Harusnya
Kami Tak Memercayai Ucapannya Malam Itu
Jika saja malam itu kami tak memercayai ucapannya,
maka sudah barang tentu kami tidak akan menghadapi masalah ini.
Kedatangannya seperti bencana bagi kami. Saat itu,
kami sibuk berjaga di gardu karena mengantisipasi berita yang sedang
panas-panasnya dalam beberapa hari terakhir. Di luaran sana, simpang siur
mengenai pencurian jenazah sedang marak. Apalagi ketika itu, di desa ada orang
mati tepat di hari selasa kliwon.
Sebenarnya aku sendiri tidak memercayai namun bisa
juga percaya hal semacam itu. Namun demi menghormati yang lain serta karena aku
masih merasa bagian dari warga desa, maka kuputuskan untuk ikut berjaga di
gardu. Tempatnya berada di jalan arah menuju makam. Gardu terletak segaris
lurus dengan makam. Makam ada di ujung utara desa, sementara gardu berada di
ujung selatan. Tapi untuk sampai ke kompleks pemakaman, harus melewati jalan
setapak di antara rumpun bambu yang berjajar di kiri dan kanannya. Di
sekeliling makam, selain berbatasan dengan rumpun bambu, juga berbatasan dengan
ladang tebu.
Ia datang seperti gagak hitam. Kaoknya membawa kabar
buruk bagi kami semua yang sedang berjaga. Suara gagak yang begitu mengerikan
dan menjadi pertanda bahwa sesuatu yang ditakutkan akan terjadi. Maka kami
menyimak apa yang ia katakan. Begitu meyakinkan hingga kami tidak bisa
menyanggah perkataannya.
“Aku baru saja lewat dari desa Ndani. Di sana tadi ada
ramai-ramai, katanya ada orang yang membongkar makam dan mencuri tali pengikat
jenazahnya. Tapi kudengar dari mereka, pencurinya tidak tertangkap. Ia berlari
ke arah timur. Kita sebaiknya siap-siap,” Lanjar berkata dengan meyakinkan.
Tapi aku meragukan perkataannya. Sebab dalam
bicaranya, ia masih memakai kata ‘katanya’ dan hal itu sulit untuk kuterima.
Tapi melihat antusiasme warga lainnya ketika mendengar ucapan Lanjar, maka
kuurungkan untuk menyanggah ucapan itu.
“Apa benar yang kau katakan itu?” tanya Warta penuh
selidik. Aku tahu ia juga meragukan ucapan Lanjar sebab kami berdua paham benar
bahwa mulut Lanjar bisa disebut unthuk[1].
Omongannya ngedabrus dan sangat sulit
untuk dipercaya. Kami memahami sifatnya.
“Iya sungguh. Aku baru saja mengantar istriku masuk
malam untuk menunggu bus di Tugu Patok. Aku bertemu orang Ndani yang juga
mengantar istrinya. Ia yang mengatakannya padaku. Lalu aku lewat sebentar ke
sana, itung-itung survei. Dan aku melihat sendiri di sana ada ramai-ramai itu
tadi,” kata Lanjar menjelaskan apa yang ia lakukan. Begitulah dirinya ketika
bicara. Begitu tampak meyakinkan tapi nyatanya tak pernah bisa dipercaya. Aku
sudah hafal sejak awal. Warta sering mengatakannya juga padaku.
Tapi apalah arti ketidakpercayaan kami berdua jika
warga lainnya lebih percaya pada ucapannya. Ketakutan telah disebar oleh Lanjar
pada orang-orang yang sedang berjaga. Kasak-kusuk pun menyebar cepat. Kami pun
lekas membagi tugas. Meski bergerak dengan berat hati, tapi apa boleh buat. Apa
salahnya juga sembari berjaga dan paling buruk yakni apa yang dikatakan Lanjar
adalah benar. Menurutku hanya untuk antisipasi saja.
Ketakutan itulah yang memaksa kami membagi kelompok
beberapa orang. Satu kelompok terdiri atas lima sampai tujuh orang. Pak RT yang
membagi kelompok itu dengan cukup cepat. Berdasar
teritori rumah saja katanya. Rumahku yang dekat gardu mendapat bagian di
gerbang depan makam bersama Warta dan tiga orang lainnya. Warta yang ditugasi
mengepalai kami karena keberaniannya. Artinya aku harus menjaga di bawah
rindangnya rumpun bambu. Dua kelompok lainnya berjaga di sisi timur dan barat
yang berbatasan dengan ladang tebu. Kelompok barat dipimpin langsung oleh Pak
RT karena dari sana, dulu, kami menyebutnya sebagai jalur maling sehingga Pak
RT memfokuskan penjagaan di sana. Lanjar turut serta dalam rombongan itu.
Sementara di sudut timur didampingi oleh petugas Linmas di kampung kami. Aku
merasa beruntung karena tidak harus berada di dekat ladang tebu. Bisa
gatal-gatal di sana.
“Kelompok sudah kita bentuk, jadi kita bisa berangkat
ke titik masing-masing sekarang. Kita bisa membawa senjata apa saja asal bukan
senjata tajam. Bisa pakai bambu, bisa pakai batu, bisa juga pakai patahan
tebu,” kata Pak RT dengan penuh kharisma tapi lantas diiringi gelak tawa.
Senjata menggunakan tebu itulah yang kami anggap konyol.
“Nanti komunikasinya gimana, Pak RT?” tanya Warta meminta pemahaman.
Kami mengangguk seolah ingin menanyakan pertanyaan
yang sama.
“Bisa nyopot
kentongan di rumah-rumah,” sahut Lanjar dengan nada kemenangan seolah pahlawan.
Semua warga pun mengangguk. Kali ini bisa kubilang
bahwa dia cerdas meski yang lebih menonjol adalah kesombongannya. Kami pun
bergegas menuju titik yang telah ditentukan. Sebelum ke sana, tak lupa kami mengambil
kentongan di rumah-rumah. Dengan berbekal kentongan dan senjata apa saja yang
kami dapat di sepanjang perjalanan, kami berarak menuju makam lantas berpencar.
Warta berjalan di sampingku sementara tiga orang
lainnya mengekor di belakang. Kami berdua mempunyai kesamaan, yakni: kami tidak
menyukai Lanjar dan kami sama-sama tahu kalau apa yang dikatakan Lanjar lebih
banyak bohongnya daripada benarnya. Bicaranya begitu licin. Ketika menceritakan
sesuatu, ia selalu melebih-lebihkan seolah apa yang ia ceritakan begitu
fantastis.
“Apa kau percaya omongannya?” tanya Warta padaku. Aku
paham benar jika ia masih belum percaya dengan apa yang dikatakan Lanjar.
“Bisa percaya, bisa tidak,” kataku. Aku mengatakan itu
karena masih ragu dengan keadaan sekarang.
“Mengapa?” tanya Warta penuh selidik.
“Aku bisa saja percaya jika ada pencuri tali jenazah,
tapi ragu juga. Apa benar ada yang begitu? Ah, itu kan kepercayaan
masing-masing orang. Tapi keraguan terbesarku bukan masalah itu. Keraguanku tak
lain dengan omongannya. Aku ragu apa benar di Ndani ada yang sedang mengejar
pencurinya ke arah sini.” Aku mencoba menjabarkan keraguanku pada Warta,
sementara ketiga orang di belakangku sibuk membicarakan topik mereka sendiri
yang tak jauh dari pencurian tali jenazah yang keramat karena meninggal pada
hari selasa kliwon.
“Nah itu! Aku tidak percaya kalau ada kejadian di
Ndani. Mosok ada ramai-ramai di sana
tapi mereka tidak mengejar sampai sini. Kan jarak dari sana ke sini tidak jauh.
Naik motor lima menit juga sudah sampai,” kata Warta diselimuti kejengkelan.
“Mungkin saja mereka fokus mencari di bentangan sawah
di timur desa Ndani. Kan di sana cukup luas,” jawabku. Aku hanya menafsir saja.
Lebih dari itu, juga untuk meredam kegelisahan Warta.
Pencurian tali jenazah memang bisa benar adanya bagi
yang percaya. Tapi bukan berarti tidak benar jika tidak percaya. Kejadian itu
pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Untuk tepatnya aku lupa. Saat itu,
memang kejadian tidak terjadi di desa kami. Tapi saat itu, aku dan beberapa
orang di desa berangkat bersama melihat kejadiannya. Sesampainya di sana, benar
saja, kami mendapati makam itu sudah dikerumuni banyak orang. Benar-benar ada
jenazah yang hilang tali pengikatnya. Aku melihat sendiri bongkahan mayat yang
sudah dibungkus dengan kain kafan yang baru. Aku melihat hilangnya tali itu
dari foto di ponsel yang ditunjukkan warga setempat. Setelah itu, aku di antara
percaya dan tidak percaya.
Kami berlima pun sampai di titik yang telah
ditentukan. Di dekat makam di bawah rumpun bambu. Masing-masing dari kami mulai
membakar rokok. Aku mengeluarkan rokok filter dan mengoper kepada yang lain.
Warta mengambil sebatang beserta dua orang lainnya. Sementara satu orang
menolak karena ia membawa sendiri rokok kretek. Katanya kalau merokok yang
filter seperti tidak merokok. Kami pun saling bertukar obrolan. Tak lupa, kami
juga membakar sampah dari daun bambu beserta slumpring[2] sebagai penghangat
beserta penerang. Tapi tak lama setelahnya, terdengar bunyi kentongan dari arah
barat.
Seketika kami bergegas ke arah barat. Seorang dari
kami memadamkan api dengan bambu di genggamannya dengan cara memukul sebelum
pergi. Lantas kaki kami seperti melayang. Tak peduli bongkahan tanah dan
patahan ranting, semua kami terjang. Warta berlari di depanku sebagai pencari
jalan. Kami menyorotkan senter ke arah depan dan sekeliling. Hingga sampailah
kami di titik barat makam.
Kami mendapati orang-orang yang bertugas di sana sudah
meninggalkan tempat semula. Orang-orang yang bertugas di titik timur juga sudah
sampai dan bertemu kelompok kami. Suara kentongan terdengar mulai menjauh tapi
suara orang-orang yang berteriak terdengar jelas.
“Ke mana arahnya?” tanya Warta ke petugas Linmas.
“Kalau dari suara mereka, dari dalam ladang tebu ke
arah sana,” jelas petugas Linmas.
“Kalau begitu ayo segera ikuti mereka!” Warta membakar
semangat kami.
Suara teriakan riuh. Kami masuk ke ladang tebu. Aku
sendiri dengan dada yang bergemuruh serta desir di sekujur tubuh tidak
mempedulikan tubuhku yang gatal karena lecet oleh daun tebu. Aku terus saja
berlari bersama rombongan ke aras barat ladang tebu. Suara kentongan sahut
menyahut bersaing dengan suara teriakan kami.
Aku tak ingat benar apa yang dikatakan orang-orang
saat itu. Di kepalaku hanya memikirkan bagaimana aku harus lari secepat mungkin
agar tidak tertinggal rombongan. Hingga akhirnya keluarlah kami semua dari
ladang tebu. Hamparan sawah dan kegelapan yang ada di hadapan kami. Bulan
sedang tidak baik. Tak ada cahaya dari langit. Tak jauh dari kami, orang-orang
kelompok Pak RT sedang menyapu hamparan sawah dengan cahaya senter.
“Di mana, Pak?” teriak Warta pada Pak RT dengan napas
tersenggal lantas mendekat kelompoknya.
“Tadi ke arah sini,” jawab Pak RT dengan tak kalah
keletihan.
“Berapa orang, Pak?” tanya yang lain.
“Belum kelihatan.”
“Kok bisa begitu, Pak?” Warta kembali mengajukan
pertanyaan. Kulihat dengan samar raut wajahnya. Ekspresi yang aneh sekali.
“Lanjar mengatakan kalau dia lihat ada senter merah ke
arah langit dari arah sini. Mirip laser yang dipakai anak-anak. Tanda itu
biasanya digunakan sebagai kode untuk memulai aksi. Tanya saja padanya,” Pak RT
menjelaskan yang terjadi.
Seketika kami semua menatap Lanjar. Aku melirik ke
arah Warta. Wajahnya sinis penuh amarah.
***
Sejak kejadian malam itu, kini hidupku selalu
dibayang-bayangi penyesalan. Mungkin juga yang lainnya. Kami harus merasakan
dinginnya lantai penjara karena sudah menganiaya Lanjar. Hal itu kami lakukan
karena ternyata ada pencuri yang beraksi di desa. Sementara kami sibuk mencari
pencuri tali jenazah. Saat itu kami tidak bisa berkomunikasi dengan warga desa
karena kami sedang berada di tengah sawah dan kentongan telanjur kami bawa. Sehingga
pencurian di desa tak bisa terhindarkan.
Setelah sekembali dari pengejaran, kami mendapati
keramaian di desa. Kami pun saling tatap. Tak lama setelah itu, berbekal
senjata yang kami peroleh dari keberangkatan kami mengamankan makam, kami
gunakan untuk menganiaya Lanjar. Warta mengobarkan amarah kami pada Lanjar.
Warta berhasil menghasut kami. Harusnya, baik ucapan Lanjar atau pun Warta tak
perlu kami hiraukan. Harusnya kami tak memercayai ucapan keduanya malam itu.
Tentang Penulis
EKO SETYAWAN, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di
Antara Kita (2020), & Mengunjungi
Janabijana (2020). Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS Surakarta 2018,
serta memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Karya-karyanya
termuat di media massa baik lokal maupun nasional.
WA: 089673384146, IG: @setyawan721. Surat-menyurat: esetyawan450@gmail.com