiwaku. Tubuhku terpengaruh.
Teman-teman dekatku mengentarakan bahwa aku semakin kurus saja. “Kau sakit ya?”
temanku yang sering datang ke rumahku bertanya sambil memperhatikan perubahan
yang terjadi pada diriku.
“Kupikir tidak,” jawabku sambil berupaya
agar temanku tak lagi menanyakan akan perubahan pada diriku. Sengaja aku
mengalihkan perhatiannya. Kusampaikan bahwa beberapa teman sekolahku ada yang
telah menghadap Yang Kuasa karena gering
tahun ini. Ia jawab dengan senyuman.
“Semua sudah ada yang mengatur.
Tapi, kita tak boleh menyerah. Hidup bukan menunggu kekalahan, tapi mengukir
kemenangan” ia pergi meninggalkanku menuju ruang kerjanya. Aku merasa lebih
nyaman karena tak lagi mendengar kata-kata yang seolah-olah peduli dengan
perubahanku. Kubuka laptop. Kubaca tulisan-tulisan yang pernah kutulis walau
hanya beberapa buah saja. Aku merasa sedikit terhibur.
“Tulisanmu lumayan banyak?” teman seruangan melihat
tulisanku di laptop.
“Ah, tidak juga. Iseng saja.”
“Iseng yang bagus. Kau bisa menuliskan isi hatimu,
sedangkan aku hanya bisa membicarakan isi hatiku saja. Kau bisa mengobati
dengan tulisan itu.”
Aku memandang wajahnya.
“Benar. Tulisan itu bisa mengurangi beban pikiranmu.
Jangan berhenti menulis. Jika kau punya kenangan buruk, tuliskan saja hingga
lapang hatimu. Jangan-jangan karena tak sempat nulis kau menjadi begini?”
Aku tak menjawabnya. Ia sepertinya tahu bahwa ada
perasaan bersalah dalam hidupku. Aku telah menyakiti seorang gadis yang
seharusnya kusayangi. Ah, aku memang kurang ajar sekali. Ini adalah karmaku.
“Jangan pendam deritamu. Ia bisa menggerogotimu dari
dalam lama-lama organ dalammu bisa keropos. Ibaratnya virus, ia pelan-pelan
akan menerkam dirimu. Keluarkan saja dengan tulisan.”
“Terima kasih,” jawabku. Aku mencari tulisan-tulisan
yang belum terselesaikan. Entah apa yang
kutulis? aku tidak tahu tulisan-tulisanku bermutu atau tidak. Aku tak mau
mengirimkan ke media cetak atau media online. Tulisanku hanya menambah sampah
pikiran saja. Kubiarkan di dalam laptop. Menulis untuk diri sendiri saja.
Ini sering kulakukan. Setiap memulai tulisan, kutulis
nama kekasihku itu. Ia kupanggil dengan beragam sebutan. Sebutan pertama,
kuberi nama, Putri Bunga. Kuceritakan seorang putri yang selalu mengumpulkan
beragam warna bunga dengan beragam baunya. Kubayangkan dirinya memetik
bunga-bunga itu dan menyumpangkan di kedua telingaku. Mencumbui bunga-bunga dan
mendekap bunga-bunga itu dengan penuh cinta.
Malam selanjutnya, kupanggil kekasihku dengan Putri
Bulan. Kutulis beragam kisah bulan. Mulai dari bulan berbentuk bulan sabit,
bulan gelap hingga purnama raya. Ini purnama pertama tahun ini. Rembulan muncul
dengan wajahnya yang memutih. Awan-awan tak menyelimutinya. Lapang jalannya
purnama hingga ia tegak di ubun-ubunku. Purnama-purnama yang lainnya pun
kutulis hingga purnama kedua belas.
Malam ketiga, kuberi panggilan Putri Angin.
Kubayangkan ia bisa menyusupi setiap tempat sesuka hatinya. Ia menyejuki hatiku
saat panas tak terbendung. Semilir datangnya, kutulis bahwa angin tak tampak
hanya kulit yang bisa merasakan. Kalau angin tak ada, manusia akan mati. Jika
angin marah, apapun bisa berubah dalam sekejap.
Malam keempat kuberi nama Putri Air. Desauan air di
sungai, gemuruh ombak di pantai, tenangnya air danau, derasnya air bah termasuk
jika tak ada air kuungkapkan. Jika air tak ada, maka kekeringan akan memasuki
hati. Mungkin aku ini juga sudah kering hingga tak bisa melihat hati kekasihku.
Malam kelima kuawali dengan menulis Putri Cahaya.
Kubayangkan ia membawa penerang mendatangi jiwaku yang kegelapan. Ia bongkar
jelaga yang menutupi hatiku dengan cahaya cintanya. Ia tersenyum saat itu. “Ini
jiwamu telah dikotori oleh keinginanmu,” bisiknya.
Malam keenam kutulis namanya dengan Putri Api. Ia
memberi panas agar aku terus bersemangat dalam hidup. Kurasakan panasnya hingga
kemalasanku bisa kukurangi. Aku juga tuliskan api itu membakar tubuh dan
jiwaku. Ia tak menangis saat melihat tubuhku terbakar karena menangis bukan
jiwanya.
Malam ketujuh aku mengalami kesulitan mengawali
tulisanku. Kekasihku sepertinya menumpahkan kemarahannya di hadapanku. “Kau
laki-laki pengecut. Aku tak percaya pada dirimu. Kau berjanji setia padaku.
Tapi nyatanya kau memalingkan hatimu. Apa itu memang sifat dirimu?”
Ia menampar pipiku. “Rasakan ini! Ini balasannya
bagi seorang laki-laki yang tak setia pada kata-katanya. Aku muak melihat wajah
sepertimu. Laki-laki pecundang.”
Aku mau membela diri. Tapi tak bisa. “Putu bangun!
Bangun! Banguuuuuuuuuuuuun!” Ibuku menggoyang-goyangkan tubuhku. “Ini ada WA
dari temanmu bahwa kekasihmu telah pergi.”
Catatan:
Gering:
wabah
Tentang Penulis
Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten,
Pengawas Sekolah di Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Bali,
Pemenang Pertama Guru Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013 menulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Bali berupa puisi, cerpen, esai maupun resensi
buku. Beralamat
di Jalan Ngurah Rai, Gang Mahoni, No. 20 Semarapura Kaja, Klungkung, Bali.