Harimau Loreng di Makam Mbah Lurah Merto
Di pos kamling, Bapak-bapak peronda
berkalung sarung tampak duduk melingkar, fokus menyimak Syarif dan Warsito yang
sedang beradu tangkas memainkan bidak-bidak caturnya. Asap rokok kretek murahan
yang biasa dijual di toko-toko kelontong tanpa pita cukai, dengan aroma asap lebih
menyerupai sabut kelapa dibakar, mengepul ke udara. Membuat pos kamling itu
terlihat nyaris seperti cerobong asap pabrik bila dilihat dari kejauhan. Tawa
mereka sesekali tergelak, memecah keheningan malam.
“Sekakmat, Pak War!” ucap Syarif
seraya menggeser posisi kudanya, menskakmat raja milik Warsito yang terpojok, tak
berkutik lantaran jalannya tertutup perwiranya sendiri. Kekalahan yang
mengenaskan, Warsito membatin kesal.
Syarif adalah warga baru di sana. Di
sebuah desa kecil yang terletak di wilayah selatan kota kelahirannya. Masyarakat
di desa itu, mayoritas adalah penganut islam abangan. Syarif sendiri lahir dan
besar di pusat kota. Tepatnya, di barat terminal utama kota itu. Sedang masa
mudanya, ia habiskan untuk melanglang buana menimba ilmu agama. Berpindah-pindah
pesantren, dari kyai satu ke kyai lain di daerah-daerah sekitar karesidenan. Setelah
ia menikah dengan gadis asal desa sini, ia lalu tinggal dan menetap di rumah
mertuanya, sampai sekarang.
Kedatangan pemuda berperawakan kurus
tinggi, rambut berombak, dengan kulit sawo matang itu bagi tokoh-tokoh agama
islam sepuh di desa itu, bagaikan oase di padang pasir, atau hujan selepas
kemarau tak berkesudahan. Sebab di desa itu, tokoh yang benar-benar paham
mendalam tentang ilmu agama, khususnya ilmu syariat bisa dikatakan tak ada. Hanya
ada beberapa kyai desa, yang sebetulnya dikyaikan lantaran paling istikamah
lagi telaten menghidup-hidupi langgar. Maka, Syarif digadang-gadang sebagai generasi
penerus yang bisa lebih menjanjikan untuk memasyarakatkan syariat dan
mensyariatkan masyarakat.
Sebetulnya, Syarif bukanlah orang
yang suka nimbrung di pos kamling seperti Bapak-bapak yang kini tengah cangkruk
bersamanya. Hanya saja ia pikir, untuk mengemban misi dakwah di masyarakat,
baik itu yang masih abangan atau tidak, tak cukup bermodalkan ilmu agama yang
sudah dikuasai selama nyantri puluhan tahun. Melainkan, butuh semacam
pendekatan-pendekatan tertentu. Atau istilah Jawanya adalah “ngereh ati.” Dan, salah satu upaya
untuk “ngereh ati” tersebut yakni
sering kumpul dengan mereka.
***
“Tahu tidak,
Rif? Desa kita ini, dulu punya lurah yang sakti mandraguna. Ia pandai olah kanuragan, dan, ilmu hakekatnya pun tinggi!”
ucap Warsito membuka perbicangan.
“Sakti bagaimana to, Pak?” tanya
Syarif belum paham dengan maksud Warsito seraya membenahi letak duduknya—tanda
bahwa ia antusias menyimak cerita lelaki tua rigai itu. Melihat Syarif yang
tampak penasaran, Warsito lantas tersenyum. Ia tak langsung menjawab
kerut-kerut penasaran di jidat pemuda di hadapannya itu, tetapi malah mencomot
sebatang rokok Surya milik Syarif, lalu menyulutnya dengan khidmat.
“Namanya, Mbah Lurah Merto. Dahulu,
ia menjabat sebagai lurah selama puluhan tahun. Tak ada yang berani menggantikannya,
pun warga sini juga tak ada yang bersedia punya lurah anyar pengganti Mbah
Lurah Merto. Mbah Lurah Merto ini, Rif, ludahnya manjur. Ucapannya mengandung
sabda. Ilmu penerawangannya juga tokcer, tak pernah meleset. Kalau bahasamu,
mungkin bisa disebut sebagai wali yang ucapannya mengandung sifat kun-Nya Tuhan!”
“Masa to, Pak?” tanya Syarif masih
belum percaya. Selama ini, yang ia tahu, hanya para ulama-ulama kondang yang
ahli tirakat saja, yang umumnya memiliki daya linuwih alias karamah-karamah semacam itu.
Akan tetapi, yang dikatakan oleh
Warsito bukanlah bualan belaka. Mbah Lurah Merto oleh banyak orang memang dikenal
sebagai lurah yang sakti mandraguna. Mantan lurah yang sudah lama wafat dan kini
dimakamkan di kompleks pekuburan umum di perbatasan desa itu, konon katanya,
ucapannya memang mengandung sabda. Apa-apa yang disabdakan, seolah direstui
oleh Tuhan. Betapa tidak, pernah suatu kali ada seorang lelaki yang datang dari
jauh berniat buruk ingin merebut blangkon
yang sehari-hari biasa. Blangkon
milik Mbah Lurah Merto, menurut
cerita yang merebak dari mulut ke mulut adalah blangkon keramat. Ada yang bilang, pada blangkon itulah kesaktian Mbah Lurah Merto tersimpan. Karena alasan
tersebutlah, barangkali yang mendorong lelaki itu sampai berhasrat memiliki blangkon Mbah Lurah Merto. Sudah barang
tentu, lelaki itu bukanlah orang sembarangan. Minimal, pasti ia juga punya
kesaktian. Sebab bila tidak, mustahil ia punya nyali sebesar itu.
Namun, setelah berhadap-hadapan
langsung dengan Mbah Lurah Merto, orang itu seolah-olah menjelma seekor anak
rusa yang berhadapan dengan seekor harimau. Ia gemetar ketakutan dan lari
terkencing-kencing. Seseorang yang kebetulan menyaksikan peristiwa itu bilang,
Mbah Lurah Merto kemudian bersabda bahwa orang tersebut bakal mati mengenaskan.
Tak selang berapa lama, beredar kabar bahwa orang tersebut benar-benar mati
mengenaskan. Ia gantung diri di kandang sapi dan ditemukan dalam keadaan sudah
membusuk. Setelah Mbah Lurah Merto wafat, tak ada yang tahu-menahu di mana blangkon itu tersimpan. Bahkan tak
terkecuali keluarga Mbah Lurah Merto sendiri.
Kekeramatan Mbah Lurah Merto rupanya
tak hanya berlaku semasa hidupnya saja. Rumor-rumornya, hingga kini, orang yang
melintas di daerah pekuburan di mana ia dimakamkan, kerap kali melihat seekor harimau
loreng berkeliaran di sana. Orang-orang percaya, harimau loreng tersebut adalah khadam Mbah Lurah Merto.
Maka tak khayal, jika pada malam hari, jalanan itu lebih menyerupai lorong gua
yang gelap nun sepi. Sebab tak ada satu pun orang yang berani melintas di sana,
kecuali bila memang sangat terpaksa.
***
Menjelang tengah malam, Syarif pun
pamit untuk pulang lebih awal. Kepada Warsito dan yang lain, lebih dulu ia
berpesan agar piring pisang goreng dan teko berisi kopi yang ia bawa ditinggalkan
saja di pos kamling. Biar esok istri saya yang mengambil sekalian berangkat
belanja, katanya kepada Bapak-bapak di sana.
Sepanjang perjalanan pulang, di atas
sepeda motornya, pikiran Syarif masih disebaki oleh cerita-cerita Warsito
tentang Mbah Lurah Merto. Terutama kejadian di mana orang-orang acap kali berjumpa
harimau loreng di sekitar makamnya. Rokok di sela jari-jemarinya sampai lupa
tak dihisap. Angin sepanjang jalan, menggerogoti rokoknya sampai tak terasa
rokok tersebut sudah terbakar sampai ke pangkal gabusnya. Ia pun terhenyak,
sadar dari lamunan begitu jari telunjuknya tersengat bara. Beruntung ia tak
terus-terusan melamun dan malah tersunjam ke kali di pinggir jalan. Tak
henti-henti bibirnya mengucap syukur atas nikmat kecil yang menyelamatkannya
itu, kendati pun dalam wujud yang menyakitkan.
Lantaran rasa penasaran di kepalanya
makin meriap-riap, ia pun memutuskan untuk putar balik, mengambil arah jalan
memutar agar bisa melewati pekuburan umum di mana Mbah Lurah Merto
disemayamkan. Ia tak ingin tidurnya nanti tak nyenyak. Maka daripada
terus-menerus dirundung rasa penasaran tak jelas, ia lebih memilih untuk
membuktikannya sendiri.
***
“Apa benar yang dialami orang-orang,
bahwa di sini mereka sering berjumpa harimau loreng?” batin Syarif masih tak
percaya begitu sampai di pekuburan itu. Duduk di atas jok sepeda motornya, ia
tak mematikan mesin. Pandangannya ia sauhkan ke segala penjuru pekuburan.
Namun, tak ia jumpai apa pun, kecuali hanya kukuk burung hantu, guguran
kelopak-kelopak kamboja yang rebah di atas tanah mulai mengering, dan hawa
dingin yang pelan-pelan menembus kulit, menusuki tulang-belulangnya.
Sepuluh menit sudah Syarif di sana,
duduk di atas jok sepeda motornya. Matanya tak henti bergerilya ke sekitaran
areal pekuburan. Sesekali, ia menepuk nyamuk yang mulai berdengungan di cuping
telinga dengan kedua telapak tangannya. Lantaran tak merasakan ada gelagat yang
menandakan kemunculan harimau loreng itu, akhirnya ia pun berniat pulang.
Namun, tatkala kakinya menginjak persneling sepeda motornya, tiba-tiba saja
corong telinganya menangkap suara auman harimau. Syarif berhenti barang
sejenak, coba memasang telinga lebar-lebar, barangkali ia salah dengar. Namun
auman itu justru semakin nyaring. Tatkala ditolehnya kembali makam Mbah Lurah
Merto, seekor harimau besar seukuran anak sapi tampak berdiri dan tengah memandang ke arahnya. Tak berlama-lama,
ia pun segera memacu sepeda motornya, dan gegas pergi meninggalkan pekuburan
itu.
***
Alih-alih gelombang pasang rasa
penasaran dalam benaknya surut, setelah membuktikan sendiri keberadaan harimau
loreng di makam Mbah Lurah Merto, rasa penasaran itu justru makin tak mampu
ditanggulanginya. Kejadian yang dialaminya semalam masih menggelayuti
pikirannya. Di atas kursi rotan di ruang tamu, raut muka yang tak biasa itu
tertangkap oleh mata istrinya yang tetiba datang menyuguhkan secangkir kopi.
“Bukumu kebalik itu lo, Mas!” ucap
istrinya sekonyong-konyong menyadarkan Syarif yang sedari tadi cuma ngungun belaka. Syarif hanya tersipu
cengengesan. “Ada apa to? Mbok ya
cerita. Ada omongan Bapak-bapak yang kurang berkenan di hati ya, semalam?”
tanya istrinya menyelidik.
“Kamu pasti sudah tahu kan rumor
tentang harimau loreng di makam Mbah Lurah Merto, Dik? Semalam, aku iseng coba lewat
sana. Dan benar rupanya, aku lihat sendiri harimau loreng itu memang
benar-benar ada, Dik!”
“Ya kamu ini juga ada-ada saja, Mas.
Wong sudah jelas orang-orang sini dari semenjak meninggalnya Mbah Lurah Merto tidak
ada yang berani melintas ke sana kok kalau malam hari, lah kamu malah ke sana.
Terus yang bikin kamu gelisah apa?”
“Semalam waktu sampai di rumah, aku
langsung tidur. Dalam tidurku, aku mimpi ketemu harimau loreng itu lagi. Yang
bikin aku tercengang, harimau itu bisa bicara, Dik! Dia menyuruhku untuk
kembali lagi ke sana malam ini!” papar Syarif panjang lebar menjawab pertanyaan
istrinya itu.
“Lalu?”
“Ya, kemungkinan, aku akan ke sana
malam nanti. Bukan untuk bertemu harimau itu. Aku akan ke sana untuk berziarah
ke makam Mbah Lurah Merto. Aku akan berkirim doa untuknya. Aku yakin, makam
Mbah Lurah Merto menjadi angker begitu karena tidak pernah ada yang berziarah
ke makamnya. Tidak ada yang pernah mengiriminya doa,” tegas Syarif pada
istrinya. Sementara itu, istrinya hanya bergeming. Ia tidak mendukung, tidak
juga mencegah. Hanya saja ia percaya, suaminya itu pasti akan baik-baik saja.
Pasti, gumamnya dalam hati.
Malam itu, selepas isya, Syarif sudah
rapi dan wangi, memakai sarung, dengan dalaman baju takwa dilapisi jaket jin yang biasa dipakainya bila sedang
keluar malam. Bukan mau menghadiri acara kenduri di rumah tetangga, melainkan
hendak berziarah ke makam Mbah Lurah Merto. Dari dalam kamar, istrinya keluar
membawakan senter kecil untuknya. Ia berpesan kepada Syarif agar hati-hati dan
jangan pulang terlampau larut. Syarif pun pamit. Sambil diciumnya kening
istrinya yang tampak cemas, kepadanya ia meyakinkan, bahwa Allah pasti
menyertai segala niat baik. Selepas itu, ia pun gegas berangkat.
***
Sampai di pekuburan, Syarif memarkir
sepeda motornya di bawah pohon jati dekat pagar, tak jauh dari pintu masuk
menuju pekuburan. Ia menyalakan senternya, lalu berjalan menuju makam Mbah
Lurah Merto. Daun-daun jati tua yang diranggaskan kemarau, terdengar berkemerisik
terinjak oleh langkah kaki Syarif. Tak ketinggalan, suara tokek dan kukuk
burung hantu dari balik gelap terdengar saling sahut, seperti dua manusia yang
tengah sebut-menyebut.
Sampai di makam Mbah Lurah Merto,
Syarif lantas membuka pintu pagar besi yang mengitari makamnya. Di dalam,
terdapat dua makam yang dikijing bersebalahan. Yakni makam Bu Lurah Merto dan
Mbah Lurah Merto sendiri. Syarif melepas kedua sandalnya, lalu menjadikannya
sebagai alas duduk. Sejenak ia menatap lamat-lamat makam tua itu. Kijingnya
tampak berkulat di sana-sini, epitaf pada batu nisannya sudah memudar, tak
jelas lagi kapan hari, tanggal, dan tahun wafatnya. Pada bagian yang lazim
dipakai untuk menaburkan bunga, rumput teki tumbuh begitu subur.
“Betapa makammu tak terawat, Mbah,”
gumam Syarif lirih seraya mencabuti rumput-rumput tersebut. Ia merasa miris
sendiri melihatnya. Ia membayangkan bagaimana pedihnya kelak jika ia sudah
wafat, dikebumikan, dan tak ada satu pun sanak saudaranya yang berziarah,
berkirim doa untuknya.
Syarif segera beruluk salam
sebagaimana yang pernah dipelajarinya ketika masih nyantri. Kemudian ia memejamkan
mata, membaca tawasul, lalu dilanjutkan dengan tahlil.
Namun, di tengah-tengah ia khusyuk
melantunkan doa-doa untuk arwah Mbah Lurah Merto dan istrinya, tiba-tiba saja,
tak jauh dari tempatnya duduk, ia kembali mendengar suara geraman harimau
loreng yang dijumpainya kemarin malam. Sontak Syarif membuka matanya, dan
harimau loreng sebesar anak sapi itu sudah kembali berdiri di hadapannya. Berjarak
sekitar lima belas langkah dari tempat duduknya. Syarif dan harimau loreng itu
saling baku-tatap. Ia kini mengubah bacaannya—dari yang semula doa-doa untuk
arwah orang yang sudah meninggal, kini digantinya dengan ayat kursi. Berharap
harimau loreng itu sirna dari pandangan matanya.
Sialnya, harimau itu tak malah
sirna. Akan tetapi malah berjalan maju, mendekat ke arah Syarif. Semakin cepat
dan semakin cepat, seiring bibir Syarif yang semakin tak henti merapal
ayat-ayat kursi. Harimau itu masih terus berjalan mendekat seolah sudah kebal
terhadap segala wewacan penangkal setan. Ingin rasanya Syarif melompat, lari,
memacu sepeda motornya dan bergegas pulang saja. Tetapi kaki Syarif seperti
terpasung. Ia tak kuasa berdiri. Jangankan berdiri, bergerak saja ia tak mampu.
Sendi-sendinya seolah sudah dilem oleh ketakutan yang mencokol di gemetar
lututnya. Di sisi lain, harimau loreng itu kini hanya tinggal sepelompatan dari
tempat duduknya. Lalu, terjadilah apa yang dikhawatirkan Syarif. Harimau loreng
itu tiba-tiba saja melompat ke arahnya.
Refleks, Syarif berteriak kencang,
“Allahuakbaaarrr!” dengan tangan terkepal dan lengan yang ia silangkan, mencoba
melindungi muka dari terkaman harimau loreng yang akan mencakar wajahnya itu. Namun,
ada yang aneh, ia tak merasa tertimpa tubuh harimau itu. Begitu ia membuka mata,
suasana rupanya sudahkembali hening seperti semula. Harimau itu lesap dan raib
entah ke mana. Lebur selayak kapur barus dalam almari baju. Di atas kijing
makam Mbah Lurah Merto, tiba-tiba Syarif melihat sebuah blangkon bermotif batik yang terlihat sudah amat lusuh tergeletak,
entah dari mana jatuhnya. “Inikah jelmaan dari harimau itu?”.
Malang, 31
Januari 2021
Tentang Penulis
Yohan Fikri M, lahir 01 November 1998. Mahasiswa di Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Bergiat di
Komunitas Sastra Langit Malam. Kadang-kadang menulis cerpen, sesekali menulis
esai, sering kali menulis puisi. Lebih sering lagi adalah merindukan
kekasihnya. Sejumlah tulisannya tersiar di beberapa media dan antologi bersama.
Puisi-puisinya juga sempat memenangi sejumlah perlombaan, antara lain: Juara 1
Lomba Cipta Puisi Nasional 2020, Jagat Kreasi Mahasiswa, Universitas Negeri
Malang, Juara 2 Lomba Cipta Puisi Asia Tenggara, Pekan Bahasa dan Sastra 2020,
Universitas Sebelas Maret, Juara 1 Lomba Menulis Puisi Majalah Komunikasi
Universitas Negeri Malang, Juara Harapan 1 Festival Sastra Universitas Gajah
Mada 2021, dan Juara 1 Kompetisi Menulis Puisi Nasional HIMPROBSI FKIP,
Universitas Sebelas Maret 2021. Diluar itu, ia menyiarkan beberapa puisinya
secara indie di akun instagramnya: @yohan_fvckry.