Sebutir
Apel dan Sebilah Pisau
Ayu keluar membawa sebutir apel dan sebilah pisau di piring putih.
“Cantik sekali ya. Ini apel Fuji,” ucapnya pada Willy. Hari hujan. Mereka duduk
di teras. Suara kanak-kanak bermain bola terdengar dari kejauhan. Tentu tidak
terdengar suara bola, yang terdengar adalah suara tawa, melambung di atas
kabel-kabel listrik kota dan jatuh di telinga. Ayu memotong-motong apel dan
langsung memakannya.
“Tanah itu sebenarnya tak hendak kujual, tapi kudengar-dengar kau
berniat membangun pusat kesenian. Nah, aku mengundangmu ke mari untuk
membicarakan kemungkinan tanah itu bisa kau beli.”
Willy menatap Ayu. “Betul sekali. Kau tahu di sini belum ada pusat
semacam itu. Para seniman harus susah payah mengusahakan ruang untuk membuat
acara. Saya kasihan melihat mereka, meskipun mereka semua sering bikin kesal,
tapi saya kira kita semua membutuhkan mereka untuk membuat hidup yang sia-sia
ini terasa lumayan.”
“Kalau begitu mari kita berunding,” kata Ayu. “Tapi sebelumnya makanlah
dulu apel ini.”
Willy mengambil potongan apel yang dagingnya kekuningan dan tampak
renyah. Willy mengupas apel itu sebelum memakannya. Suara apel yang hancur di
mulut Willy membuat cahaya matahari menyeruak timbunan awan.
Tak jauh dari sana, seorang petani terjaga dari tidurnya. Petani itu
turun dari balai-balai lalu berjalan di pematang. Kedua tangannya dilipat ke
belakang. Caping bambu melindungi kepalanya. Tadi petani itu tertidur di
balai-balai tengah sawah. Ia mengusap-usap matanya sebentar seraya menatap
hamparan sawah yang hijau basah. Burung-burung berputar rendah seperti sedang
mencuci bulu-bulunya.
Sebuah mobil mendekat dari jalan yang memotong trotoar. Kaca mobil terbuka,
seseorang melongok dari sana. “Bapak Wiji, kan? Yang punya sawah ini?” tanya
orang itu. Petani tidak langsung menjawab, dia mendekat ke mobil. “Betul. Ibu
yang mau beli?” Orang dalam mobil tak langsung menjawab, dibukanya dulu
kacamata. “Sebenarnya aku tak hendak membeli tanah lagi. Aku sudah punya terlalu
banyak. Bukan apa-apa, kalau negara tiba-tiba berubah haluan, bisa habis
semua,” ujarnya. Petani Wiji terkekeh.
Sisa-sisa aroma apel menguar dari mulut Willy. Ayu bersedia menjual
tanahnya dan menyebut sederet angka. Willy setuju pada angka itu dan meminta Ayu
mengizinkan pembayaran dengan cara dicicil. Ayu setuju. Willy heran juga sebab
pada mulanya ia mengira Ayu akan keberatan. Meski belum lama mengenal Ayu, Willy
punya kesimpulan bahwa Ayu adalah seorang yang kikir. Tidak terpikir dirinya
akan membeli tanah milik Ayu sebab tak terpikir pula Ayu mau menjual tanah
miliknya. Ayu raya dan kaya. Raya sebab suka pesta, kaya sebab bisa mewujudkan
pesta-pesta itu. Secara pribadi Ayu tak punya pekerjaan. Maksudnya, ia adalah
pemilik sejumlah usaha restoran, hotel, super market, travel, peternakan
kelinci, dan lain-lain. Sebagai pemilik Ayu justru tak punya pekerjaan, semua
urusan usaha sudah dibereskan tenaga-tenaga profesional yang dibayarnya. Karena
menganggur, Ayu berusaha mencari kesibukan, dan di antara banyak pilihan
kesibukan ia memilih sibuk mencari dan membeli tanah. Willy agak yakin kalau Ayu
pasti tidak ingat sudah berapa dan di mana saja tanah-tanah miliknya itu.
Keluar dari rumah Ayu, Willy memilih berjalan kaki. Kebetulan hujan
sudah reda, hanya serbuk-serbuk air yang masih terasa di udara. Willy punya
beberapa pilihan; melihat-lihat tanah yang hendak dibelinya, pergi ke rumah
kawan tempatnya hendak meminjam uang, atau pulang dan tidur saja. Selama
berjalan Willy berpikir mau memilih yang mana. Akhirnya, ia putuskan untuk
pergi ke tukang cukur. Entah kenapa, meski udara sejuk, Willy merasakan kepalanya
agak gerah,
Willy berpikir ada tukang cukur di sekitar, tetapi setelah berjalan
cukup jauh, ia tidak menemukannya. Trotoar yang di sisinya ada deretan
pertokoan sudah dilewatinya. Sekarang di sisi trotoar hanya terlihat bentangan
sawah. Ada semacam sensasi tersendiri ketika ia melewati bentangan sawah itu.
Suatu perasaan bahwa ruang di dalam dadanya telah dilebarkan. Terasa lapang dan
tenang.
Di satu titik, trotoar itu dipotong oleh sebuah jalan ke arah kiri, dan
dari jalan itu sebuah mobil keluar. Mobil baru. Plat nomornya masih putih,
sebagaimana cat mobil itu. Kaca mobil terbuka dan tampaklah seorang perempuan
berkacamata di belakang kemudi. “Halo,” serunya ketika melihat Willy. Jendela
belakang mobil itu juga terbuka, dan tampaklah seorang laki-laki mengenakan
caping. Dia tidak bilang apa-apa.
Perempuan di belakang kemudi melanjutkan. “Kalau mau ke arah selatan,
Anda bisa menumpang.”
Willy yakin dua orang itu bukan kawannya, juga bukan tukang cukur. Namun,
karena memang benar ia mau ke selatan, akhirnya ia menimbang sebentar, sangat
sebentar, sehingga tampak seakan-akan ia tak menimbang apa-apa, sebelum
berkata, “Baiklah.”
Willy memilih duduk di samping perempuan berkacamata. Ia tidak tahu
kenapa memilih duduk di sana. Ada semacam naluri yang bekerja dalam menentukan
keputusan-keputusan semacam itu. Mobil melaju pelan. Selama beberapa saat tak
ada yang berbicara. Timbul sedikit dugaan dalam pikiran Willy, mungkin
perempuan di sebelahnya menyesal telah menawarkan tumpangan. Namun, ketika
perempuan itu berkata alangkah baiknya jika dia memutar musik, perasaan itu
dengan segera menguap.
Suara cabikan gitar menyembur dari spiker. Itu cabikan gitar dari tangan
kidal Kurt Cobain. Willy mengangguk-angguk seolah sedang menonton konser, dan ketika
mengangguk-angguk itu ia baru sadar kalau mobil itu, meskipun baru, ternyata
tak terlalu bersih. Di lantai ada serakan kulit apel, bahkan ada sebutir apel
utuh di sudut. Apel itu menggelinding ketika mobil menambah kecepatan. Apel itu
kelihatannya sudah busuk.
“Kita berputar sebentar ya. Saya mau menjemput seseorang. Nanti kita
balik lagi. Tenang saja,” kata perempuan di sebelah Willy. Jalanan tempat mobil
melaju adalah jalanan dua arah yang dipisahkan semacam trotoar yang bagian
tengahnya ditanami pohon-pohon bunga. Mobil berbalik di tikungan, meluncur ke
arah utara, arah dari mana Willy tadi berjalan. Willy membuka jendela sebelah
kiri. Angin menerpa rambutnya yang panjang dengan lebih keras ketimbang ketika
ia berjalan tadi. Rambutnya jadi mengembang seperti bulu seekor merak. Itu
membuat rasa gerahnya berkurang.
“Nah, itu dia,” kata si perempuan. Willy melihat seorang perempuan lain
berdiri di pinggir jalan. Perempuan itu mengenakan gaun pengantin sehingga
menimbulkan pemandangan yang agak ganjil, seperti di dalam sebuah video musik.
Semakin dekat jarak, semakin yakin Willy, bahwa perempuan itu adalah Ayu.
Mobil berhenti tepat di depan Ayu. Willy baru melihat kalau Ayu membawa
sesuatu di genggamannya: sebilah pisau. “Halo,” kata perempuan berkacamata. Ayu
membalas dengan kata yang sama. Laki-laki di belakang menggeser duduknya ketika
Ayu membuka pintu dan masuk. Mobil meluncur sebentar ke arah yang sama, sebelum
kemudian berbelok dan kembali meluncur ke arah sebaliknya. Kali ini mobil
meluncur jauh lebih cepat. Selama beberapa saat tak ada di antara mereka yang
berkata-kata.
Rupanya Ayu tak memperhatikan siapa yang duduk di samping pengemudi. Karena
itu ketika Willy menoleh ke belakang, Ayu kelihatan terkejut. “Lho, kau juga
ikut di sini?” tanyanya.
“Ah, tidak. Tadi dari rumahmu, saya berniat mencari tukang cukur, tapi
karena tidak ketemu, saya jalan terus dan nona ini menawarkan tumpangan,” jawab
Willy sambil menepuk pundak perempuan di sebelahnya.
“Aih, rupanya kalian saling mengenal, ya?” ujar perempuan itu.
“Kami baru kenal hari ini. Aku mengundangnya untuk membeli tanahku.
Sebab aku dengar dia mau mendirikan pusat kesenian,” balas Ayu. Perempuan di sebelah
Willy berkata, “Kau tahu? Nama kami serupa: Ayu. Dan kami akan menikah hari
ini. Bagaimana menurutmu, kami pasangan yang serasi, bukan?”
Willy mengangguk, tapi tak mengucap apa-apa.
“Kau setuju? Nah, kalau begitu bagaimana kalau kau menjadi pendamping
kami? Sungguh menyenangkan kalau pendamping-pendamping pernikahan kami adalah
seorang petani, seperti Pak Wiji ini, dan seorang seniman seperti anda.
Bagaimana menurutmu, Ayu?”
“Gagasan yang brilian,” tukas Ayu. “Lihat. Dia cantik sekali, bukan? Seperti
apel Fuji.”
Mata Ayu berbinar-binar dan pisau ditangannya teracung sedemikian rupa ke
arah Willy, seakan-akan Willy memang cuma sebutir apel.
Lombok, 2021
Tentang Penulis
Kiki
Sulistyo, lahir di
Kota Ampenan, Lombok. Telah menerbitkan kumpulan cerpen Belfegor dan Para Penambang (Basabasi,
2017). Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017
untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017)
dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi
Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).