Lelaki Air Mata Ikan
Air mata itu terus memenuhi kolam.
Warnanya perlahan merah membalut onggokan tubuh yang sudah tak berdaya.
Akhirnya kalian kembali terkapar mati dalam lautan darah. Kamu sang penjagal,
berhentilah membunuhi kami. Suara itu terus menteror telinga Parmin, hingga tubuhnya bergetar,
terhuyung-huyung lalu jatuh setelah kakinya terpeleset gumpalan lendir yang
menelikung kakinya. Sorot matanya seperti ketakutan melihat pemandangan itu.
Parmin berusaha bangkit ingin segera menjauh dari tempat itu.
Lelaki setengah baya itu menutup
telinganya rapat-rapat sembari terus merangkak. Suara jerit kesakitan dan
meminta tolong terdengar jelas di telinganya.
Tak kuat melihat mayat yang bergelimpangan di depannya, Parmin berusaha menutup
matanya dengan kedua piring yang sejak tadi berada di atas meja.
Tetapi piring kaca berwarna gelap
itu bukannya menghalangi pemandangan itu, tetapi justru menjelma menjadi kaca
pembesar. Hingga mayat-mayat itu seperti hidup kembali. Mereka bergerak-gerak
disertai suara jeritan dan raungan yang menyayat dan memekakan telinga. Parmin
tak kuat, nafasnya tersengal, tubuhnya kembali terhuyung dan jatuh tepat di depan
pintu.
Hingga akhirnya sepasang tangan
menanting dan menuntunya kembali ke kamar. Sudah tak terhitung lelaki itu
terjatuh. Sudah berapa kali pula sepasang tangan mulus dengan lengan penuh
gelang emas itu terus berusaha menolongnya. Wanita itulah yang dianggap Parmin
telah menjadi dewi penolong saat peristiwa-peristiwa tragis itu terjadi. Neni masih setia mendampingi Parmin meski tubuh suaminya
itu terus melemah.
“ Kang, rika kudu tetep urip. Cepet sembuh terus kerja maning, Usaha kita
lagi murub kang. Lagi menuju
kesuksesan” Suara Neni memberi semangat suaminya yang terbaring di kasur.
Parmin tak menjawab, sorot matanya masih kosong .
Meski tak bisa mengungkapkan, Parmin
mengerti hampir genap sebulan ini istrinya cemas. Wanita yang mendampinginya delapan belas tahun
lalu ini sangat bersemangat agar dia bisa segera sembuh. Neni yang usianya jauh
terpaut dengan Parmin tampak sangat setia. Wanita yang telah memberinya satu
anak lelaki yang kini duduk di SMA itu berjuang bersama sejak masa pacaran
hingga menikah. Parmin yang banyak duit itu menemukan Neni di lokasi karaoke.
Seorang gadis pemandu lagu yang sedikit binal. Orang tua dan teman dekat Parmin
sempat melarang berpacaran dengan gadis itu. Kabarnya Neni tak sekedar pemandu
lagu, tetapi juga kerap dibawa lelaki berduit. Neni diramalkan gak bakal mau
menemani Parmin berjualan ikan di pasar. Wanita itu sepertinya lebih menyukai
berada di ruang ruang gemerlap dan ber-AC. Ternyata tidak. Neni malah sangat
setia menemani Parmin di pasar. Bahkan wanita cantik berkulit kuning langsat
itu sepertinya tak canggung membantu menangkapi ikan-ikan lele yang licin itu.
Saat sedang banyak pembeli, Neni bahkan ikut mematikan ikan itu dengan cara
memukul-mukul kepala lele. Di samping kolam kecil di dalam los pojok pasar,
tangan Parmin dan istrinya sangat akrab dengan alat pemukul terbuat dari batu
yang kerap digunakan untuk memukul kepala ikan. Setelah ikan itu pingsan,
kemudian ditimbang dan dimasukan dalam kantong kresek. Para pembelipun cukup
mengikat kresek kuat-kuat agar ikan lele yang belum mati itu tak bisa keluar.
Begitulah seharian, suami istri ini
mencari nafkah. Mereka boleh dibilang sukses. Salah satu yang tampak di mata
adalah gelang, kalung dan cincin yang terlihat mencolok, apalagi jika sinar
matahari tepat memantulkannya. Para
pelangganpun begitu kagum melihat pasangan suami istri itu sangat kompak saat
melayani para pembeli.
*
Tetapi kenapa Parmin tiba-tiba
meminta berhenti menjadi penjagal ikan lele. Neni terkejut mengetahui keputusan
yang mendadak itu. Parmin tiba tiba menjadi aneh dan menolak berjualan ikan
lagi.
“ Kang usaha kita ini lagi murub,
lagi sukses, kenapa mandek kang,”
pertanyaan Neni itu sudah dilontarkan
puluhan kali, tetapi Parmin tetap pada keputusannya. Tak mendapat jawaban dari
suaiminya, Neni berusaha mencari tahu di luar. Hingga akhirnya Neni tahu
penyebab suaminya tidak mau bekerja lagi. Parmin pernah bercerita kepada
temannya di Mushola yang tak jauh dari pasar, bahwa belakangan lelaki itu
tiba-tiba merasa berdosa setiap usai menenjagal ikan-ikan lele itu. Perasaan
berdosa dan bersalah itu terus menghantui hingga kerap terbawa mimpi. Parmin
sengaja menyembunyikan perasaan itu dari istrinya. Mungkin belum tepat waktunya
untuk memberi tahu kepada Neni.
“ Oh jadi itu kang yang membuat kamu gak mau jualan ikan lagi ? Kang, rika kiye kudu takon maring ustade.
Justru kematian ikan-ikan itu lebih baik dengan cara seperti itu, “ Neni
mencoba manasehati, meskipun kalimat itu dikutipnya dari seorang teman di
pasar.
“ Ya Nen, bener,aku sudah tanya pada
ustad,…..tapi”
Kalimat Parmin terputus karena
tiba-tiba tangannya bergetar. Parmin kembali membentur-benturkan tangan itu ke
tembok. Neni tak bisa berbuat banyak. Tangan suaminya kembali diikatkan ke
tiang ranjang.
*
Meski sudah berangsur sembuh. Namun
hampir enam bulan Parmin tak mau bekerja. Neni terpaksa berangkat sendiri ke
pasar. Namun belakangan wanita itu mulai jarang berjualan. Warga pasar justru
sering melihat wanita muda beranak tiga itu duduk-duduk di salon tak jauh dari
los pasar ikan. Bahkan tersiar kabar lagi, bahwa Neni kerap dibawa seorang pria
muda. Kabar inilah yang kemudian sampai ke telinga Parmin. Dada pria bertubuh
gempal ini bergejolak. Muka lelaki itu tak bisa menyembunyikan kecemburuannya.
Kepalan tangannya gemeretak, matanya merah. Saat Neni pulang, Parmin menahan
diri berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya. Parmin mulai menyelidik. Pria
yang sempat kecewa karena saat menikah Neni sudah tidak perawan lagi itu
terkejut. Gelang di tangan dan kalung yang dibelikannya sudah tak terlihat
lagi.
“ Sudah aku jual kang, maklum kita sudah bukan orang kaya
lagi. Kita butuh uang untuk makan setiap hari, “
Neni dengan cepat membaca maksud
pikiran suaminya yang sejak tadi memperhatikan lengan dan lehernya. Parmin
melihat perubahan yang cukup banyak pada istrinya. Bahkan wanita itu mulai
berani menghardik, saat Parmin berusaha meminta penjelasan. Kali ini, Parmin terpancing.
Mukanya merah seperti ingin menerkam istrinya
“ Dan kamu melampiaskan kekecewaanmu
dengan berselingkuh, Bercinta dengan lelaki yang sepantaran dengan anakmu,”
Parmin tak bisa menahan diri dan
menelanjangi semua rahasia istrinya. Diam-diam Parmin berhasil mengorek
kisah-kasih istrinya dengan seotrang pria yang lebih pantas disebut anaknya. Tetapi
pemuda itu terlihat seperti anak orang kaya, dengan mobil sedan dan sesekali
sepeda motor besar yang kerap membawa Neni melayang dalam pergumulan terlarang.
“ Dasar PL , pelacur, perempuan
materialistis. “
Parmin mengumpat dengan kata-kata
yang sama sekali tak pernah keluar dari mulutnya. Tetapi kalimat itu tak pernah
didengar Neni yang setiap pagi bergegas pergi. Parmin tahu persis, istrinya
bukan pergi ke pasar ikan.
*
Entah kenapa, Parmin tiba-tiba ingin
kembali berjualan ikan. Rasa dendamnya telah melumat habis rasa dosa yang
pernah dirasakannya. Wajahnya tegang, tangannya kembali memainkan golok yang
baru diasahnya. Parmin kembali menjadi penjagal para ikan-ikan itu. Sejumlah
pedagang memandangi Parmin yang terlihat aneh. Tak biasanya lelaki itu datang
tanpa basa-basi dengan sesama penjual ikan. Seperti tak memperdulikan orang di sekitarnya,
Parmin kembali menangkapi ikan dan memukuli kepala binatang itu. Kali ini tak
hanya pingsan, tetapi kepala ikan itu remuk hingga mati. Sejumlah pedagang di
los pasar itu lagi-lagi dibuat heran. Parmin terus memukuli kepala-kepala ikan
itu tanpa berhenti. Sudah seratus lebih ikan itu mati dengan kepala pecah penuh
darah. Beberapa pembeli tak dihiraukannya, Parmin terus menangkap dan menjagal
hingga kolam tersebut airnya berubah merah. Bahkan, seorang pemuda berseragam
abu-abu putih yang berada di depannya tak dihiraukan. Pemuda yang tak lain si
Bagus, anak satu-satunya itu terdiam melihat ulah ayahnya. Bagus tahu persis
apa yang sedang dialami bapaknya. Ibunya telah berselingkuh dengan laki-laki
se- usianya. Bahkan Bagus tahu persis lelaki yang telah merebut ibu dari
ayahnya itu. Lelaki itu teman satu kelasnya.
Setelah terdiam sejenak, Bagus
kemudian bergegas meloncat ke atas motor dan memutar keras-keras gas motor
itu,hingga suaranya memekakan telinga. Motor Bagus meluncur cepat meninggalkan
pasar.
*
Lelaki penjagal itu berhenti
sebentar. Matanya tertuju pada ikan lele muda yang berada di sampingnya. Tangan
kekar Parmin langsung mencengkramnya. Kepala ikan itu dipukul dan ditandaskan
di talenan yang sejak tadi tidak dipakainya. Kepala ikan itu pecah. Darahnya
kembali muncrat mengenai mata Parmin. Parmin tak perduli, meski didengarnya
suara ikan lele muda itu meraung kesakitan. Ikan ini berkali-kali memohon
kepada Parmin agar tak membunuhnya, namun suara itu tak digubris lelaki yang
seperti tengah kesetanan tersebut. Parmin
tetap seperti tak mendengar suara apapun.
“
Modar… ko…modar,”
geram Parmin sembari memukuli kepala ikan hingga darahnya muncrat ke mukanya.
Lelaki ini matanya berubah merah.
Ikan yang tergelepar itu kemudian dibanting berkali-kali hingga tubuh ikan
terlempar ke aspal di jalan raya. Parmin memburu ikan lele muda yang sudah tak
berdaya itu. Mencengkram dan kemudian memukulnya dengan batu yang ditandaskan
ke aspal. Bersamaan dengan itu tubuh
Parmin terlempar. Sebuah truk menabrak bokongnya. Parmin sempat melihat kepala
ikan muda itu berdarah darah.
Dua orang perawat terburu-buru
mendorong kereta ranjang yang membawa Parmin ke ruang IGD. Berkali-kali pria
yang baru saja melampiaskan kekesalannya itu mengusap mata. Pandangannya
seperti kabur. Parmin melihat dua ranjang di sebelahnya yang berisi dua mayat .
Pakaian kedua mayat ini seperti bekas sayatan benda tajam. Mungkin keduanya
usai berkelahi. Dilihatnya dengan jelas dua orang pemuda berseragam abu abu
putih, dengan kepala berlumuran darah. Parmin menjerit memanggil nama anaknya.
Tak terasa air matanya mengucur deras dan kali ini berlendir serta terasa
sangat asin *
Tentang Penulis
Nanang Anna Noor, kini menyepi di Samudra Kulon, Gumelar, Banyumas.
Selain menulis cerpen, adalah penyair Indonesia dan pesinetron. Wartawan
Indosiar SCTV.