TEKS SASTRA DAN REKONTRUKSI SEJARAH
Oleh: Tjahjono Widijanto
Teks sastra hadir di tengah-tengah
masyarakat pembacanya dengan membawa kodratnya yang “hemaprodite”, satu sisi
teks sastra berpijak pada realitas sisi yang lain berpijak pada imajinasi.
Antara realitas dan imajinasi tidak dapat ditentukan mana yang lebih penting
karena keduanya bercecabang, berkelindan dan berpagutan menjadi satu. Fakta dan
fiksi, faktual dan imajinatif bersenyawa dalam teks sastra,—meminjam istilah
A. Teeuw hal ini dikatakan sebagai realitas hulu dan realitas hilir—yang
merupakan dua sisi mata uang yang sama
pentingnya.
Karena mempunyai realitas hulu dan
realitas hilir, teks sastra juga hadir sebagai sebuah kisah sekaligus berita
pikiran. Sebagai kisah teks sastra menyediakan narasi atau penceritaan yang
mengajak pembacanya untuk bersimpati dan berempati. Sebagai berita pikiran teks
sastra menampilkan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan dan pandangan
tentang kontruksi realiat budaya
sastrawannya.
Di sisi lain sastrawan sebagai kreator senantiasa berada pada dua titik ketegangan. Satu titik ia tidak
dapat hidup di luar kenyataan, di titik yang lain ia tidak dapat menerima
kenyataan. Teks sastra akibatnya harus hadir sebagai sebuah proses yang pada
waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari. Karya sastra
menjumpai pembaca untuk menyajikan sebuah realitas ideologis dengan merujuk
pada realitas kongkret yang dialami oleh pengarang dan masyarakat pembacanya.
Bisa jadi realitas ideologis merupakan counter atau tandingan dari
realitas kongkret yang sedang terjadi.
Dalam bingkai realitas ideologis dan realitas kongkret
ini semenjak sastra-sastra klasik semisal epos Ramayana karya Walmiki
atau Mahabarata karya Wyasa, teks-teks sastra tak luput pada masalah sentral
kekuasaan dan hegemoni negara. Mahabarata misalnya, mulai dari parwa pertama adi
parwa hingga parwa kedelapan belas —swargarohana parwa—,
kekuasaan menjadi tema dasar yang menggerakkan konflik tokoh-tokohnya. Dari
persoalan kekuasaan itu muncul hero-hero yang di mata pembaca menjadi suri
teladan bahkan tidak jarang dicoba diidentifikasikan atau dicitrakan pada
realitas hidup. Sastra menjadi berkewajiban untuk melahirkan pahlawan dan rasa
kepahlawanan.
Di Perancis pada abad pertengahan dikenal satu genre
sastra yang disebut sebagai chanson de geste, bentuk puisi naratif
bertemakan kepahlawanan yang dipanggungkan dengan diiringi alat musik petik.
Puisi naratif kepahlawanan yang paling populer di masyarakat Eropa waktu
itu adalah Chanson de Roland yang
terdiri dari 4002 baris sajak. Puisi ini mengisahkan kepahlawanan tokoh ksatria
Roland yang mengabdi pada raja
Charlegmane yang akhirnya gugur dalam peperangan melawan musuhnya. Cerita
semacam Chanson de Roland ini secara substansial sejajar dengan salah
satu drama klasik Jepang Nakamitsu (anonim) atau Kaba Cinduo Mato,
sastra klasik Minangkabau.
Persoalan kekuasan ini beresiko membawa sastrawan pada
sebuah kenyataan paradoksal, yakni di satu pihak secara sadar atau tidak
‘terpaksa’ melegimitasi kekuasaan dan
pada titik yang lain melakukan counter atau perlawanan terhadap
kekuasaan. Paradoksal semacam ini dalam sastra klasik sangat jelas karena dalam
kehidupan riil banyak pujangga yang bekerja pada penguasa yang mengakibatkan spleet
personality dan mempengaruhi proses kreatif.
Kondisi keterbelahan ini di Eropa dialami oleh Clement
Marot (1496-1544) seorang pujangga kesayangan dari Raja Francois I dari istana
Perancis pada awal Renaissance. Marot menulis sebuah teks karya sastra Perancis
yang pertama kali secara transparan tapi jenaka mengkritisi praktek-prakek
sosial di zamannya yang membuatnya dikejar-kejar kaum gereja dan bangsawan
tetapi secara diam-diam juga dilindungi oleh Raja.
Keterbelahan seperti ini juga dialami oleh pujangga
besar Jawa, Ronggowarsita. Ronggowarsita yang bekerja sebagai pujangga kraton
Solo selain menciptakan teks-teks sastra transeden seperti Serat Wirid
Hidayat Jati juga karena kekecewaannya terhadap sistem pemerintahan kraton,
akhirnya melahirkan serat Kalatida yang memotret sekaligus mengkritisi
penguasa yang mengakibatkan rakyat berada dalam penderitaan yang disebutnya
sebagai jamam kalatida atau kala bendu.
Dalam menyajikan realitas ideologis
paling tidak ada dua cara yang dapat ditempuh sastrawan. Ada sastrawan yang
mencoba secara langsung memberikan
penggambaran atau menawarkan penyosokan
realitas sosial budaya yang belum pernah dialami atau bahkan mungkin belum
terpikirkan masyarakat pembaca di zamannya. Sebagai contoh roman Layar
Terkembang. Roman ini menjumpai pembacanya untuk menghadapi ‘kenyataan
baru’ yang sedang diidealkan dan diperjuangkan oleh pengarangnya, yakni
perjuangan untuk merombak sistem nilai yang ditopang oleh adat, perilaku, dan
sistem kekeluargaan ke arah manifestasi sistem sosial-budaya yang lebih egaliter
dan ideal.
Tokoh Tuti dalam roman tersebut
adalah wanita ‘ajaib’ yang belum pernah dijumpai pembacanya dalam realitas
kongkret masa itu. Layar Terkembang tidak
saja suatu manifestasi bentuk tetapi lebih merupakan manifestasi idealisme
tentang manusia Indonesia baru yang digagas oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Penawaran realitas ideologis dengan cara ini dapat pula dijumpai dalam novel Burung-burung
Rantau (J.B. Mangunwijaya) .
Cara kedua, realitas ideologis
disampaikan dengan memanfatkan peristiwa kesejarahan. Dalam memanfaatkan
sejarah ini sastrawan sebagai kreator juga dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan
pertama pengarang berada atau mengambil posisi yang liniar, sejalan dengan
versi sejarah resmi yang beredar. Sedangkan
pilihan kedua, pengarang dan teks sastra tidak mengambil posisi yang linier dengan
sejarah “resmi” yang dianggap syah dan benar oleh penguasa atau masyarakat
umum, tetapi justru mengambil posisi berseberangan dengan sejarah “resmi”. Pada
pilihan pertama, pengarang lebih berperan sebagai tukang cerita masa silam.
Sedang pilihan kedua, memposisikan penulisnya untuk mengkritisi sejarah yang
“resmi” atau bahkan menciptakan versi lain dari sejarah sebagai sebuah
tandingan dari sejarah itu sendiri.
Pengarang-pengarang
Balai Pustaka merupakan contoh pilihan pertama. Roman-roman sejarah masa itu
seperti misalnya: Surapati, dan Robert Anak Surapati,
kedua-duanya karya Abdoel Moeis, hanya sebatas menggali atau mengungkapkan
sejarah sebagai sebuah peristiwa saja. Bahkan pengarangnya tak beranjak dari
sejarah resmi kolonial Hindia Belanda saat itu. Tokoh Untung Surapati tidak
tampil sebagai hero, justru yang tampil sebagai hero adalah Robert anak kandung
Surapati hasil perselingkuhannya dengan noni Belanda bernama Zusana. Robert
yang mendendam pada ayahnya, Surapati, berlayar ke Jawa dan masuk menjadi
perwira kompeni dengan harapan dapat membunuh Surapati. Roman-roman tersebut
nyaris hanya bercerita dan mengulang-ulang riwayat yang sudah lazim didengar
masyarakat (versi pemerintah saat itu) dan hanya menambahkan aspek dramatis
pada tokoh-tokohnya.
Berbeda dengan
pengarang dan teks sastra yang memilih pilihan kedua. Pada pilihan kedua ini,
pengarang mengolah sejarah lebih eksploratif. Sejarah “resmi” tidak dianggap
sebagai realitas tunggal yang mesti benar dan sahih, pengarang cenderung
mengolah sejarah itu sebagai salah satu realitas yang harus dipertanyakan
kembali. Bahkan dalam mengolah bahan sejarah itu seringkali pengarang
mengangkat tokoh yang dalam sejarah “resmi” tidak diperhitungkan sama sekali.
Tetapi justru dengan mengangkat tokoh dan peristiwa yang tidak dipandang
sebelah mata itu, pengarang menggugat ketunggalan sejarah.
Novel Roro Mendut karya J.B
Mangunwijaya misalnya, mencoba mengangkat peristiwa kesejarahan dengan latar
belakang kerajaan Mataram era Sultan Agung. Berbeda dengan realitas sejarah
versi Babat Tanah Jawi yang merupakan versi resmi dari penguasa saat
itu, J.B Mangunwijaya justru menampilkan tokoh Roro Mendut dengan citra yang
sama sekali berbeda dengan Babat Tanah Jawi. Kalau Roro Mendut versi Babat
Tanah Jawi adalah sosok perempuan lemah tak berdaya, justru Roro Mendut
versi Mangunwijaya adalah sosok perempuan ‘perkasa’, lincah dan berani
menantang hegomoni pria bahkan penguasa. Sedangkan tokoh Tumenggung Wiraguna yang
dalam Babat Tanah Jawi adalah
sosok prajurit tulen dalam versi Mangunwijaya hanyalah prajurit renta yang
terombang-ambing cinta ala ABG. Terlihat
betapa pengarang mempertanyakan bahkan menjungkirbalikkan realitas sejarah yang
selama ini didengar oleh masyarakat.
Dalam merekontruksi sejarah melaui
teks sastra pengarang tidak mendekati sejarah melalui pendekatan monumental
tetapi lebih cenderung pada pendekatan antikurian dan pendekatan kritis.
Melalui pendekatan antikurian, pengarang tidak memandang sejarah semata-mata
sebagai penyimpan peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan dari masa lalu supaya
tidak ditelan waktu, namun lebih terfokus memandang sejarah sebagai sebuah
kesadaran identitas lampau yang berkesinambungan dan memberikan arah masa
depan. Sedangkan dengan pendekatan kritis, pengarang membuka kemungkinan untuk
menguji, mengkaji ulang, dan menafsirkan kembali peristiwa masa lampau untuk
kepentingan masa datang. Sejarah diperlakukan sebagai suatu organisme yang
berkembang dan lahir kembali sebagai sebuah
siklus alamiah peradaban manusia yang dapat menjadi persoalan abadi bagi
manusia sebagai pembentuk peradaban.
Rekontruksi sejarah yang dilakukan
pengarang pada dasarnya ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa dalam menilai
masa lampau selalu ada dua hal yang saling mempengaruhi. Pertama, hubungan kita
dengan masa kini, dan kedua, tanggapan kita
terhadap masa lampau. Ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap masa kini
dapat menyebabkan kita mengidealkan masa lampau, atau dengan kata lain, kita
kembali ke masa lampau untuk menyadarkan akan ketaksempurnaan dan kebobrokan
masa kini. Masa lalu dapat menjadi cermin untuk mematut diri di masa kini
sekaligus menjadi kitab referensi menghadapi masa yang akan datang, meskipun
tentu saja referensi ini tidak bersifat formal, kaku dan absolut tetapi lebih
menghadirkan subtansial-subtansial
masalah yang mungkin terulang dalam wujud material yang berbeda.
Dengan demikian oleh sastrawan
sejarah tidak dibeberkan sebagai fakta telanjang seperti halnya kelompok annals
dari Perancis yang memandang sejarah terbatas pada hubungan waktu dan
kronologis semata-mata. Tidak hanya memandang sejarah sebagai past
significane (hanya penting untuk peristiwa masa lampau), tetapi secara
kreatif mencoba memandang sejarah dengan hubungannya dengan masa kini (present
meaning) bahkan pada masa yang kelak akan datang. Hal ini tampak pada
novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan generasi yang lebih muda, Gus TF
Sakai dengan novel Tambo.
Pada novel Arus balik Pramoedya
mengambil setting masa transisi pemerintahan Demak ke Pajang. Penguasa Demak
saat itu Sultan Trenggana, memindahkan ibukota dari daerah pesisir ke
pedalaman. Hal inilah yang menurut pemikiran Pram merupakan turning point kemunduran
kebudayaan Jawa dan kebesaran Majapahit. Kebudayaan Jawa yang di masa Majapahit
dan dilanjutkan Demak sampai pemerintahan Patiunus sebenarnya merupakan produk
kebudayaan laut atau maritime yang dinamis dan terbuka berubah menjadi kebudayaan agraris yang cenderung
statis dan tertutup. Dalam Arus Balik tokoh Sultan Trenggana yang dalam
sejarah “resmi” dianggap sebagai hero justru oleh Pram dianggap sebagai biang
keladi kemunduran generasi berikutnya yang mengakibatkan kebudayaan Jawa
mengalami stagnasi
Sedangkan novel Tambo Gus Tf
Sakai mencoba menunjukkan bahwa sejarah yang meskipun merupakan masa lampau
terpisah dari masa kini bukanlah sesuatu yang tidak berhubungan. Sesuatu yang
terjadi pada masa lampau secara subtansial dapat saja terjadi dan dialami masa
kini atau masa datang. Dengan begitu, masa lampau sebenarnya tidak terpisah
secara mutlak dari masa kini, ada benang halus yang menjembataninya yang
mungkin saja benang halus itu berubah menjadi tali besar sehingga masa lampau
itu berubah kembali kongkrit pada masa kini.
Kesinambungan masa lalu dan masa
kini diperlihatkan pada diri tokoh Sutan yang memiliki dua masa, masa lalu dan
masa kini. Sutan masa lalu bernama Sutan Balun adik Sutan Marajo Basa atau
Adityawarman raja Minangkabau bertemu dalam alam mimpi dengan Sutan masa kini, Sutan
Rido mahasiswa ‘abadi’ yang gelisah mencari akar sejarah dan identitas
budayanya. Sutan Rido yang hidup pada masa kini mencoba menelusuri dan
membangun sejarah masa lampaunya kembali melalui tokoh Sutan Balun. Terjadilah
refleksi atau kilas balik sejarah kebudayaan dan peradaban yang digambarkan
melalui perjuangan Sutan Balun membentuk peradaban baru Minangkabau masa
lampau.
Dalam novel Tambo diperlihatkan bagaimana sebuah sistem
budaya lahir melalui proses pertukaran dan pengaruh-mempengaruhi antara
budaya-budaya yang berlainan. Melalui dialog tokoh Sutan Balun dengan kakaknya
Sutan Marajo Basa dipertemukan dua paham kebudayaan yang bertolak belakang.
Sutan Marajo yang sejak kecil dibesarkan di Jawa (Majapahit) menganut paham
sentralistik, sentripetal, dan otoriter dengan tumpuan pada pemujaan kekuatan
perang berhadapan dengan konsep Sutan Balun yang lebih berpola desentralistik,
sentrifugal dan egaliter.
Melalui diaolog tokoh-tokohnya,
novel Tambo mengingatkan pada kita bahwa bipolarisme budaya dan warna
lokal merupakan sebuah kewajaran karena itu mestinya tidak perlu ditanggapi
secara subyektif, emosional, politis dan
dianggap “sara”, tetapi justru harus ditanggapi secara rasional, kritis dan
intelektual. Dengan demikian secara kritis dan rasional dapat dikaji sisi-sisi
kelemahan dan keunggulan kutub-kutub budaya serta signifikansinya bagi sebuah
pertemuan dan dialektika antar budaya yang fair dan balance.
Tentang Penulis
TJAHJONO
WIDIJANTO. Sastrawan nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta (2020) ini lahir
di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai
media nasional. Buku-bukunya a.l: Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai
Sastra (2020): Dari Jagat Wayang Hingga Peahu Lalotang:
Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi
Puisi 2020) Prodisa: Surga Halaman Depan (Badan
Bahasa, 2017), Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya
(2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai
dan Telaah Sastra (2011), Wangsit Langit
(2015), Janturan
(Juni, 2011), Singir (2014), Cakil & 15 Kisah Lainnya(2019) Rezim
Para Satriya (Naskah drama, 2013), Menulis Sastra Siapa Takut?
(2014), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ
(Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), Angkatan 2000
dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000),
Birahi Hujan (Logung Pustaka, 2004,), , Compassion
& Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll..
Diundang dalam berbagai
acara sastra nasional dan internasional a.l:, memberikan ceramah sastra di Hankuk
University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud
Writters and Readers Festival (2009), Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan
Kesenian Jakarta,2004), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll.
Memperoleh Penghargaan Seniman (Sastrawan) dari Gubernur Jawa Timur (2014), dan Penghargaan Sutasoma Balai Bahasa Jawa
Timur (2019). Pada bulan April-Mei tahun 2017 lalu ditunjuk Badan
Bahasa untuk mengikuti program residensi
sastrawan berkarya di Talaud Sulawesi Utara.
Memenangkan berbagai
sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan
Kesenian Jakarta (2004), , Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan
Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008
dan 2009), Pemenanang Lomba Mengulas Karya Sastra (5 kali berturut turut; 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006), dll.
Saat ini selain sebagai penulis dan penyair juga “nyambi” sebagai kepala
sekolah di sebuah SMA Negeri di Ngawi. Tinggal di jl. Hasanudin Gg Cimanuk 1 A
Ngawi, HP: 082143785362, email; tjahwid@yahoo.co.id