KRITIK
SOSIAL SI TUKANG PUISI
Membaca
Puisi-Puisi Dewandaru Ibrahim
Oleh: Ryan Rachman
Puisi Dewandaru Ibrahim Senjahaji
MENJADI TUKANG PUISI
Aku mungkin harus alih profesi
Menjadi tukang puisi
Dan berhenti dari pekerjaan mencintaimu
Daripada aku tetap bekerja membanting segala
Tapi tak paham jua mengapa aku mencintaimu
Aku mungkin akan beralih profesi
Jadi tukang puisi
Daripada aku menganggur sambil mabuk anggur
Dan merasakan pahit pada setiap tenggakan yang membuat mabur
Aku mungkin harus alih profesi
Jadi tukang puisi
Melupakan keahlian mencintaimu
Dan berusaha menggembalakan kata-kata
Seperti kalimat di televisi
Yang dapat menyihir kepala
Aku mungkin harus alih profesi
Jadi tukang puisi
Sebab tidak kutemui kerjaan lagi di negeri ini
Selain jadi babu orang luar negeri
Yang hampir jadi tuan rumah di sini
Aku mungkin harus alih profesi
Jadi tukang puisi
Membuat pabrik sendiri
Memproduksi sebanyakbanyaknya puisi
Lalu kubagi ke desa, kota, pasar, sekolah sekolah
Agar bapak bapak dan ibu ibu
Bermain bersama anaknya dengan puisi
Siapa tahu dengan berpuisi
Kita tak lagi berkelahi.
Semoga kau mengerti mengapa aku berpuisi
Dan secara diam-diam nyambi,
Mencintaimu.
Purwokerto, 20 Mei 2017
PANGGUNG HARUS TUTUP
Mungkin ini saatnya kuucapkan selamat datang pada lelah
Yang selalu bersedekah untuk tidak terburu singgah
Sekalipun ia bukan penyebab utama aku berhenti bersandiwara
Setiap film atau drama pun harus tamat atau bersambung
Pagelaran wayang pun harus paripurna ketika fajar tiba
Apakah karena lelah?
Tidak, namun karena panggung harus tutup
Dan satu kisah harus berpindah pada kisah berikutnya
Barangkali seperti sebuah pendakian, Sinta
Begitu juga denganku sebagai pemeran Rahwana
Yang begitu mencintaimu
Aku tidak mungkin untuk abadi
Merobohkan segalanya demi tegaknya cintaku padamu
Aku tidak bisa, Sinta.
Atau aku pun tidak akan abadi
Dalam peran Bandung Bandawasa yang membangun seribu candi
Untuk semayamkan cintamu
Aku tidak bisa Sinta.
Aku tidak bisa abadi
Untuk menjadi Sumantri yang melucuti
Kesaktian raja seribu negeri
untuk memboyong satu wanita
Yang kemudian harus kuserahkan kepada Arjuna sasra
Aku tidak bisa, Sinta
Aku tidak bisa terus bermain drama
Panggung harus tutup dan pagelaran harus paripurna
Aku tidak bisa untuk terus mencintaimu
Pada cerita yang sama
Kisah harus berlanjut, Sinta
Panggung harus tutup.
Purwokerto, 5 April 2017
SURAT PENYESALAN SINTA
Pada jejak jejak yang kau tangkap
Telah kau dapati bercak bercak yang lengkap
Begitu pun kacau panah yang ujungnya basah
Oleh darah yang tubuhnya tak lagi mampu lampiaskan amarah
Telah kulihat tumpah cinta yang tabah
Meretas pada rumput rumput yang takan musnah
Sebab luka luka yang terseret kalah
Tak kunjung membuatnya menyerah
Aku tahu raga yang rebah di Narmada
Kala itu bukan karena banjir yang merendam gubuk pertapa
Melainkan keyakinan yang tak goyah pada wajah,
Wajah wanita yang telah ada, di benakmu;
wajahku, sebelum aku ada
Aku tahu itu kau, Rahwana
Rumput rumput itu bercerita padaku, ketika lava dan kusa
Masih kuemban dalam kandungan yang tua
Sewaktu aku harus menghapus hidup dari ayodya
Aku telah melihatnya
Sekalipun kututup mata waktu pecah perang di Alengka,
Berlaksa laksa pejuang harus tumbang
merenggang demi satu kembang
Para syahid itu tak pernah mati
Meski jasadnya telah terbunuh dan terbantai
Mereka tetap hidup pada kisah yang tak pernah usai
Untuk terus dimata-matai
Aku berani bersaksi akan cinta sejati yang dipikul laki-laki
Dengan memeras seluruh darahnya sendiri.
O, aku telah salah Rahwana
Aku telah salah menolakmu dengan pulang pada laki-laki itu
Yang menjemputku untuk api pancaka dan curiga
O, Rahwana aku tahu maafku pun tak mampu
Lepaskan deritamu yang nestapa
Di himpitan neraka gunung Kendalisada
Demi membuktikan segala kesucian
Kini aku akan kembali ke haribaan pertiwi
Untuk lahir kembali dan mencintai
Laki laki yang selalu hidup dari mati
Kutunggu kau di kisah berikutnya, Rahwana.
Purwokerto, 17 Desember 2017
TAWARAN YANG MENGGIURKAN
Jaka,
Aku sudah tahu segala tentangmu
Aku juga tahu bagaimana keadaan pacarmu
Jika kau ingin lekas menikah
Siapkanlah segala ube rampe agar calonmu segera berserah
Kau harus cekatan dan jangan telat langkah
Bunga desa selalu banyak lalatnya
Umurmu sudah hampir dua lima lebih lima
Sebentar lagi pacarmu dua tiga
Tentu ia akan gatal dengan kecaman perawan tua
Jaka,
Pacarmu itu karyawati, wanita karir,
Pasti pandai soal dandan dan soal hitung-hitungan
Tampang itu nomor dua puluh lima
Yang penting ekonomi dan gaya
Terlebih ia lebih banyak bergaul dengan orang kota
Apalagi sekarang banyak pendatang yang matang
Kau punya apa jaka?
Jaka, sebagai orang desa
Tampangmu memang tampan, tapi terlalu kekar
Perempuan sekarang lebih suka yang elegan dan tak terlalu terkesan kasar
Sebagai mahasiswa legenda yang menghabiskan semua jatah semesternya
Engkau memang beruntung punya pacar tetangga lulusan S2 kampus terkemuka
Yang setia menjalin cinta sejak SMP kelas dua
Tapi perempuan, jaka, Bisa goyah lantaran harta
Jika pacarmu diklepek atasannya dengan rumah dan mobilnya
Gubug warisanmu tidak ada artinya
Sebentar lagi kau diwisuda
Pakai ijazahmu untuk melamar kerja
Tapi kalau ingin cepat kaya
Merantaulah dan kumpulkan uang sebanyak-banyaknya
Jangan lupa beli motor yang knalpotnya dua
Barangkali itu tolak ukur ketampanan pria dan anggapan sukses bagi sebagian orang desa
Kalau perlu lemburlah setiap waktu
Agar usai kontrakmu habis dan kamu harus balik kampung
Kamu bisa beli tanah untuk bangun rumah, setidaknya di daerah gunung
Sebab sebentar lagi tanah desa pinggiran kota akan sangat mahal
Karena kota kita akan jadi kota impian yang tidak pernah kita impikan
Pusat perbelanjaan akan tumbuh di sini
Jadi jangan kepingin untuk usaha atau berdagang
Kita sudah dipites dan ludes oleh raksasa besar
Kita cuma kecoa
Kota kita akan jadi kota impian yang tidak pernah kita impikan
Jadi bersiap-siaplah jika kemudian di desamu terjadi kesepian
Atau harga-harga kebutuhan hidup menjadi mahal
Setelah kau punya uang
Jangan kepingin untuk usaha atau berdagang
Tidak usahlah berfikir beli sawah
Lihatlah desa-desa pinggiran kota
Tidak ada yang namanya petani, mereka telah pindah
Rumah-rumah yang mewah itu sebelumnya sawah
bukan salah pak tani yang menjual sawah
pak tani sudah tua dan waktu mulai menghisap tenaganya
Apalagi pasokan air mulai sulit sejak adanya proyek bangunan
Selain itu kontraktor berani bayar besar
Tetapi kamu tidak usah bingung soal kerjaan
Jangan kuatir, ada banyak kerjaan di sini asal kau bersedia jadi kuli
Tapi jika kau mau jaka
Dalam jangka waktu hingga pergantian walikota
Pacarmu yang cantik sudah dapat kau nikahi
Bahkan kau bisa memadunya hingga tiga kali
Kau tidak perlu merantau atau jadi kuli
Sebagai mahasiswa legenda yang aktif diorganisasi
Tentu kau cerdas dan penuh ambisi
Kau pasti kenal baik dengan orang-orang penting di sini
Dari walikota, pengusaha hingga para pejabat tinggi
Manfaatkanlah relasi-relasi yang kau ketahui ketika aktif di organisasi
Tawarkan pandanganmu tentang sudut-sudut kota yang punya potensi
Tawarkan desa-desa yang bisa dieksplorasi
Dan yang terpenting tawarkanlah caramu melobi
Jaka,
Mintalah agar kau dapat bergabung dengan mereka
Minimal kau masuk dalam jajaran mafia ahli tata kota
Sudahlah tidak usah memikirkan nantinya kota akan bagaimana
Tak usah berbaik hati memikirkan nasib orang desa
Tak perlu kau memikirkan harga
Jika berhasil ambil bagian dari mereka
Tidak penting kenaikan harga-harga
Tidak penting bagaimana nasib orang desa
Tidak penting bagaimana masa depan kota
Karena kadang-kadang dihadapan siapa saja
Semua uang sama
Dan jika kau setuju, jangan lupa
Pilihlah aku jadi bupati
Purwokerto, 15 oktober 2017
DEBU DARI ROHINGYA
Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai
Setelah segala yang telah terjadi
Tidak ada tempat sembunyi selain ketakutan diri
Tiada senjata selain air mata yang sia sia mengiba
Di depan moncong senjata
Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai
Demi tidak bunuh diri atau pun mati karena menyerah pada kebiadaban
Kami harus lari dan mengungsi dari kedamaian kami
Dari kehangatan rumah, pekerjaan yang tabah
Maupun segala bentuk senyum bocah yang indah
Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai
Kami tidak punya apa-apa selain diri
Dan tidak ada senjata apapun yang kami punyai
Selain semangat untuk tetap hidup di rumah yang mati
Apa yang kau takutkan dari kami?
Hingga kami harus diberantas dan harus mati
Kami hanyalah debu dari Rohingya, tanah kami yang kami cintai
Jika kami adalah kotoran dan harus dibersihkan
Maka setiap peluru, setiap pukulan, tendangan,
Sayatan, Ledakan-ledakan, dan api yang kau beri
Telah mensucikan kami, malaikat-malaikat akan mengangkat kami
Dan mengantar kami kepada Tuhan
Dan mungkin suatu saat mereka akan berterima Kasih
Kepada kalian yang telah membersihkan kami
Dengan membersihkan kalian dengan cara yang tak pernah bisa dibayangkan
Kami adalah penduduk Rohingya, tanah kami yang kami cintai
Jika kau anggap kami hanyalah najis bagi Rohingya
Dan rohingya harus disucikan dari kami
Maka kamilah yang telah kau hancurkan yang akan suci
Begitu pun Rohingya pada waktunya juga akan suci
Karena tangan kasih sayang Tuhan yang gatal
Akan membersihkan Rohingya dari kekejaman kalian
Purwokerto, 15 September 2017
Rohingya
Wahai roh roh bening yang bergerilya
Dengan kematiannya
Maafkan kami yang tidak bisa apa-apa
Selain menonton dan iba
Karena kepentingan dunia telah buta
Dan kami lebih asyik ngopi dan ngobrol dusta.
Purwokerto, 15 September 2017
PERANG (Rohingya)
Apakah itu perang?
Masih adakah perang
Jika yang saling berhadapan adalah
Ujung senapan dan badan yang ketakutan?
Perang adalah isu yang melekat pada kami.
Entahlah, kami pun tidak ingin perang
Atau menjadi pantas untuk disebut sebagai lawan perang
Yang jelas kami sedang tidak berperang dengan siapa pun
Selain berperang melawan kematian kami sendiri
Purwokerto, 15 September 2017
BALADA TUKANG GAMBAR DAN PEREMPUAN
Dari bekas persetubuhan pensil dan kertas
Aku tidak menemukan lukisan
Kecuali rindu yang tertawa
Berhasil menjebak seorang kekasih
Dengan wajah kekasihnya
Merasa ada kudeta
Aku pun melapor pada seorang wanita
Yang dimanfaatkan untuk menjebak kekasihnya
Dengan menyodorkan barang bukti
Berupa kertas yang tadi
“ini, barang bukti yang kudapat dari begadang selama malam hari”
Seorang wanita tertawa,
Ia merasa menerima wajahnya sendiri
Yang telah ia biarkan satu bulan
Beterbangan di kepala kekasihnya
Sial, ternyata mereka kerja sama
Hampir saja aku bahagia
Karena berhasil menukar gambar wajahnya dengan tawa di wajah aslinya
Tapi pada akhirnya tawa itu harus kubayar dengan kangen lagi
Dengan nota ucapan sampai jumpa
Purwokerto, 4 mei 2017
KEKASIH PUISI
Wahai perempuan
yang menjadi bapak bagi puisi-puisiku
Anak-anakmu telah lahir
Dan cakep-cakep sepertimu
Ada yang besar, ada yang panjang,
Ada pula yang pendek dan lucu
Tak sia-sia aku susah payah mengandung dan limbung
Tak sia-sia aku melahirkannya hingga hampir gila
Sebagai ibu, aku ingin engkau membopong,
Mengumandangkan cinta dan memberinya asma
Sebelum mereka dipindahkan ke kamar mereka yang serupa buku sastra
Aku paham sayang, ini berat bagimu sekaligus tabu
Tapi engkau terlanjur menjadi bapak dari puisi-puisiku
Dan terlanjur wajib bertanggung jawab bagi keluarga baru
Yang dibangun rindu
Purwokerto, 4 Mei 2017
NASEHAT BAPAK TUA PADA PUTRANYA
Bersiap siaplah nak
Bersiaplah untuk terus tegak
Sebab ada kabar dari burung prenjak
Tentang tamu tamu yang akan berjejak
Di tanah eyangmu yang telah lama nyenyak
Bersiap siaplah nak
Engkau akan lebih dari sekedar bersaing atau bertanding
Mentalmu harus kuat dan pantang bergeming
Sekolahlah yang serius agar kau tak terjerumus
Oleh arus yang kian lama kian menggerus
Sejarah eyangmu yang semakin aus
Jadilah engkau orang pintar yang memintarkan
Jadilah orang makmur yang memakmurkan
Dan jadilah orang saleh yang menyalehkan
Barangkali dengan begitu tanah eyangmu tak lekas jadi panas
Oleh segala yang beringas
Bersiap siaplah nak
Jika benar apa yang dikatakan burung prenjak
Akan ada orang-orang hebat yang berjejak
Kau harus baik padanya jika jinak
Dan kau harus tega padanya
Jika ia melunjak
Bersiap siaplah nak
Jika kau sampaikan pesanku pada orang banyak
Jangan kaget jika ditolak
Sudah pasti banyak pihak yang tak mau rugi
Tapi jika kau tak sampaikan pesanku layaknya burung prenjak
Bisa jadi sanak saudaramu akan merasa rugi di kemudian hari
Bersiap siaplah nak
Jika tak mampu jadi harimau
Yang menghalau harimau
Engkau bisa jadi burung prenjak
Barangkali harimau yang sedang menyamar jadi kerbau,
Jadi kambing, atau jadi tikus
Akan berhenti jadi kerbau, kambing dan tikus
Lalu mengaum untuk Rimba
Bersiap siaplah nak
Siapkan dirimu untuk jadi burung prenjak
Meski nyawamu terancam penembak
Purwokerto 4 Nov 17
KEPADA BAPAK-BAPAK YANG KAMI CURIGAI
bapak-bapak yang kami curigai
maghrib ini banjir datang ke kali
apakah bapak yang mengundangnya hingga sampai ke sini?
aduhh bapak baik sekalisudah bertahun-tahun kewaspadaan kami sepi
sekarang bapak mengundangnya ke sini
mohon maaf bapak kami tidak bisa menyuguhi
selain rasa cemas dan was-was
yang aromanya khas memenuhi gubug kami
bapak-bapak yang kami curigai
ini bisa saja sebuah kewajaran atau kebetulan
karena memang di sini sedang panen hujan
sudah jelas kuasa ini kuasa Tuhan
tapi bapak bapak, mana mungkin tiba-tiba air dimainkan Tuhan
kalau bukan bapak-bapak yang memohonkan?
juga tidak mungkin bapak kalau banjir ini disebabkan
karena ulah malaikat yang kencing sembarangan
maka dari itu bapak, kami harus cepat-cepat menyimpulkan
kalau bapak-bapak yang menyebar undangan
bapak-bapak yang kami curigai
terimakasih jika memang bapak yang mengundangnya kesini
semoga bapak mendapatkan ganjaran yang setimpal
dan semoga bapak-bapak tidak mengundang teman-temannya ke sini
karena kami tidak punya apa-apa untuk kami suguhkan
jadi kalau bapak tetap mengundangnya ke mari
mohon bapak berkenan untuk menyediakan diri
karena bapaklah yang nanti akan tersuguhkan
16-09-17
SETELAH USAI CERITA
bisa jadi kata-kata akan sia-sia
karena gugur menjangkaumu
tapi arkeolog ada di pihakku
mereka membedah waktu,menggali fosil kata-kata
membingkisnya dan meletakkan di pintu kamarmu
engkau mungkin sedang tidur dan mendengkur
tapi siluman mimpi telah bangkit dari kuburdan membuatmu nglindur
ia membawa setangkai mawar kering dan sebilah pisau
yang ia genggam dalam bingkisanyang terletak di depan pintu
barangkali engkau bisa memilih berhenti meracau
dan mengunyah kelopak kelopak kering itu sebagai jamu
atau kau bisa ambil pisau
dan mengahiri penyesalanmu
20 Oktober pukul 0:54·
Setiap
kata sangat berharga bagi seorang penyair untuk mengantarkan apa yang mereka
inginkan. (Sori Siregar)
Dewandaru Ibrahim sebagai seorang
penulis puisi saya kenal namanya sejak dua tahun terakhir. Puisinya beberapa
kali melintas di media massa dan sering melintas di linimasa. Sebagai mahasiswa
IAIN Purwokerto, tentu saja karya-karyanya tak bisa lepas dari pengaruh guru
dan seniornya seperti Abdul Wachid BS, Arif Hidayat, Yanwi Mudrikah, dan Dimas
Indianto S. Namun dari pengalaman bersastra para senior yang ditelurkan itulah,
Dewandaru Ibrahim menjadi pengekor. Tentu saja, dia akan kembali pada ruang
dirinya sendiri dalam setiap proses kreatifnya.
Membaca puisi-puisi Dewandaru
Ibrahim, pembaca harus menyelami kata per kata untuk bisa menemukan pesan yang
disampaikan penulisnya. Karena, seperti kata sastrawan Sori Siregar itu, puisi
memang tidak mudah dimasuki hanya dengan sekali baca.
Ada 13 puisi yang saya salami secara
perlahan. Puisi-puisi itu terbagi menjadi tiga tema besar. Pertama, perihal
kritik sosial pada puisi Debu dari
Rohingya, Rohingya, Perang (Rohingya), Kepada Bapak-Bapak yang Kami Curigai,
Nasihat Bapak Kepada Putranya dan Tawaran yang Menggiurkan. Kedua, perihal
romantisme pada puisi berjudul Surat Penyesalan Sinta, Balada Tukang Gambar
dan Perempuan, Setelah Usai Cerita dan Panggung
Harus Ditutup. Ketiga, perihal kekaukan penulis terhadap kegemarannya
berpuisi dalam puisi berjudul Menjadi Tukang Puisi.
Ketika pemerintah bengkok, maka
puisi yang meluruskan. Pernyataan Presiden Amerika John F Kennedy tersebut
sepertinya menjadi acuan Dewandaru Ibahim untuk menuliskan puisi-puisi yang
bertemakan kritik sosial yang terjadi di sekitarnya maupun yang bersifat isu
internasional kekinian.
Coba lihat di puisi berjudul Kepada Bapak-Bapak yang Kami Curigai.
Kalau boleh menafsirkannya, puisi ini mengkritik kebjakan pemerintah yang
membangun Pembangkit Listrik Bertenaga Panas Bumi (PLPB) di lereng Gunung
Slamet yang dilakukan oleh PT SAE. Isu ini masih menghangat sejak beberapa
bulan lalu dan puncaknya terjadi demonstrasi dari elemen mahasiswa, LSM dan
aktivis lingkungan hidup di Alun-Alun Purwokerto. Demonstrasi ini berbuntut
pembubaran paksa dan insiden pengaiayaan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP.
Isu itu masih menghangat sampai saat ini. Dewandaru menuangkan keprihatinannya
melalui puisi. Kejadian banjir di beberapa tempat di Purwokerto serta meluapnya
sejumlah aliran sungai yang memorak-porandakan sejumlah bangunan dan tempat
wisata di tepi sungai. Menurut Dewandaru, banjir tersebut bukan hanya sebatas
hujan yang turun tiada henti, tapi ada ulah manusia yang merusak alam. Itu
termaktub dalam bait : //bapak-bapak yang
kami curigai/ ini bisa saja sebuah kewajaran atau kebetulan karena memang di
sini sedang panen hukan/sudah jelas kuasa ini kuasa Tuhan/ tapi bapak bapak,
mana mungkin tiba-tiba air dimainkan Tuhan/ kalau bukan bapak-bapak yang
memohonkan/ juga tidak mungkin bapak, kalau banjir ini disebabkan/ karena ulah
malaikat yang kencing sembarangan/ maka dari itu bapak, kami harus cepat-cepat
menyimpulkan/ kalau bapak-bapak yang menyebar undangan.
Kemudian pada puisi berjudul Tawaran yang Menggiurkan. Dewandaru
bercerita tentang cara pintas seseorang menjadi kaya raya dengan ikut menjadi
tim sukses calon pemimpin daerah. Hal ini menjadi otokritik bagi sebagian orang
yang memanfaatkan momen pilkada yang mencari celah untuk mengeruk keuntungan
pribadi. Juga bagi calon kepala daerah yang merayu orang untuk menjadi
pendukungnya. Dewandaru juga melihat kondisi yang tidak baik di setiap sudut
seperti minimnya regenerasi petani dan alih fungsi lahan pertanian. Dari sisi
gaya bahasa, Dewandaru memilih menggunakan kata-kata yang lugas dengan minim
bahasa figuratif. Namun kelugasan kata itu dirangkum menjadi sebuah puisi ironi
yang merupakan bahasa kias itu sendiri.
Kemudian pada tiga puisi yang
bercerita tentang penderitaan saudara muslim di Rohingya, Myanmar. Ibarat
tubuh, jika ada satu bagian yang sakit, maka semua akan merasakan sakit. Itulah
yang mungkin dirasakan oleh Dewandaru Ibrahim ketika melihat pembantaian etnis
muslim Rohingya oleh militer Myanmar. Ketidakberdayaan mereka dilukiskan
melalui bait /Kami hanyalah debu dari
Rohingya, tanah kami yang kami cintai/ (Debu dari Rohingya).
Rasa empati bisa dilakukan melalui
berbagai macam. Kalau pemerintah Indonesia melakukan dialog dengan antarnegara,
anak-anak sekolah melakukan penggalangan dana dan doa bersama, maka penyair
menuangkan air matanya melalui puisi. Itu terlihat pada bait /Maafkan kami yang tidak bisa apa-apa/
Selain menonton dan iba/ (Rohingya). Dalam catatannya, Jamal D Rahman
mengatakan, jalan nirkekerasan merupakan jalan yang secara langsung dan tegas
menegasi dan menampik kekerasan dalam segala bentuknya, dan dengan sendirinya
ia mengharuskan cara-cara damai. Dengan cara tersebut, jalan ini menohok
langsung ke jantung apa yang ingin dilawannya. Jalan nirkekerasan adalah
negasil sekaligus penegasan: menegasi kekerasan, pada saat yang sama menegaskan
nirkekerasan (Horison, Desember 2013).
Puisi, sebagaimana diakui oleh semua
peradaban dunia, selalu berpihak kepada kebajikan dan kebenaran dan selalu
menyampaikan kebajikan dan kebenaran dengan cara ungkap yang beradab, manusiawi
dan bertanggung jawab. Mungkin apa yang disampaikan oleh Korie Layun Rampan
pada akhir antologi puisi Negeri Angsa Putih (2007) itu menjadi jalan bagi
Dewandaru Ibrahim menyuarakan ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem di
masyarakat.
Kemudian, tema kedua yang diangkat
oleh Dewandaru berupa tema melankoli. Bisanya, penyair akan berdarah-darah
mengungkapkan rasa cinta melalui puisi dengan bahasa kias yang berlebihan.
Namun tidak pada puisi Surat Penyesalan
Sinta dan Panggung Harus Ditutup karya
Dewandaru. Dewandaru menggunakan dekonstruksi dalam menggambarkan kisah
percintaan abadi Ramayana karya Valmiki. Dalam dekonstruksi, kata Jacques
Derrida, semua anggapan kontekstual, tidak ada yang absolute. Semua anggapan
itu wujud konstruksi sosial yang menyejarah. Anggapan itu ada dan menjadi jejak
yang bisa dirunut sejarahnya oleh penciptanya. Di puisi ini, Dewandaru
menegaskan jika sosok Sinta yang menyadari bahwa cinta Rahwana lebih dahsyat
dibanding dengan cinta Rama kepadanya. Hal ini muncul dalam bait /Aku bersaksi akan cinta sejati yang dipikul
laki-laki/ Dengan memeras seluruh darahnya sendiri// O, aku telah salah
Rahwana/ aku telah salah menolakmu dengan pulang pada laki-laki itu/ Yang
menjemputku untuk api pancake dan curiga/ (Surat Penyesalan Sinta).
Hal itu pernah dikemukakan pula oleh
Sujiwo Tejo melalui drama musikal Pengakuan
Rahwana yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Desember 2008 lalu dan
Mahacinta Rahwana. Diceritakan,
sebelum perang penghabisan menghadapi Rama, Rahwana pamit pada Sinta. Sinta lalu
memohon agar dia tidak usah pergi ke medan perang. Ketika Rahwana hendak pergi,
Sinta memegangi pundaknya. Rahwana menoleh dan bertanya, “Apakah ini pertanda
kau sudah mencintaiku?”. Sinta hanya terdiam dan menitikkan air mata.
Begitulah, seorang penulis puisi
harus bisa melihat dari sudut pandang lain. Dia harus bisa menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru di luar kotak cara berfikir orang kebanyakan.
Melalui puisi Surat Penyesalan Sinta
ini, Dewandaru Ibrahim telah menjadi bagian dari orang yang memiliki cara
berfikir di luar kotak. Terlebih lagi dia sudah menyatakan diri menjadi seorang
berprofesi sebagai penyair yang diikrarkan melalui puisi Menjadi Tukang Puisi. Pernyataan sikap inilah yang sering
didengungkan oleh para penyair muda yang mulai terjun di blantika kesusastraan.
Saya berharap, begitu Dewandaru
sudah memutuskan terjun ke lautan ini, dia akan semakin dalam dan terus
berenang mengarungi setiap palung, walau sesekali harus naik ke daratan dan
menepi di buliran pasir pantai. Sebab tidak sedikit pula, penyair-penyair muda
yang awalnya keranjingan belajar menulis puisi dan menceburkan diri ke samudera
tak terhitung luas dan dalamnya, kemudian dia tenggelam dan lenyap ditelan ikan
paus.
Tabik
Tentang Penulis
Ryan Rachman, bakul banner, stempel, medali dan buku yasin ideran, tinggal di kaki Gunung Slamet, Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga.