Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi Galuh Kresno

Admin by Admin
21 Agustus 2021
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter


 Potongan
Dialog Sebelum Sunyi Kembali

 

1

“Bu,
apakah semua orang

bakal
mengenakan gamis di surga?

Atau,

Busana
ngetrend era kita?”

 

“lalu,
benarkah darah yang mengaliri pembuluh

adalah
anggur tumpah di meja makan Tuhan?”

 

“dan,

mengapa
rahim yang melahirkan Adam,

menyukmakan
Hawa ke sebatang rangka

tak
gamblang dikisahkan para pendeta?”

 

di
bumi ini kita sedang memintal benang

untuk
menjahit sebuah busana penutup bening jiwa

takkan
pernah kita lepas,

seperti
kulit melekat di daging,

meski
keriput

kulit
hilang ketika tulang lebur,

daging
hilang ikatan bersama waktu

yang
habis kau kunyah.

Yang
tumpah di meja makan Tuhan

adalah
air mata malaikat semerah darah

semanis
anggur,

menangisi
kepergian leluhur

mengiringi
Adam dan Hawa

membabat
belantara bumi,

membuat
gubuk

tempat
merenungi belantara batin.

Kemudian,

iblis
mengantongi percikan kesedihan mereka

butir-butir
permata tanigs

dibagikan
ke tiap bayi dilahirkan

rahim
yang tak dikisahkan para pendeta,

karena
membuahkan hasrat,

namun
rengek tangis bayi

tetap
dianggap daya kesucian,

sebab
membawa air mata malaikat.

Bayi-bayi
itu

membuka
seikat kantong rasa

ketika
mereka seusiamu,

mempertanyakan
jawaban-jawaban

yang
gagal kau ungkap hakikat.

 

“Jika
begitu, bolehkah aku bertelanjang saja?

agar
menjadi manusia paling jujur,

luka
mengungkap luka,

duka
takkan kusembunyikan dalam tawa.

Karena
kejujuran, ibu.

Aku
bimbang dengan kewarasan

yang
diagungkan orang-orang saleh.”

 

Jika
kau ingin meresam sahih,

bertelanjang
akan menjebakmu—

tergelincir
ke muslihat cahaya

mengaburkan
gatra

meleburkan
warta,

ayat-ayat
sayup-sayup

di
telingamu mengundang setan

meniup
mantra pertikaian

serupa
yang terjadi pada orang saleh. 

 

Ketika
kau bertanya seperti ini,

seolah
sedang memetik kewarasan

di
ranting pikiran

tumbuh
di tempurung akalmu,

padahal
kita

sedang
mengalami suasana paling gila

serupa
kala Adam mengunyah khuldi.

 

2

Kami
dilahirkan pertikaian

ditangisi
pemuja doa di pintu surga,

menjelma
pengutuk dosa,

Iblis
disalahkan

sebab
disangka menghasut Hawa.

Badut
terkutuk ditimang pangku asmara,

dikecup
bibir murka,

di
antara bayi yang lahir

Iblis
menyelinapkan amebanya

mendampingi
jiwa di batin,

ia
merasuki kelamin.

Kambing
hitam itu melarikan diri

setelah
kutukan dikultuskan padanya,

menjadi
peternak!

menggembalakan
penunggang hasrat

tinggal
di gedung-gedung batu batin.

Tak
lain dan bukan main

tubuh
yang didebatnya bersama malaikat

adalah
domba yang digembalakan,

kecuali
yang punya nyali

mempertemukan
diri dengan si badut,

mengenalnya
dan mendengar cerita dari si badut;

yang
dikutuk menjadi kambing hitam adalah yang bertanya.

 

“Firdaus
sahabatku,

apakah
kau menyetujui pendeta itu?”

 

Dikampungku

pendeta
macam itu

sudah
berkalang kenangan,

kehilangan
pita suara

agar
tak bicara,

sebab
orang kampungku yakin,

mereka
merusak angan 

menistakan
pikiran suci

yang
menyinggul sari pati khuldi

di
kening kemenangan harapan mereka.

Tapi
tak masalah bagiku,

Tuhan

tidak
akan kehilang tanah lempung

untuk
menjatuhkan cahaya

ke
tanah bumi.

 

“kau
sudah seperti pendeta itu saja.

Lalu
pendeta macam apa

ahli
pintu surga di kampungmu?

Sehingga
kau pilih kabur

dari
kampung halaman rahim

kelahiranmu.”

 

Mereka,

membawa
tongkat musim,

ketika
orang kampungku

merayakan
upacara suci

mereka
datang memanggil hantu-hantu musim;

musim
pertikaian,

musim
kematian,

musim
malapetaka.

Aku
bukannya takut hantu,

aku
hanya sangsi

menyaksikan
mereka merebut musim

dari
tangan pemiliknya.

 

“seperti
kau tahu siapa pemilik musim?”

 

Kau
berkata begitu

karena
penasaran bukan?

Coba
saja kau jawab pertanyaanku; siapa pemilik nafasmu?

 

“apa
hubungannya dengan nafasku, Fir?”

 

Sebab
kita,

pendeta
itu,

pendeta
di kampungku,

orang-orang
dikampungku

dan
anasir yang melahap zat pembakar

akan
mati tanpa bernafas.

 

“apakah
iblis bernafas, Fir?”

 

Ya,
sepanjang nafas kita.

 

 

Dayeuhluhur,
Agustus 2020



 

 

Paribasan Hikayat Semar

 

1’Ingsun

Tangan
meramu hangat jejamuan,

nyaris
sehangat tubuhmu

melingkar
di sekujur raga;

persemayaman
sepotong nafas,

 

kala
mata langit menggeliat,

membangunkan
tidur embun, 

menyelinap
sejuk yang mengintip jagad

memangku
reruntuhan kabut peradaban.

 

Kau
merebah wajah di kabut kehilangan pandangan—

aku
menyusuri langkahmu di antara jejatuhan putih yang pekat,

mengikuti
gelak tawa dari rekahan bibir,

merabai
basah tetes tangis dari lebam kelopak kesedihan.

 

Kutemui
sepotong tubuh,

hitam
berselimut kabut,

kutemui
rupamu dalam pekatnya.

 

Aku ada di tanah

bersatu dengan tubuh angin

menunduklah ibaratkan bambu

ditiup hembusan menuju barat

baru kan kau temui aku

 

2’Serat
Kanda

Tiada
api yang kau sulut di antara bara ,

kala
rupa membawa tulah tentang arang.

Pertumpahan
darah pertumpahan sia-sia,

justru
kau pilih tumpahkan pengasih

merajutnya
melalui nafas yang lindap.

 

Mengingatkan
kisah sudamala,

mengguratan
perkakas pahat di prasasti

yang
selalu bisu.

Tiada
bertemu penghabisan,

waktu
mengajakmu menjelma semesta—

jagad
alit, jagad agung.

 

3’Pramayoga

Merasa
terjebakkah jiwa

yang
dijelmakan wujud keruh?

Menjebakmu
dalam sebuah jasad,

yang
enggan memberi rupa.

 

Kau
dilahirkan keagungan

persilang
langit-tanah,

memperselisihkan
amsal rupa,

ihwal
tahta yang gagal menggenggam

kewenangan,

kemenangan.

 

Kesadaranmu
lebih mengetahui,

bahwa
ketiadaan memberimu cinta mistik,

 

Suyanruri
tempatmu memecah tubuh,

dari
setetes darah wungkuhan,

kau
jelmakan sebuah nama.

 

4’Purwakanda

Tiga
pasang tangan,

mengikat
siasat

perebutan
nama,

menanam
benih yang cemarkan batin,

sebab
lupa menambahkan pupuk,

hasilkan
buah senista hama.

 

Kau
jatuh dari pohon,

yang
ihwal untuk dipanjat,

sebab
tubuhmu persik yang bulat,

sedangkan
helaian tangkai—

Kau
jadikan awan

tempat
menyimpan angan,

teduhkan
hawa marcapada;

rimba
para penikmat persik.

Hutang pati dibayar pati!

Hutang wirang dibayar wirang!

 

5’Purwacarita

Rekatatama
mengantarkanmu berjumpa jagad,

melalui
jasad telur kekesalan,

yang
dihantamkan tangan Tunggal,

ke
tanah manumanasa,

menjelmalah
tiga rangka.

 

Gunung
bersemayam di lambungmu,

membesarkan
ruh membayarkan hutang,

kau
mengasuh getih Manumanasa.

 

 

Tegal,
2018



 

 

Kepada
Afrodit

 

Seekor
merpati memetik kembang sari

melati
mekar di taman seorang nabi

antara
lelayu kelopak Anemone;

bertahta di ceruk matamu,

akarnya
merambat sekujur kejelitaan

tampak sekujur labirin retina

fatamorgana
dunia dan nirwana

kala
kuselundupkan selapis retina

ke
dinding lembah tempatmu menyepikan bumi.

 

Sejauh
manapun meliarkan pandangan

dan menelisik riak asmara,

aku
tetap gagal mencapai ujung lautan

ujung gelepar ombak berwarna api

yang
menyembunyikan lanskap surgawi.

 

Akulah nahkoda yang hilang

diselingkung badai garang

terhempaske
puncak purbakala

ketika bumi mengeja wahyu

dengan isyarat jangkung gunung

dalam
segara, kucari cara menggenggam lagi

setangkai
melati di sayap merpati.

 

Kuresapi
aroma melati

bersimpuh

menyumpahiindera

menyipuh kaji ayat
bumi.

“jika
kau sukar kurengkuh,

aku
yakin kau tetap suci

terhindar
nista yang kurenangi di telaga nis.”

 

 

Dayeuhluhur, 2020



 

 

Solilokui Fragmen Kudus

 

Sekam
membara di tungku rasa

sekujur
perut, noda dibalut usus,

 

Tulang-tulang
tualang terkulai

menyentuh
lantai-lantai dasar,

 

dasar sebuah
palung, tak tercapai.

Pangkal
benang-benang merah;

tali kekang pangkal
tangan

tali pasung
di bawah dengkul

sebelum
parade metamorfosa,

 

Siapa bisa
kendali bentuk api?

 

Sekam
terpendam menyala nyatakan api

di dapur
sekujur perut

menghadapi
kursi takdir

tiba tiap
pagi

dipikul
pundak jibril,

“Segera
mandi

dan buang mimpi
buruk semalam!”

 

sunyi
mengasingkan keramaian

dari
kehidupan kota ke kedipan mata

lalu sayap
kupu-kupu membelah daging

seperti
punggung ulat, ulat terbang

bertubuh
baru, musabab

kumasak bumi
angan.

 

Setelah
terbang melintang ke barat

benang-benang
merah dipintal,

kian panjang,
kian ragam helaian.

 

 

April 2021



 

Fragmen Kelana

 

Sampai
kemarin, peristiwa-peristiwa

menyatukan
perca-perca

membusanai
ingatan

kain-kain
batik nenek moyang koyak

di atas
ombak disibak Pieter en Karel

hanyut lebur
terumbu

karang
aji-aji para ­mpu karam.

di palung
pulau silsilah punah.

 

Oh betapa
malang kehidupan!

Mengombang-ambingkan
kapal berlayar,

yang tersisa
dari jarahan

selembar
lukisan raja

terkubur
sedalam candi-candi leluhur

meski hutan
di babat, kota menyat.

 

Ke barat!

Aku akan mencari kompor matahari

membakar habis rumput di hutan pulau paling timur.

Bangkai-bangkai tinggal tulang

tergeletak dihadapan rumah-rumah masa kecil,

di lapang bermain

di batin nenek moyang, anak semata wayang

lupa kandang pulang

tertukar pualam kasih sayang

memuja bugang

hilang tandang

kalah tanding.

 

O… bumi
bergerak, angin berderak,

awan
berarakan lebih cepat

dari tangan
pelukis, kematian berlingsatan

potongan
siluet wajah sebagai topeng-topeng

tergantung
di dinding istana.

Jika dengan sapu kepala bisa pecah,

mengapa aku harus memanggul pedang yang begitu asing
di telapak tangan?

Seperti kuas, warna kepalaku ditangkap kanvas!

 

O.. bumi,
kemanakah suara-suara dari roh itu kini?

hutan sepi
memberi kesempatan bagi gulma

tumbuh di
sela tumpukan tulang nenek moyang.

Betapapun hujan begitu lebat telah turun

dari badan mendung yang baru muncul,

kabut telah membawanya lenyap

bumi malah asing!

 

Dayeuhluhur, Juli 2021



 

 

Menjala Bumi

 

Setelah
badai berpusar seluar kapal

sebadan
samudera, nelayan siuman

mengambil
kesadaran sebelumnya bersembunyi.

Ia
merasa sebagai Nuh dan kapallegenda,

namun
lambung kapal sekosong lambungnya

ia
pulang ke pulau kehidupan.

Pada
jarak yang biasa ia tempuh,

tiada
dermaga, tiada pulau tampak

terlihat
hanya gontai ombak,

namun
suara-suara kehidupan dikampungnya

masih
terdengar sayup.

Oh,
kampung halaman terendam ombak,

anak
semata wayang,

istri
tersayang,

kawan
yang selalu malang,

musuh
yang garang

dan
sebadan kampung seluruh pulau

berada
di bawah ombak,

Aku benar-benar telah menjadi Nuh!

Tidak, apakah ini atlantis?

Bukan, Neptunus sebagai kancil suka
mencuri?

Sekali
tolakan lompatan

ia
tembusi badan ombak yang gagah,

dan
segera memegang bahu kapal

menghirup
nafas sedalam paru-paru.

Suara
kehidupan berderu, rindu kepada kampung kehidupan.

Inikah kematian?

Langit
mulai terbelah mengantarkan sebuah wajah dilingkar bianglala,

Aku Jibril,

Nelayan
melemparkan kegelisahan selebar jala,

Byur!
jala tercebur

ikan-ikan
ditangkapi,

 dan ia lihat lagi kampung kehidupan dalam
ombak,

sayup
terdengar Seribu penduduk telah mati!

 

Jibril! Kau menyuruhku menjadi
Izrail?

Lalu siapa bakal mencabut nyawaku?

 

Nelayan
di bilik kemudi,

memutar
kompas menjatuhkan jangkar,

sekali
lagi ia ceburkan badan

menuju
deras ombak yang masih garang,

menghadap
langit yang cahayanya menembusi laut.

Suatu
pagi si nelayan menangkap kesadaran, berlari girang

Ini rumah kesayanganku, pulang! Ya
aku pulang!

Di
beranda, sebuah jangkar tertancap di pagar,

rantai
tambatan tersambung ke langit,

tiada
kapal, tiada ombak,

namun
awan itu tetap sama seperti usai badai.

Di
beranda, yang terdengar hanya nada-nada sunyi,

kampung
mati, tiada orang barang sebatang hidungnya.

Nelayan
merasakan tubuh sebagai Adam,

Yang manakah surga yang kurindukan,

Seamuk
badai, ia panjati tambatan jangkar ke arah langit.

Aku bakal pulang lagi.

 

Dayeuhluhur, Juli 2021



 

 

Aletaku

 

Berdiri
di luar batas kota,

melesatkan
kerinduan seperti anak panah ke seberang jurang.

namun
yang tampak kelepak sayap merpati berbulu perak

melayang
ke hadapan jendela-jendela angkuh penghuni kehidupan

 

Aletaku
dari atap kerajaan ini

terlihat
atap-atap rumah semakin tinggi meninggikan diri,

dan
para penghuni tidur sebengkung kucing

di
ranjang lantai paling atas.

 

Semenjak
kepergian telapak penyemai munajat

rimba
yang purba membangunkan hantu-hantu

dari
tanahnya, menakuti kepala terlelap

dalam
ketaksadarannya.

 

Jalan
menyibak dinding gedung hingga ke kerajaan

jalan
pulang buatku menjumpaimu

dengan
tangan selebar pelukan

seluas
pandangan segala kurengkuh.

 

Namun
bukan kau!

 

 

Dayeuhluhur, Juli 2021



 

 

Untuk Suara Perempuan

 

Wahai
perempuan yang bulu matanya

menyelimuti
pelangi, dari surgakah kau

mewarisi
segala warna itu? Ketika aku

menyelundupkan
mataku ke matamu, aku

sebagai
layang-layang yang kabur

ke
tingginya mega.

 

Wahai
perempuan yang dalam batinmu

lima
puluh ribu bahasa

tak
dapat

membuat
lelaki mengerti, sepertiku.

Mengapa
pikiran begitu batu

Mematung
sangka, membayangkan

wajahmu
sebagai lanskap bumi

dari
puncak pendakian. Kerinduan

melekat
sebagai hitam dalam

secangkir
robusta tegukan terakhir.

 

Wahai
perempuan yang suaranya

bergema
di dinding tympani setiap anasir,

ketika
kau berjalan

ke
tengah rundukan padi,

tikus-tikus
melupakan lapar bernjingkrak

mengikutimu,
ribuan pipit

melupakan
sayapnya untuk berjalan

menghadap
punggungmu

sebagai
lembah—dalamnya tersembunyi

ragam
kabut.

 

Begitu
musykil satu laki-laki mampu

menerjemahkan
lima puluh bahasa batinmu.

Ketika
dikatakan yang terjadi

adalah
perkelahian dan perebutan.

 

 

Dayeuhluhur, Juli 2021



 

Raflesia

 

Parasit
yang terasing

menempa
samadi di rimbun dahan,

menempuh
babak sakratul

tersisihkan
manja dahan;

inang
berdaun nestapa.

 

Raflesia
melekat

sejak
serat menganyam corak,

sejak
kayu menjelma batang

melepaskan
dahaga.

Helai
mimpi paling pucuk

di
puncak lelap tualang

menapaki
jejak leluhur

di
tanah bumi— 

rapuh
hutan semakin berhala

menadah
daun-daun doa yang gugur;

lelayu
daun harapan.

 

Mahkota
mekar disangka nista,

lantaran
aroma bangkai

adalah
petaka untuk hutan,

hutan

petaka
untuk kota,

kota

petaka
untuk surga.

 

(di
surga tiada berhala mewujud)

 

“hamba
dan pendeta

mengais
pahala,

menyaring
petaka

di
akar-akar inang.”

 

 “bumiku semestaku,

aku untuk bumi,

bumi untukku

maka bumi adalah
aku!”

 

Musim
luruh menyirap inang

takluk
sulur rambat berhala

di
ceruk maya peradaban.

 

 

Purwokerto,
1 Agustus 2020





 

Tentang Penulis


Galuh Kresno, lahir di Cilacap, 23 September 1997. Anggota Komunitas Penyair
Institute (KPI), Serayu Institute Purwokerto, Kalatidha Institute.
Dia menyelesaikan studinya di program studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Saat ini
dia mengabdi
di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Dayeuhluhur. Beberapa karyanya berupa
puisi dan esai pernah dimuat di Radar
Banyumas, Harian Rakyat Sultra, Magelang Ekspres, Minggu Pagi, Harian Fajar
Makassar, Suara Merdeka, Biem.co, jejakimaji.com,
indonesianmikrofon.blogspot.com dan Sahabat Keluarga
.
Dia berpartisipasi dalam antologi puisi Kelahiran Kedua, Arun, Kepada Toean Dekker,
dan lain-lain. No. HP 082135691352.

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In