Gaun
Wanita Tua
Wanita itu mengenakan gaun dengan kain dasar warna kuning; seperti sebuah
dunia yang selalu senja dengan langit warna mentega; seperti perasaan romantis
yang memungkinkan sepasang kekasih memutuskan menikah; seperti suasana yang
cocok bagi seorang ayah untuk pulang kerja lalu disambut anaknya yang balita
dan istrinya yang masih muda, seperti lengkung lautan yang ditatap seorang tua
sambil memikirkan anaknya yang telah sukses sementara dirinya semakin terperosok
dalam kesepian.
Ini pesta rekan kerja Ayah dan aku diminta ikut menemani.
Ada korsase bunga warna orange
di dada bagian kiri wanita itu; seperti pusat semesta dari jagat raya gaun itu;
seperti matahari bagi keseluruhan bidang kain. Mungkinkah korsase itu yang
memancarkan senja? Tidak hanya ke kainnya melainkan ke seluruh ruangan? Ruangan
tidak sekuning gaunnya. Lampu-lampu disusun sempurna sehingga padanan putih dan
kuning menjadi warna perak yang megah. Tapi gaun itulah matahari yang menjadi
sumber utama kemegahan ruangan.
Wanita itu mengambil minuman dari pelayan lalu mencecapnya sekali. Apakah
ia membasahi tidak hanya tenggorokannya, tetapi juga korsase di pakaiannya? Aku
bayangkan korsase itu tumbuh dengan buas, memenuhi ruangan, menghancurkan lampu
kristal, menembus langit-langit, menembus ozon yang memang sudah bolong, lalu
menjadi tempat bagi banyak burung yang kehilangan tempat bernaung, yang
bersedih sebab anak-anaknya telah hilang dan sarangnya koyak. Aku akan memanjat
pohon korsase itu, duduk di cabang yang tinggi untuk melihat dunia yang mungil.
“Itu dia iblis yang harus kita musnahkan,” kata ayahku tiba-tiba.
Matanya tepat memandang wanita tua itu.
“Wanita yang memakai gaun kuning itu?”
“Bukan, lelaki yang ada di belakangnya.”
Aku tidak melihat ada seorang lelaki di belakangnya. Semuanya wanita.
Dan mereka ngerumpi hal-hal bodoh yang sudah dibicarakan ribuan kali. Ada apa
dengan ayahku? Siapa yang dimaksudnya?
“Ayah dari wanita itu adalah seorang bajingan yang membuat orang lain
tidak bisa lebih kaya dari dirinya.” Aku tidak bertanya lagi. Ayah suka menilai
orang lain, tapi tak pernah cukup bersemangat untuk menjelaskan penilaiannya
itu.
Di bagian perut wanita itu ada gambar bunga-bunga berwarna putih samar,
mungkin melati dengan daun dan tangkai. Sepertinya hand made, begitu adi busana. Ah, tapi mungkin juga buatan mesin.
Bukankah sekarang banyak mesin yang bisa membuat kesan seperti itu?
Tidakkah ia merasa tubuhnya adalah taman dan gaun itu adalah kumpulan
bunga yang dirawat dan ditata dengan baik oleh tukang kebun? Seorang asisten
mungkin telah menyiapkan pakaian itu sejak pagi tadi atau pagi kemarin atau mungkin
sejak pagi minggu lalu. Sang wanita tua mungkin memperhatikan kecantikan
pakaian itu dan menimbang kecantikannya sendiri. Waktu terus melaju, tetapi ia
tidak cukup puas menikmati tubuh masa mudanya. Ia bersijingkat sambil
menempelkan gaun ke tubuhnya, membayangkan dirinya adalah seorang putri yang sedang
bahagia sebab gaun itu akan membuatnya terlihat layak ketika bertemu pangeran
impian.
Wanita itu seorang putri yang kaya raya dengan pesta-pesta. Di tiap
pesta ia bisa memilih satu pangeran. Itu memungkinkan, bukan? Sebab ayahnya adalah
lelaki yang tidak akan pernah membiarkan orang lain lebih kaya dari dirinya.
Seorang putri dari seorang lelaki yang berkuasa pastilah seorang yang ambisius.
Kuperhatikan raut wajahnya, jejak-jejak kecantikan yang angkuh, yang
menggoda tapi tak boleh disentuh. Lipstik merah jambu, bulu mata palsu yang
lebat dengan eye shadow sedikit gelap
tapi memberi glitter pada garis mata
bagian bawah. Eyeliner dengan kesan
runcing, membuat matanya seperti mata kucing, seolah siapa pun yang tersesat di
sana akan diterkamnya. Apakah ia juga manja seperti kucing? Selalu minta
dibelai, diikatkan tali baju bagian belakang, dikaitkan tali branya?
Pelan-pelan aku jadi membenci wanita itu setelah kutelusuri lebih rinci
pilihan fashion-nya dan menebak-nebak
kemungkinan-kemungkinan di baliknya. Kuambil satu tiramisu kecil di atas meja
dekat wanita itu sembari memperhatikan ayahku dari sampingnya. Ayahku yang
ambisius, yang punya banyak kesalahan tapi sangat suka menyalahkan orang. Ingin
kuberi tahu dia banyak hal sambil marah-marah dan memukulinya.
“Oh, ada orang. Maaf,” ucap wanita itu ketika ia tak sengaja
menyenggolku. Manis sekali senyumnya, seperti senyum seorang ibu yang tidak
pernah memukul anaknya. “Siapa nama? Saya baru kali ini melihat anda.”
Kuperkenalkan diri sebagai anak dari seseorang yang tidak lebih kaya
dari ayah wanita itu. Lalu ia bertanya, “Pestanya bagaimana? Pasti membosankan
bagi orang muda seperti anda, ya kan?”
Kupikir apa gunanya berbohong, jadi kujawab saja sejujurnya. Lalu seperti
menemukan teman, ia berkata, “Jangankan kamu yang muda, saya pun sebenarnya
bosan. Padahal ada beberapa orang yang saya kenal, dan sepertinya semua orang
mengenal saya.” Ia cekikikan.
“Apa bisnis anda?” tanyaku. Dia tidak kaget dengan pertanyaanku, malah
seperti sudah menantikan, dan sudah pula mempersiapkan jawaban; sebaris kalimat
yang terdengar seperti quote; “Semua
yang dijual orang, aku juga jual. Semua yang sedang dikerjakan orang, sudah
pernah aku kerjakan .”
“Wah, anda seorang pekerja keras ya.”
“Sebenarnya itu kata-kata ayah saya ha ha
ha.” Mungkin ia telah menenggak beberapa gelas wine.
Wanita itu sepertinya datang sendiri.
Orang-orang kelihatan tidak mau menyita banyak waktunya. Kuperhatikan dengan
ekor mataku, banyak orang mencuri lihat ke arah kami. “Siapa sih anak itu?” Mungkin
itu yang ada di pikiran mereka. Ayahku juga melihat ke arah kami. Entah kenapa
ia seperti orang asing bagiku, dan aku lebih merasa akrab dengan orang asing di depanku ini. “Coba kamu
lihat manusia di arah jam sembilan. Lihat lelaki yang memakai dasi
mejikuhibiniu,” kata wanita itu. Kulihat lelaki yang ia maksud. Lelaki gendut
yang kira-kira lebih muda sepuluh tahun darinya.
“Dia mantan kekasih saya. Dulu dia tidak
gendut dan agak tampan. Tapi lihat dia sekarang, seperti penampilan seorang
pecundang. Saya memutuskan hubungan kami dan dia menjadi gendut. Oh ya, perlu
kau tahu, semua lelaki di pesta ini adalah pecundang. Mereka semua ingin
menginjak kepala saya tapi sampai saat ini tidak ada yang mampu. Bahkan ketika
nanti saya dimasukkan ke peti mati, mereka tidak akan mampu. Ha ha ha.”
Seorang perempuan tiba-tiba menyela, mengajak
wanita itu pulang.
“Oh, Daria, sepuluh menit lagi. Saya sedang
bercakap dengan teman lama,” jawab wanita itu.
“Baiklah. Saya tunggu. Ingat, kesehatan
Nona lebih penting dari seluruh isi dunia.”
“Oh ya, anak muda,” lanjutnya padaku. “Kapan-kapan kalau ada waktu datanglah
ke rumah saya. Ajak juga ayahmu itu,” pungkasnya. Dia pergi setelah memberikan selembar
tisu dengan coretan berwarna tosca.
“Apa yang dikatakannya padamu?” Ayah
menghampiri dan bertanya.
“Dia mengundang kita berkunjung ke
rumahnya.”
“Pasti sekarang dia sedang menertawakan
kita di dalam mobilnya.”
“Ayah mau datang?”
“Ke rumah penyihir itu?” Ayahku bertanya
untuk memberikan jeda bagi dirinya untuk berpikir. “Buat apa aku datang ke
rumah orang yang sudah berani menelanjangiku dan mengirim fotoku ke semua
orang,” katanya sambil melempar gelas minuman. Sesaat orang-orang memperhatikan,
tapi cepat-cepat kembali pada diri mereka atau lingkarannya masing-masing.
Dari luar kudengar suara tawa wanita itu.
Suara tawa yang dikeras-keraskan. Kenapa tiba-tiba aku merasa dibuang dari gaun
itu? Kini tinggal aku dan Ayah; lelaki penguasa di rumah, tetapi begitu kecil
di mata wanita tua itu. Pesta yang sebelumnya membosankan kini jadi mengerikan,
dan aku menjelma badut termuda dan terbodoh di dalamnya.
Ayah mengambil tisu -tempat wanita itu menulis
alamat dan nomor telepon- lantas memasukkannya ke mulut, mengunyah, lalu
menelannya. Ada sebersit ketakutan, jangan-jangan tubuh Ayah akan berubah jadi tosca dan ringan bagai tisu sehingga bisa
diterbangkan oleh sedikit saja udara yang keluar dari hidungku. Aku bengong. Masih
terdengar suara wanita itu mengitari rumah dengan tawanya yang membahana.
Lombok,
15 November- 6 Desember 2020
Bulan
Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah
memimpin Teater Koin di almamaternya. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai
media, baik cetak maupun digital. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon,
Mataram, Nusa Tenggara Barat.