MATA PUISI
di tengah ladang ketika matahari lindap
kautanam jagung
keringat rembes dari leher jenjangmu
serunai dan bansi timpa-bertimpa
kaba didendangkan
parau terdengar
angin kering berderu dari bukit
turun ke lembah
dari kejauhan indah sorot matamu
gugurkan rindu
walau absurd
tapi kita mengerti
jarak ngarai-pantai
langit-bumi serupa tali
yang kaurentang
berbuhul kasih
oi, sepasang mata
menyimpan dalam
misteri wangi edelweis
di tengah ladang
di atas daun pisang
kaubaringkan puisi
kauelus hati-jiwanya
di atas daun pisang
di tengah ladang
sepasang mata puisi
menebar cahaya edelweis
hingga jauh
ke seberang lautan
memantul di dinding tebing karang
pedih, chin!
oi, rimbun perdu itu
seperti rinduku yang tak terawat
tumbuh tanpa menemukan arah
di tengah ladang
di bawah langit lindap
desau angin memantulkan suaramu
di dinding hari
ini pertemuan selalu menyesak dada
di tanah ini kusemai puisi
sepanjang waktu
bertarung hidup yang getir
di tengah ladang
di bawah langit lindap
selalu ada harap rinduku padamu
pada sepasang mata puisi yang tajam!
Jaspinka, 2021
DI PINGGIR JALAN
RAYA KOTA WANGON
di pinggir jalan raya kota wangon, matahari tepat di atas
kepala
: “leburkan
rindumu pada sepinggan es durian, lalu
lupakan
amarahmu pada orang-orang nyinyir yang pandir!”
engkau lalu melangkah arah utara, alir darahmu
tersirap-sirap
bayang tubuhmu senantiasa mendahului langkahmu
kadang serupa camar, kadang serupa merpati patah sayap
kadang serupa serumpun edelweis, kadang serupa bongkah
dendam yang kian menghitam
engkau terus melangkah ke utara, lurus, sampai
di pertigaan karang bawang belok kiri naik
ke bukit karang darmakradenan
menikmati semilir angin, hijau dedaunan pohon-pohon
dan semak-perdu dan ou, daun-daun jati kuning-coklat
melayang berlepasan dari tampuknya
engkau terus ke barat, melewati
tambang emas tradisional igir salak
melewati tanjakan cangkring, menyeberang kali cirebah
dan berhenti di markas jaspinka, berorasi, berdeklamasi
menyeruput segelas kopi
engkau lalu, o, menjelma baris-baris puisi, yang begitu
nyeri!
Jaspinka, 2021
RUNTUHNYA KERATON
CANGIK
Cangik; air matanya tak terbendung, berderai-derai
Membasahi kedua pipi dan berlembar-lembar tisu
Di luar dugaan, keraton yang telah bertahun-tahun menjadi
singgasana
Runtuh berantakan
Hujan badai, banjir bandang menerjang
Lalu pagebluk mengurung keratonnya
Cangik mengungsi ke ketinggian bukit
yang jauh di bawah Selatan sana– hamparan laut;
bongkahan karang berlumut dan debur ombak
Para cantrik pun menyebar
Menyelamatkan diri ke berbagai arah
Rakyat yang selama ini tertindas perilaku otoriter Cangik
Bersorak dan sujud syukur
Dan Limbuk yang mengambil tongkat kepemimpinan bersuka
cita
Tetapi tidak lama kemudian, Limbuk juga
Suka menepuk-nepuk dada
Menindas orang yang tidak tunduk
Serupa Cangik, Limbuk juga merasa paling cantik dan
berkuasa
Cantrik-cantrik baru juga seperti cantrik-cantrik lama
Selalu sujud berguling-guling seraya mulutnya mengatakan:
siyap, siyap!
Ketika Limbuk baru mulai berbicara
Hahaha
Dari kejauhan, dari atas bukit, Cangik melihat keraton
yang hancur berantakan
Dadanya sesak, air matanya terus berguguran
Ia sangat sunyi dan hina
Langit mendung, namun udara begitu panas
Limbuk pethatha-pethithi berjalan menggoyangkan
pinggulnya
Mengelilingi keraton yang ditinggalkan Cangik
Para cantrik mengikuti dari samping kanan-kiri dan
belakang
Ketika Limbuk baru mulai bicara
Mulut para cantrik terus melompatkan kata: siyap, siyap!
Jebret!
Jaspinka, 2021
MERCUSUAR CIMIRING
Kalau engkau ingin mengenal manusia berdarah paling sunyi
berhati-jiwa cahaya, suatu waktu datanglah
ke Menara Mercusuar Cimiring, di balik Bukit
Nusakambangan—
paling ujung Selatan, menara peninggalan Belanda yang
sangat
indah menakjubkan. Dari pelabuhan Sleko atau dari pantai
Teluk Penyu menyeberanglah dengan perahu nelayan
menuju dermaga Karang Tengah, lalu mengikuti jalan
setapak
yang kian jauh kian mendaki sampai di puncak Bukit Kempis
lalu menurun lalu mendaki lagi, dan sampailah di
mersusuar Cimiring
tempat penjaga menara mercusuar menjalani hidupnya
siang membersihkan lingkungan, memancing ikan, berkebun
dan yang paling utama adalah memastikan mercusuar menyala
sepanjang malam; perahu dan sampan nelayan, juga
kapal-kapal
dan tanker sangat membutuhkan kerlip bilah cahaya
mercusuar
agar tidak kandas, agar tidak menubruk bongkar karang,
bila malam
Kalau ada waktumu, datanglah ke Menara Mercusuar Cimiring
engkau juga boleh ikut penjaga menara mercusuar berburu
ikan,
udang dan cumi-cumi, turun ke pinggir laut, masuk ke
geronggang
karang,– sambil
sesekali kauteriak membaca baris-baris puisi, o,
baris-baris puisi! atau engkau naik ke puncak menara
mercusuar
bila malam menua, menenggak embun yang turun dari langit
engkau lalu naik ke atas cahaya mercusuar– mengitari
laut
hingga sejauh mata memandang, betapa maha menyenangkan
engkau, tentu akan sangat hormat pada penjaga menara
mercusuar
orang berdarah paling sunyi, berhati-jiwa cahaya—
Jaspinka, 2021
PERISTIWA KECIL
SUATU PAGI
di luar pagi pecah
suara ayam dan burung
ia membuka jendela, pintu rumah
dan ke luar, di sudut halaman di ranting anggrek putih
seekor prenjak mematuk ulat
: paruh prenjak mencincang ulat
tamat sudah
sebuah riwayat!
tidak ada yang terlihat istimewa
dan perlu dicatat
hanya kesunyian
perlahan mengental dalam sukma
: di halaman rumah kecil, di ranting anggrek
ini pagi seekor
prenjak matanya memancarkan
cahaya sukacita
lalu berdencir-dencir tak henti-henti
bergerak dari ranting anggrek putih
ke ranting mawar, ke ranting melati
ke ranting hati paling nyeri.
Jaspinka, 2021
DI BAWAH SENGAT
MATAHARI
di bawah sengat terik matahari
ia bertarung
menaklukkan diri
mengalahkan hawa nafsu
menundukkan kata-kata
yang liar
mulut-hatinya meletupkan doa
serupa ratusan singa lapar
orang-orang di sekitar
menarik-menyeret dirinya
ke bibir jurang
“ini manusia paling hina!”
“musnahkan!’
“terjunkan ke jurang!”
suasana riuh, matahari kian pecah
“tunggu dulu, jangan terburu eksekusi!”
“barangkali ia penulis puisi!”
“penyair?!”
seketika tubuhnya meleleh
serupa lilin tapi bukan
serupa gumpalan darah tapi bukan
lelehan tubuhnya adalah huruf-huruf
o, huruf-huruf,
perlahan berubah kata-kata
o, kata-kata menjelma puisi surealis!
ratusan singa lapar terkesima
sujud dan hormat
“jangan terjunkan ke jurang!”
Jaspinka, 2021
IA PUKUL DINDING
WAKTU
“cahaya, cahaya, cahaya!”
dada ini bergetar
pergulatan tak henti-henti
ia pukul dinding waktu
jam berdentang tiga kali
malam larut
bulan sabit terayun di senyap langit
ia meremukkan rindu tetes embun
pada segala kisah daun-daun
yang menguning rontok
melayang
jatuh di rapuh usia
“cahaya, cahaya, cahaya!”
jiwa ini berguncang
ia pukul dinding waktu
dengan segala ngilu!
Jaspinka, 2021
DOA SEDERHANA
di jalan lurus-Mu
tak henti-hentinya
aku lafalkan doa
sederhana
: “jadikan, jadikan kata-kataku
lilin yang tak
kunjung padam!”
dada ini bergetar.
Jaspinka, 2021
Tentang Penulis
Eddy Pranata PNP adalah Ketua Jaspinka (Jaringan Satra Pinggir
Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Juara 3 Lomba Cipta Pusi FB Hari
Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi
tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI
bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi
(1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku
Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang
(2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019).
Puisinya juga terhimpun ke dalam antologi: Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi
Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Bersepeda ke Bulan (2014),
Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016),
Negeri Awan (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Mengunyah Geram (2017),
Negeri Bahari (2018), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), Kota Kata Kita (2019),
Segara Sakti Rantau Bertuah – Jazirah 2 (2019), Negeri Pesisiran (2019),
Reruntuhan di Bukit Kapur (2019), Mata Air Hujan di Bulan Purnama (2020),
Rantau (2020), Angin Ombak dan Gemuruh Rindu – Jazirah 5 (2020), Semesta Jiwa
(2020), Banjarbaru Rayn (2020), Lurus Jalan ke Payakumbuh (2020), Hujan Pertama
di Bulan Purnama (2021), Kartini Menurut Saya (2021), Sebuah Usaha Memeluk
Kedamaian (2021), Khatulistiwa (2021).