Mantan dan Kreativitas
Oleh: Juli Prasetya
Untuk
memulai tulisan ini, saya ingin mengutip kata-kata Dosen dan Filosof Muslim kesayangan kita semua Dr. Fahruddin Faiz, ia
mengatakan bahwa “Cinta dan patah hati itu energinya luar biasa, jadi eman-eman kalau ngga dipakai untuk
hal-hal yang kreatif dan positif”. Berangkat dari pernyataan inilah kemudian
saya mengembangkannya menjadi sebuah gagasan besar “Mantan dan Kreativitas”.
Apa
sebenarnya relevansi atau keterkaitan antara mantan dan kreativitas?. Baik izinkan
saya pelan-pelan menjelaskan ke khalayak pembaca sekalian. Mantan merupakan
orang yang dulu pernah masuk dan mewarnai hidup kita dengan berbagai macam
keindahan. Mantan ini sebagaimana masa lalu yang tidak bisa begitu saja
menghilang ataupun dihilangkan, kecuali oleh Orba dan waktu. Kalau kata Aan
Mansyur, mantan itu persis seperti hutang. Kita tidak pernah benar-benar
melupakannya, kita hanya berpura-pura melupakannya.
Kehilangan
seseorang yang kita cintai dan pernah mewarnai hidup kita tentu saja berat. Nah
kesedihan karena ditinggalkan atau meninggalkan inilah yang kemudian menjadi
sumber dari energi kreativitas, ya tepat di titik itu energi kreativitas yang
besar lahir. Oleh karenanya ketika patah hati karena ditinggal oleh orang yang
kita sayangi, manfaatkan energi patah hati dan kesedihan itu sebaik-baiknya.
Karena energi dari patah hati betul-betul sangat besar. Seseorang yang ditinggal
nikah mantan itu energi kesedihan dan kepedihannya sangat besar. Energi ini
sayang kalau hanya digunakan untuk menangis dan meratapi nasib, atau hanya
mengurung diri di kamar tanpa mau makan selama seminggu. Bukankah lebih baik
energi kesedihan dan kepedihan itu dialirkan untuk hal-hal yang lebih kreatif.
Bagaimana misalnya jika energi tersebut kita alihkan menjadi energi kreativitas
untuk berkarya, entah itu untuk menulis, melukis, entah itu menulis lagu,
menulis puisi, menulis prosa, menulis novel, cerpen dan melukis mantan misalnya.
Kata seorang teman, ketika seseorang
sedang berada di titik terhancurnya, dengan momentum dan jalan yang tepat, maka
tepat di titik itu pula akan terlahir omong kosong yang indah atau sebuah kebijaksanaan
laksana filsuf dari mulutnya. Dengan kata lain, akan terlahir jiwa seorang
penyair sekaligus filsuf dari rahim kesedihan dan kenelangsaan.
Tentu
dengan mengalihkan energi ini dapat menjadi semacam terapi dan juga bisa diolah
menjadi tulisan pengalaman kesakitan karena ditinggalkan maupun meninggalkan.
Soalnya antara yang ditinggalkan dan meninggalkan itu memiliki kesakitan yang
sama. Tak ada yang lebih baik, semuanya sama-sama parah. Maka ini tentu saja
menjadi energi kreatif yang harus
disalurkan dengan benar.
Seperti
yang sudah dijelaskan di atas maka di titik inilah kemudian energi kreativitas
itu lahir, harus diakui bahwa kreativitas terkadang muncul di saat masa-masa
krisis kita, atau ketika kita sedang terjepit. Nah patah hati merupakan salah
satu fase paling menyakitkan dalam hidup, maka sudah seyogyanya kita bisa
memanfaatkan dan menyalurkan energi itu dengan baik. Kita harus memanfaatkan
sebaik-baiknya energi kreativitas yang dihasilkan dari patah hati dan ditinggal
mantan menikah misalnya. Soalnya emosinya masih panas dan menggebu, harus
segera dituliskan dan diejawantahkan di media tulisan.
Namun
Pak Sapardi memberikan saran yang lain, ketika energi kecewa kesedihan dan
kemarahan itu masih panas, harus diendapkan terlebih dahulu. Soalnya kalau
menulis dalam keadaan emosi seperti itu, nanti tulisannya bisa rusak. Tapi
kalau menurut hemat saya, tulislah dengan segera, mumpung masih hangat
kekecewaan dan kesedihan itu. Soalnya emosi yang panas itu bisa mengeluarkan kejujuran, kita bisa jujur dengan
perasaan dan diri kita sendiri. Kejujuran merupakan salah satu kunci dalam
menyampaikan sebuah gagasan dan pesan. Tinggal bagaimana saja kita memilih dan
pintar mengolahnya, toh bukankah hidup ini pilihan.
Dalam
beberapa penelitian iseng yang saya lakukan, saya pernah meneliti beberapa
penulis yang memang sedang memiliki masalah entah itu masalah percintaan atau
masalah lain dalam hidupnya, semisal ia sedang berada di fase terendah dan
terburuk dalam hidupnya, dan kesimpulan yang saya ajukan adalah dalam titik tersedih
dan terendahnya itu, mereka mengalami semacam keterbalikan, maksudnya mereka
lemah, lemas, dan nelangsa secara fisik. Namun perasaan dan pikirannya malah
bekerja lebih besar dan berat. Maka tidak berlebihan jika saat- saat patah hati
ditinggal seseorang yang dikasihi, segala perasaan sedih, terluka, kesepian, malah berlimpah ruah dan membuncah dengan
kuat, serta pikiran-pikiran yang terus bekerja, overthinking.
Energi
besar yang disebabkan oleh mantan ini sebaiknya memang digunakan untuk hal-hal
yang bermanfaat, sebagaimana kata-kata dari Fahruddin di atas. Eman-eman kalau tidak digunakan untuk
kreatifitas dan hal-hal positif, eman-eman
kalau tidak digunakan di jalan yang benar. Para Penyair, Prosasis, dan Filsuf
itu, mereka juga manusia biasa yang
pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati. Einstein, Nietszche, dan Chairil,
anda kira mereka tidak pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati?. Anda kira
Farikha-Ndaru, Faiz, Adi, Wahyu-Irna, tidak pernah merasakan patah hati?. Anda
kira puisi-pusi, cerita-cerita dan tulisan-tulisan bernas yang mereka hasilkan
bukan dari pertarungan mereka merebut energi kreativitas yang dihasilkan dari
merayakan kesedihan, kehilangan, kegetiran hidup, ditinggal mantan, kerja
intelektualitas, imajinasi, dan patah hati?.
Mereka
adalah orang-orang yang sudah mencecap manis dan pahitnya cinta, mereka adalah generasi
baru patah hati Banyumas yang sudah bertarung dengan perasaan dan kesedihan
mereka sendiri, dan mereka adalah orang-orang yang berhasil menyalurkan
kesedihannya dengan cara yang demikian tepat dan tak terduga. Mengutip
kata-kata Obito Uchiha yang telah dimodifikasi tentang Shinobi, teman, misi,
dan sampah “Perasaan patah hati yang menjadikan kita sedih dan hancur memang
menyedihkan, tetapi seseorang yang tidak bisa merasakan perasaan jatuh cinta dan patah hati, jauh
lebih menyedihkan dari menyedihkan” mati rasa. Sungguh betapa menyedihkannya
tidak bisa mencintai diri sendiri dan orang lain.
Maka
beruntunglah anda, kita semua yang pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati.
Setidaknya kita bisa belajar dari perasaan-perasaan itu, untuk lebih menghargai
orang-orang yang kita sayangi, orang-orang yang selalu ada di sisi kita,
orang-orang yang selalu mendukung kita, maupun orang-orang yang pernah
menorehkan luka di hati kita. Setidaknya mantan selain menjadi suatu keindahan
yang melukai, juga bisa menjadi titik balik seseorang untuk kemudian menemukan
ritme dan energi kreativitasnya sendiri. Jadi kreativitas tidak hanya dimiliki
oleh orang-orang yang aneh dan cerdas saja, tapi juga dimiliki oleh mereka yang
pernah jatuh cinta dan patah hati, dimiliki oleh mereka yang pernah terluka dan
ditinggal menikah.
Tanpa
pernah merasakan pahitnya patah hati, mustahil kita bisa menikmati indahnya
jatuh cinta, dan sebaliknya tanpa mengenal jatuh cinta mustahil kita bisa merasakan
pedihnya patah hati. Dan pada akhirnya tanpa itu semua, sumber energi kesedihan
yang satu ini tidak bisa kita manfaatkan
menjadi energi kreativitas yang besar dan berlimpah ruah. Oleh karenanya, selamat
menunaikan jatuh cinta, selamat menunaikan patah hati, milikilah mantan, rengkuh
reguklah kepedihan dan kesedihannya, lalu ledakanlah kreativitasmu sampai di
puncak sedih paling pedih. Tabik.
Tentang Penulis
Juli
Prasetya adalah seorang pemuda desa sederhana. Sekarang sedang berproses di
Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung. Kini ia bermukim di Desa Purbadana RT 05/02
Kembaran, Banyumas