Potongan
Dialog Sebelum Sunyi Kembali
1
“Bu,
apakah semua orang
bakal
mengenakan gamis di surga?
Atau,
Busana
ngetrend era kita?”
“lalu,
benarkah darah yang mengaliri pembuluh
adalah
anggur tumpah di meja makan Tuhan?”
“dan,
mengapa
rahim yang melahirkan Adam,
menyukmakan
Hawa ke sebatang rangka
tak
gamblang dikisahkan para pendeta?”
di
bumi ini kita sedang memintal benang
untuk
menjahit sebuah busana penutup bening jiwa
takkan
pernah kita lepas,
seperti
kulit melekat di daging,
meski
keriput
kulit
hilang ketika tulang lebur,
daging
hilang ikatan bersama waktu
yang
habis kau kunyah.
Yang
tumpah di meja makan Tuhan
adalah
air mata malaikat semerah darah
semanis
anggur,
menangisi
kepergian leluhur
mengiringi
Adam dan Hawa
membabat
belantara bumi,
membuat
gubuk
tempat
merenungi belantara batin.
Kemudian,
iblis
mengantongi percikan kesedihan mereka
butir-butir
permata tanigs
dibagikan
ke tiap bayi dilahirkan
rahim
yang tak dikisahkan para pendeta,
karena
membuahkan hasrat,
namun
rengek tangis bayi
tetap
dianggap daya kesucian,
sebab
membawa air mata malaikat.
Bayi-bayi
itu
membuka
seikat kantong rasa
ketika
mereka seusiamu,
mempertanyakan
jawaban-jawaban
yang
gagal kau ungkap hakikat.
“Jika
begitu, bolehkah aku bertelanjang saja?
agar
menjadi manusia paling jujur,
luka
mengungkap luka,
duka
takkan kusembunyikan dalam tawa.
Karena
kejujuran, ibu.
Aku
bimbang dengan kewarasan
yang
diagungkan orang-orang saleh.”
Jika
kau ingin meresam sahih,
bertelanjang
akan menjebakmu—
tergelincir
ke muslihat cahaya
mengaburkan
gatra
meleburkan
warta,
ayat-ayat
sayup-sayup
di
telingamu mengundang setan
meniup
mantra pertikaian
serupa
yang terjadi pada orang saleh.
Ketika
kau bertanya seperti ini,
seolah
sedang memetik kewarasan
di
ranting pikiran
tumbuh
di tempurung akalmu,
padahal
kita
sedang
mengalami suasana paling gila
serupa
kala Adam mengunyah khuldi.
2
Kami
dilahirkan pertikaian
ditangisi
pemuja doa di pintu surga,
menjelma
pengutuk dosa,
Iblis
disalahkan
sebab
disangka menghasut Hawa.
Badut
terkutuk ditimang pangku asmara,
dikecup
bibir murka,
di
antara bayi yang lahir
Iblis
menyelinapkan amebanya
mendampingi
jiwa di batin,
ia
merasuki kelamin.
Kambing
hitam itu melarikan diri
setelah
kutukan dikultuskan padanya,
menjadi
peternak!
menggembalakan
penunggang hasrat
tinggal
di gedung-gedung batu batin.
Tak
lain dan bukan main
tubuh
yang didebatnya bersama malaikat
adalah
domba yang digembalakan,
kecuali
yang punya nyali
mempertemukan
diri dengan si badut,
mengenalnya
dan mendengar cerita dari si badut;
yang
dikutuk menjadi kambing hitam adalah yang bertanya.
“Firdaus
sahabatku,
apakah
kau menyetujui pendeta itu?”
Dikampungku
pendeta
macam itu
sudah
berkalang kenangan,
kehilangan
pita suara
agar
tak bicara,
sebab
orang kampungku yakin,
mereka
merusak angan
menistakan
pikiran suci
yang
menyinggul sari pati khuldi
di
kening kemenangan harapan mereka.
Tapi
tak masalah bagiku,
Tuhan
tidak
akan kehilang tanah lempung
untuk
menjatuhkan cahaya
ke
tanah bumi.
“kau
sudah seperti pendeta itu saja.
Lalu
pendeta macam apa
ahli
pintu surga di kampungmu?
Sehingga
kau pilih kabur
dari
kampung halaman rahim
kelahiranmu.”
Mereka,
membawa
tongkat musim,
ketika
orang kampungku
merayakan
upacara suci
mereka
datang memanggil hantu-hantu musim;
musim
pertikaian,
musim
kematian,
musim
malapetaka.
Aku
bukannya takut hantu,
aku
hanya sangsi
menyaksikan
mereka merebut musim
dari
tangan pemiliknya.
“seperti
kau tahu siapa pemilik musim?”
Kau
berkata begitu
karena
penasaran bukan?
Coba
saja kau jawab pertanyaanku; siapa pemilik nafasmu?
“apa
hubungannya dengan nafasku, Fir?”
Sebab
kita,
pendeta
itu,
pendeta
di kampungku,
orang-orang
dikampungku
dan
anasir yang melahap zat pembakar
akan
mati tanpa bernafas.
“apakah
iblis bernafas, Fir?”
Ya,
sepanjang nafas kita.
Dayeuhluhur,
Agustus 2020
Paribasan Hikayat Semar
1’Ingsun
Tangan
meramu hangat jejamuan,
nyaris
sehangat tubuhmu
melingkar
di sekujur raga;
persemayaman
sepotong nafas,
kala
mata langit menggeliat,
membangunkan
tidur embun,
menyelinap
sejuk yang mengintip jagad
memangku
reruntuhan kabut peradaban.
Kau
merebah wajah di kabut kehilangan pandangan—
aku
menyusuri langkahmu di antara jejatuhan putih yang pekat,
mengikuti
gelak tawa dari rekahan bibir,
merabai
basah tetes tangis dari lebam kelopak kesedihan.
Kutemui
sepotong tubuh,
hitam
berselimut kabut,
kutemui
rupamu dalam pekatnya.
Aku ada di tanah
bersatu dengan tubuh angin
menunduklah ibaratkan bambu
ditiup hembusan menuju barat
baru kan kau temui aku
2’Serat
Kanda
Tiada
api yang kau sulut di antara bara ,
kala
rupa membawa tulah tentang arang.
Pertumpahan
darah pertumpahan sia-sia,
justru
kau pilih tumpahkan pengasih
merajutnya
melalui nafas yang lindap.
Mengingatkan
kisah sudamala,
mengguratan
perkakas pahat di prasasti
yang
selalu bisu.
Tiada
bertemu penghabisan,
waktu
mengajakmu menjelma semesta—
jagad
alit, jagad agung.
3’Pramayoga
Merasa
terjebakkah jiwa
yang
dijelmakan wujud keruh?
Menjebakmu
dalam sebuah jasad,
yang
enggan memberi rupa.
Kau
dilahirkan keagungan
persilang
langit-tanah,
memperselisihkan
amsal rupa,
ihwal
tahta yang gagal menggenggam
kewenangan,
kemenangan.
Kesadaranmu
lebih mengetahui,
bahwa
ketiadaan memberimu cinta mistik,
Suyanruri
tempatmu memecah tubuh,
dari
setetes darah wungkuhan,
kau
jelmakan sebuah nama.
4’Purwakanda
Tiga
pasang tangan,
mengikat
siasat
perebutan
nama,
menanam
benih yang cemarkan batin,
sebab
lupa menambahkan pupuk,
hasilkan
buah senista hama.
Kau
jatuh dari pohon,
yang
ihwal untuk dipanjat,
sebab
tubuhmu persik yang bulat,
sedangkan
helaian tangkai—
Kau
jadikan awan
tempat
menyimpan angan,
teduhkan
hawa marcapada;
rimba
para penikmat persik.
Hutang pati dibayar pati!
Hutang wirang dibayar wirang!
5’Purwacarita
Rekatatama
mengantarkanmu berjumpa jagad,
melalui
jasad telur kekesalan,
yang
dihantamkan tangan Tunggal,
ke
tanah manumanasa,
menjelmalah
tiga rangka.
Gunung
bersemayam di lambungmu,
membesarkan
ruh membayarkan hutang,
kau
mengasuh getih Manumanasa.
Tegal,
2018
Kepada
Afrodit
Seekor
merpati memetik kembang sari
melati
mekar di taman seorang nabi
antara
lelayu kelopak Anemone;
bertahta di ceruk matamu,
akarnya
merambat sekujur kejelitaan
tampak sekujur labirin retina
fatamorgana
dunia dan nirwana
kala
kuselundupkan selapis retina
ke
dinding lembah tempatmu menyepikan bumi.
Sejauh
manapun meliarkan pandangan
dan menelisik riak asmara,
aku
tetap gagal mencapai ujung lautan
ujung gelepar ombak berwarna api
yang
menyembunyikan lanskap surgawi.
Akulah nahkoda yang hilang
diselingkung badai garang
terhempaske
puncak purbakala
ketika bumi mengeja wahyu
dengan isyarat jangkung gunung
dalam
segara, kucari cara menggenggam lagi
setangkai
melati di sayap merpati.
Kuresapi
aroma melati
bersimpuh
menyumpahiindera
menyipuh kaji ayat
bumi.
“jika
kau sukar kurengkuh,
aku
yakin kau tetap suci
terhindar
nista yang kurenangi di telaga nis.”
Dayeuhluhur, 2020
Solilokui Fragmen Kudus
Sekam
membara di tungku rasa
sekujur
perut, noda dibalut usus,
Tulang-tulang
tualang terkulai
menyentuh
lantai-lantai dasar,
dasar sebuah
palung, tak tercapai.
Pangkal
benang-benang merah;
tali kekang pangkal
tangan
tali pasung
di bawah dengkul
sebelum
parade metamorfosa,
Siapa bisa
kendali bentuk api?
Sekam
terpendam menyala nyatakan api
di dapur
sekujur perut
menghadapi
kursi takdir
tiba tiap
pagi
dipikul
pundak jibril,
“Segera
mandi
dan buang mimpi
buruk semalam!”
sunyi
mengasingkan keramaian
dari
kehidupan kota ke kedipan mata
lalu sayap
kupu-kupu membelah daging
seperti
punggung ulat, ulat terbang
bertubuh
baru, musabab
kumasak bumi
angan.
Setelah
terbang melintang ke barat
benang-benang
merah dipintal,
kian panjang,
kian ragam helaian.
April 2021
Fragmen Kelana
Sampai
kemarin, peristiwa-peristiwa
menyatukan
perca-perca
membusanai
ingatan
kain-kain
batik nenek moyang koyak
di atas
ombak disibak Pieter en Karel
hanyut lebur
terumbu
karang
aji-aji para mpu karam.
di palung
pulau silsilah punah.
Oh betapa
malang kehidupan!
Mengombang-ambingkan
kapal berlayar,
yang tersisa
dari jarahan
selembar
lukisan raja
terkubur
sedalam candi-candi leluhur
meski hutan
di babat, kota menyat.
Ke barat!
Aku akan mencari kompor matahari
membakar habis rumput di hutan pulau paling timur.
Bangkai-bangkai tinggal tulang
tergeletak dihadapan rumah-rumah masa kecil,
di lapang bermain
di batin nenek moyang, anak semata wayang
lupa kandang pulang
tertukar pualam kasih sayang
memuja bugang
hilang tandang
kalah tanding.
O… bumi
bergerak, angin berderak,
awan
berarakan lebih cepat
dari tangan
pelukis, kematian berlingsatan
potongan
siluet wajah sebagai topeng-topeng
tergantung
di dinding istana.
Jika dengan sapu kepala bisa pecah,
mengapa aku harus memanggul pedang yang begitu asing
di telapak tangan?
Seperti kuas, warna kepalaku ditangkap kanvas!
O.. bumi,
kemanakah suara-suara dari roh itu kini?
hutan sepi
memberi kesempatan bagi gulma
tumbuh di
sela tumpukan tulang nenek moyang.
Betapapun hujan begitu lebat telah turun
dari badan mendung yang baru muncul,
kabut telah membawanya lenyap
bumi malah asing!
Dayeuhluhur, Juli 2021
Menjala Bumi
Setelah
badai berpusar seluar kapal
sebadan
samudera, nelayan siuman
mengambil
kesadaran sebelumnya bersembunyi.
Ia
merasa sebagai Nuh dan kapallegenda,
namun
lambung kapal sekosong lambungnya
ia
pulang ke pulau kehidupan.
Pada
jarak yang biasa ia tempuh,
tiada
dermaga, tiada pulau tampak
terlihat
hanya gontai ombak,
namun
suara-suara kehidupan dikampungnya
masih
terdengar sayup.
Oh,
kampung halaman terendam ombak,
anak
semata wayang,
istri
tersayang,
kawan
yang selalu malang,
musuh
yang garang
dan
sebadan kampung seluruh pulau
berada
di bawah ombak,
Aku benar-benar telah menjadi Nuh!
Tidak, apakah ini atlantis?
Bukan, Neptunus sebagai kancil suka
mencuri?
Sekali
tolakan lompatan
ia
tembusi badan ombak yang gagah,
dan
segera memegang bahu kapal
menghirup
nafas sedalam paru-paru.
Suara
kehidupan berderu, rindu kepada kampung kehidupan.
Inikah kematian?
Langit
mulai terbelah mengantarkan sebuah wajah dilingkar bianglala,
Aku Jibril,
Nelayan
melemparkan kegelisahan selebar jala,
Byur!
jala tercebur
ikan-ikan
ditangkapi,
dan ia lihat lagi kampung kehidupan dalam
ombak,
sayup
terdengar Seribu penduduk telah mati!
Jibril! Kau menyuruhku menjadi
Izrail?
Lalu siapa bakal mencabut nyawaku?
Nelayan
di bilik kemudi,
memutar
kompas menjatuhkan jangkar,
sekali
lagi ia ceburkan badan
menuju
deras ombak yang masih garang,
menghadap
langit yang cahayanya menembusi laut.
Suatu
pagi si nelayan menangkap kesadaran, berlari girang
Ini rumah kesayanganku, pulang! Ya
aku pulang!
Di
beranda, sebuah jangkar tertancap di pagar,
rantai
tambatan tersambung ke langit,
tiada
kapal, tiada ombak,
namun
awan itu tetap sama seperti usai badai.
Di
beranda, yang terdengar hanya nada-nada sunyi,
kampung
mati, tiada orang barang sebatang hidungnya.
Nelayan
merasakan tubuh sebagai Adam,
Yang manakah surga yang kurindukan,
Seamuk
badai, ia panjati tambatan jangkar ke arah langit.
Aku bakal pulang lagi.
Dayeuhluhur, Juli 2021
Aletaku
Berdiri
di luar batas kota,
melesatkan
kerinduan seperti anak panah ke seberang jurang.
namun
yang tampak kelepak sayap merpati berbulu perak
melayang
ke hadapan jendela-jendela angkuh penghuni kehidupan
Aletaku
dari atap kerajaan ini
terlihat
atap-atap rumah semakin tinggi meninggikan diri,
dan
para penghuni tidur sebengkung kucing
di
ranjang lantai paling atas.
Semenjak
kepergian telapak penyemai munajat
rimba
yang purba membangunkan hantu-hantu
dari
tanahnya, menakuti kepala terlelap
dalam
ketaksadarannya.
Jalan
menyibak dinding gedung hingga ke kerajaan
jalan
pulang buatku menjumpaimu
dengan
tangan selebar pelukan
seluas
pandangan segala kurengkuh.
Namun
bukan kau!
Dayeuhluhur, Juli 2021
Untuk Suara Perempuan
Wahai
perempuan yang bulu matanya
menyelimuti
pelangi, dari surgakah kau
mewarisi
segala warna itu? Ketika aku
menyelundupkan
mataku ke matamu, aku
sebagai
layang-layang yang kabur
ke
tingginya mega.
Wahai
perempuan yang dalam batinmu
lima
puluh ribu bahasa
tak
dapat
membuat
lelaki mengerti, sepertiku.
Mengapa
pikiran begitu batu
Mematung
sangka, membayangkan
wajahmu
sebagai lanskap bumi
dari
puncak pendakian. Kerinduan
melekat
sebagai hitam dalam
secangkir
robusta tegukan terakhir.
Wahai
perempuan yang suaranya
bergema
di dinding tympani setiap anasir,
ketika
kau berjalan
ke
tengah rundukan padi,
tikus-tikus
melupakan lapar bernjingkrak
mengikutimu,
ribuan pipit
melupakan
sayapnya untuk berjalan
menghadap
punggungmu
sebagai
lembah—dalamnya tersembunyi
ragam
kabut.
Begitu
musykil satu laki-laki mampu
menerjemahkan
lima puluh bahasa batinmu.
Ketika
dikatakan yang terjadi
adalah
perkelahian dan perebutan.
Dayeuhluhur, Juli 2021
Raflesia
Parasit
yang terasing
menempa
samadi di rimbun dahan,
menempuh
babak sakratul
tersisihkan
manja dahan;
inang
berdaun nestapa.
Raflesia
melekat
sejak
serat menganyam corak,
sejak
kayu menjelma batang
melepaskan
dahaga.
Helai
mimpi paling pucuk
di
puncak lelap tualang
menapaki
jejak leluhur
di
tanah bumi—
rapuh
hutan semakin berhala
menadah
daun-daun doa yang gugur;
lelayu
daun harapan.
Mahkota
mekar disangka nista,
lantaran
aroma bangkai
adalah
petaka untuk hutan,
hutan
petaka
untuk kota,
kota
petaka
untuk surga.
(di
surga tiada berhala mewujud)
“hamba
dan pendeta
mengais
pahala,
menyaring
petaka
di
akar-akar inang.”
“bumiku semestaku,
aku untuk bumi,
bumi untukku
maka bumi adalah
aku!”
Musim
luruh menyirap inang
takluk
sulur rambat berhala
di
ceruk maya peradaban.
Purwokerto,
1 Agustus 2020
Tentang Penulis
Galuh Kresno, lahir di Cilacap, 23 September 1997. Anggota Komunitas Penyair
Institute (KPI), Serayu Institute Purwokerto, Kalatidha Institute. Dia menyelesaikan studinya di program studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Saat ini dia mengabdi
di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Dayeuhluhur. Beberapa karyanya berupa
puisi dan esai pernah dimuat di Radar
Banyumas, Harian Rakyat Sultra, Magelang Ekspres, Minggu Pagi, Harian Fajar
Makassar, Suara Merdeka, Biem.co, jejakimaji.com,
indonesianmikrofon.blogspot.com dan Sahabat Keluarga. Dia berpartisipasi dalam antologi puisi Kelahiran Kedua, Arun, Kepada Toean Dekker,
dan lain-lain. No. HP 082135691352.