SAJADAH:
MALAM YANG CAHAYA
SAJADAH:
MALAM YANG CAHAYA
sajadah yang kau bentang malam
pertama itu, kini mulai mendekati
saf pertama pula. tapi, kau makin
menderas ke laut mahaluas-Nya
biarpun sendiri
walaupun berkayuh akar
makin menjauh, kian dekat
pada pelabuhan Cinta-Nya
biarpun seorang
walaupun tanpa kawan
menderas dalam pelayaran
malammalam yang Cahaya
sampai pada fajar. Fajar
yang berbinarbinar
pada sajadah di saf awal
kembali ke muasal
segala ditempatkan
di selembar sajadah
kau tetap mendedah
lautan segala gairah
4 Mei
2021/22 Ramadan 1442
HARI
KE 22 PADA ALMANAK ITU
hari ke 22 pada almanak itu
hampir melepas sayapsayap
kuanyam sejak mula; “apa
kabar malam 1000 bulan,
adakah yang menemuimu,”
sebersih pertanyaan datang
menggema lalu melekat
di lembar sajadah yang
selalu gairah menerima
wajahku — basah dan
lembab — oleh mataku
yang juga berair
berapa banyak khilafmu?
aku seberangi laut demi laut
kususiri ngaraingarai,
kunaik-turun
gunung demi gunung; kuhampar
hutanhutan di tubuhku. aku
masih tahan melangkah
aku belum pula lelah
di gerbang mana aku akan
berhenti?
di pintu akhir ramadan
kuketuk pintu ampunan
Tuhan, pantaskah
aku menengadah tangan
di depan-Mu, sedang
langkahku masih onak
duriduri mencucuki
tumbuh bagai bulubulu
di seluruh tubuhku
4 Mei
2021
SENANDUNG DANGDUT
ingin
kumasuki senandung
dangdut
itu, kekasih, tapi
aku
tansah tersisih. selalu
saja
terlempar ke luar
katakata;
kecuali di meja ini
dan
minuman — kopi tanpa
gula
— sayang, aku merasakan
manis
hidupku. manis senyum
dari
tanganmu yang menyeduh
dan
mengaduk kopi pekat
“cinta
yang melekat!” ujarku
kau
pun melepit kembali badik
di
tanganmu. ke balik sarung
di
pinggangmu. (di luar hujan,
di
sini kita bersenandung)
ayo,
kekasih; usir dingin
dan
sakit di tubuh ini
Ktb, 23 Juni 2021
PERGI DARI KOTA INI
aku
akan pergi juga dari kota
ini
tanpamu menemani jamjamku
yang
waswas. kota ini masih saja
menawarkan
aroma kopi, harum
gelisah
setiap persimpangan
dan
trotoar yang sunyi. saat malam,
hujan,
dan lengang
kota di mana dulu memberiku
sekuntum
bunga. kini telah tumbuh
sebagai
kuntum lain. di ruang tamu,
bilik
istirahat saat lelah
kutinggalkan
kota ini. petang nanti
mungkin,
kubawa kuntum bunga
dari
taman rumah. tanpa berpegangan
tangan,
tiada percakapan;
di
kotaku yang membesarkan aku
telah
menumbuh rindu yang lain
terus
hidup; antara mekar dan kuyup
kota
yang hidup di mataku
Ktb, 24 Juni 2021
LIPATAN
23 DARI SEBUAH KITAB
ini lipatan 23 dari sebuah kitab
aku pun masuk ke hurufhurufnya,
ke rahasia yang tetap
dirahasiakan
memburu yang penah dikisahkan
mendekap segara kangen disiapkan
*
selepas tugas ini, akan kuhubungi
aku hanya menunggu; lima belas
tahun minggat. dan aku masih
tegak di sini, membiarkan
matahari
datang lalu pergi. menanti
purnama
dari sabit menuju runcing lalu
pekat
langit
kau tak juga bawakan
oleole dari rindu yang telah
jadi kalung; selingkar cincin
cahaya,
mungkinkah karena senyummu,
adakah
itu dari hatimu yang selalu
berembun?
aku belum boleh pamit
menunggumu hingga tiba
meski aku amat tak mampu
jalan berkalikali ramai
berulang pula sepi
Mei
2021
NAMAKU SEPANJANG REL KERETA
masih
ada namaku sepanjang
rel
kereta: tanjungkarang-
rawasubur,
hanya
batubatu
di kakiku bernyanyi
seperti
mengulang masa laluku;
yang
tersangkut di antara rel
atau
menginjak tinja berserak
namaku
masih adakah di sana
ketika
kini 63 tahun berikut
daftar
jarah dan kejahatan lain
kau
mencium bau nisan?
ini
kebonjahe! di sini namaku
sudah
pula berkilaukilau
kau
bawa sapu, kembang
kenangan
BIOGRAFI INI KUTULIS
BUKAN UNTUKKU
biografi
ini kutulis bukan untukku
namun
bagimu yang sesudahku
tiada
yang akan membaca. sebuah
tulisan,
barangkali banyak tak
sesuai
dengan perjalananku
bukankah
aku menulis untukmu?
kau
boleh membaca setelah kelak
kubuka
tanpa bisa kukunci
ia
telanjang sebagai biografi
kau
masuk-keluar tanpa tersasar
aku
menulis bukan untuk kubaca
tapi
bagimu yang datang kemudian
atau
sebagai kawankawan
yang
mau semayam di dalam diriku
:
ingin mengenang masa lalu
biografi
yang menunggu…
Tentang
Penulis
Isbedy
Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan
sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan
esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di pelbagai media massa terbitan
Jakarta dan daerah, seperti Kompas,
Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media
Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.
Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa
Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk
25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan
sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020),
dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021).
Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota
Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi
Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu
Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi.
Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting,
Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke
Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), Aku
Betina Kau Perempuan (Basabasi, 2020), dan Malaikat Turun di Malam Ramadan (Siger Publisher, 2021).
Alamat Permata Asri I.7 No.17,
Karanganyar, Jatiagung, Lampung Selatan. Kontak person 082178522158 (HP/WA).