Arsitektur Puisi Irna Novia Damayanti[1]
oleh Teguh Trianton[2]
Seorang arsitek akan membuat desain rumah
dengan material pilihan dan konstruksi terkuat yang mampu ia susun. Arsitek
yang baik tidak hanya memikirkan konstruksi dan gaya untuk kepentingan dirinya
sendiri. Ia juga membikin desain ruang yang cukup nyaman bagi orang lain yang
hendak bertamu atau memasuki rumahnya. Ia akan memilih bentuk pintu, jendela,
arah hadap, warna cat, dan sebagainya untuk memenuhi hasratnya. Ia mengatur
semua urutan ruang sesuai selera dan peruntukannya. Ia juga akan memilih
perabot dan pajangan lain untuk menuntaskan keinginannya. Lalu menempatkannya
dengan cara paling estetik sehingga dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh siapa
saja.
Puisi adalah rumah pertama bagi penyair,
tempat pribadi yang ia buat dengan gaya arsitektur terbaik yang paling ia
kuasai. Material utamanya adalah kata-kata yang disusun secara fungsional
menjadi komposisi yang elok. Pondasinya dibuat di kedalaman batin, dengan
kejernihan pikiran, dan keluasan pandangan.
Sebagai rumah; puisi dapat digunakan
untuk melakukan berbagai aktivitas, termasuk ritual yang paling pribadi
sekalipun. Namun sebagai rumah; puisi yang baik harus dapat disinggahi.
Menyediakan tempat berteduh untuk tamunya. Penyair sebagai arsitek harus
mempertimbangkan kenyamanan tuan dan puan yang hendak singgah. Lantaran sebagai
rumah; puisi juga acap kali digunakan sebagai tempat diskusi, bertukar gagasan,
ngobrol, minum teh, kopi, atau bahkan
sekedar saling curhat.
Puisi yang telah ditulis oleh penyair
seperti rumah terbaik yang pernah dibangun oleh seorang arsitek lalu ditinggalkan
begitu saja. Rumah ini, kemudian dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Siapapun
boleh memasukinya, menelusuri setiap inchi
ruang, mengintip lewat celah fentilasi. Bahkan siapapun boleh menggunakan
segala perabot yang disediakan di dalamnya.
***
Baiklah, sekarang saya harus ‘membuka pintu’ terlebih dahulu. //Kayu
telah lapuk
(rupanya) dan engsel (telah) berkarat/ Perlu waktu menyusun keberanian/ Sebab amarah siap menerka tiba-tiba//. Saya telah memasuki rumah
ini, namun ada perasaan lain yang asing. //Takdir
seakan menempatkanku/ Di ujung jurang
di mana/ Tanah licin/ Dan langit kembali menurunkan hujan//.
Agaknya, saya harus keluar lagi lantaran, meski //Jarak sudah dekat/ Tapi
keberanian tertinggal di jalan yang jauh/ Maka apa lagi yang diandalkan/ Selain
tangan kosong dan tubuh doa keselamatan/ Biar pintu bisa terbuka/ Biar
canda kembali ditawarkan semesta//.
Memasuki salah satu ruang di rumah ini, mula-mula saya merasa
ragu. Barang kali sang arsitek memang sengaja mendesain ruang dengan warna dan
aura muram. Setelah berhasil membuka pintu dan masuk ke ruang tamu, saya dibuat
bimbang. Ada kegaluan yang membuat saya kehilangan keberanian untuk memasuki
ruang terdalam, kamar tempat hati di simpan. Saya justru dibawa mengingat
kenangan lama tentang hujan, tanah licin, dan ujung jurang yang membuat ciut
nyali. Mungkin saya hanya perlu doa, dan tangan hampa untuk kembali membuka
pintu rumah itu lagi. Mendatanginya tanpa beban.
***
Sekarang saya memilih
waktu pagi untuk memasuki rumah itu . Saya menemukan ‘wajah pagi’. //Rumah masih menyimpan sunyi/ Suara
deru kendaraan seperti memainkan kata-kata/ Untuk mengantar dan sampai pada sehampar puisi//. Langit masih menampakkan warna kelabunya/
Sekelabu warna rasa gadis itu/ Yang di tunggu piatu// Waktu selalu memutar hidup/ Tetapi hanya wajah pagi/ Yang akan menampakkan tingkah/ bersama keluarga memanggil sebuah senyuman//
Di adegan itulah/ Waktu ingin dia hentikan//
Syahdan, sekarang saya ceritakan
bagaimana rumah itu di waktu pagi. Meski ada wajah pagi, namun rupanya rumah itu adalah tempat
yang disediakan utnuk menyimpan kesunyian. Kau boleh ikut menitipkan sunyi di
situ. Mungkin tidak akan orang tahu, lantaran deru kendaraan justru mengantarmu
pada hamparan kesunyian yang sebenarnya yang dia sebut pusi. Kau boleh
mendongak langit, betapa warnanya kelabu, kontras dengan wajah pagi pada
umumnya, yang seharusnya cerah dengan cahaya matahari. Tentu saja, ini lantaran
langit memang peka pada setiap peristiwa yang terjadi di bawah lengkungannya.
Kau tahu, lagi-lagi saya diajak mengingat masa lalu, masa tatkala seorang gadis
kecil tersenyum bersama keluarga. Sampai di sini, saya seperti ingin
menghentikan waktu.
***
Kali ini saya memilih ‘melewati jendela’ untuk melihat keluar.
Arsitektur rumah ini dibuat dengan jendela menghadap lurus pada waktu. //melewati
jendela, bukan hanya/ ada kupu-kupu terbang dengan kebebasannya/ angin
menggoyangkan bunga-bunga matahari/ ibu
penjual jajanan dengan suara lantangnya/ juga tanah yang masih merawat daun-daun meski/ bekas hujan lebat semalam masih tergambar jelas di ingatan//. ada yang menyusup pada warna warni/ bunga matahari_keindahan yang bersatu/ dalam satu taman//.
Sekarang saya ceritakan mengenai jendela. Arsitek yang baik adalah
yang mengerti fungsi setiap unsur yang menjadi bagian penting dari rumah yang
ia bangun. Jendela adalah salah satu bagian dari rumah yang sangat penting.
Melalui jendela, cahaya matahari dapat masuk, dan kita dapat melihat ke arah
luar. Melewati jendal ini, saya diajak menikmati panorama kupu-kupu yang
terbang bebas, angin yang menggoyang bunga matahari, tanah yang masih basah
oleh sisa hujan semalam dan ingatan yang turut serta membingkai keindahan.
Namun ada yang hampir luput dari deretan panorama indah itu. Lewat jendela,
kita rupanya juga diajak menjadi saksi; ada ibu-ibu penjual jajanan yang
lantang suaranya.
Lewat jendela yang menghadap cahaya, rupanya sang arsitek hendak
mengajak kita melihat kupu-kupu sebagai isyarat. Ada pelajaran berharga yang
mesti kita teladani. Bagaimana kebebasan itu dapat dikepakkan dengan indah oleh
kupu-kupu. Seokor kupu harus mengalami kesunyian yang panjang dalam sebuah
kepompong. /telah dilewati sebagai masa
meditasi bukan/ seperti penjajak
jajanan itu yang/ dalam hatinya
sedang dijajah oleh biaya hidup yang/ seakan
lari kelangit/ dia mengejarnya
melalui suara lantang/ biar
orang-orang membantunya//.
Sampai titik ini, saya melihat bahwa penempatan jendela pada rumah
puisi cukup ideal. Arsitek cukup memahami fungsi jendela. Dalam kontek puisi
ini, penyair sebagai aku lirik tidak sia-sia memasang jendela sebagai bingkai
untuk melihat keluar, melihat fragmen kebebasan yang dimetaforakan melalui
kupu-kupu. Namun agaknya, posisi jendela yang lurus dengan datangnya cahaya
matahari justru membuat ruang terlalu terang. Atau memang sengaja dibuat
demikian, apalagi kita melihat dengan terang ada garis lurus yang sengaja
dibuat untuk menghubungkan kupu-kupu dengan penjual jajanan.
Coba kita simak dua bait pemungkas puisi ini. Sebagai pintu dan
halaman belakang rumah, keduanya menjadi penegas hubungan antara kupu-kupu dan
ibu penjual jajanan. //tapi hatinya masih
terikat dengan tuhan/ bau surga telah
dibelinya dengan lelah dan keikhlasan/ dari
dalam hatinya// dan tanah adalah ibu
merawat jejak tanaman/ langkah serta
rumah mana yang didesain/ mencari
kedamaian//.
***
Lalu bagaimana ‘waktunya
malam’. //Baiklah aku harus mengikhlaskan kepergian/
Cahaya matahari serta kejadian yang/ Akan
berpulang kepada kuasamu//. Waktunya
malam yang mengisi sebuah catatan/ Mengindahkan
diksi dan/ Mengantar nafas-nafasku
menyaksikan/ Gelap yang menutup
banyak warna// Dan aku harus sadar/
Sebab dengan gelaplah/ Kerlip cahaya ribuan bintang yang/ Dibentangkan takdir dengan jarak begitu
panjang/ Kurasakan keberadaannya//.
Pada waktu malam, bangunan puisi ini
justru sangat jelas keberadaannya. Nuansa malam begitu kuat, sehingga kita
seperti tidak perlu lagi mempersoalkan sesuatu yang tersembunyi di balik
kegelapan. Sesungguhnya malam pada fragmen puisi ini merupakan metafora. Aku
lirik ingin meminjam gelap, bintang, dan malam yang dibentangkan sejajar dengan
takdir dengan jarak yang panjang. Tetapi ungkapan ‘jarak begitu panjang’ justru
memperpendek ruang pemaknaan di antara keduanya. Apalagi fragmen ini ditutup
dengan sebuah deklarasi; /kurasakan
keberadaannya/.
Sebenarnya sebagai seorang arsitek, aku
lirik sudah melakukan yang terbaik. Bahkan dia menyiapkan ‘dian’ yang dapat digunakan untuk menerangi setiap ruang dalam rumah
puisi ini. Aku lirik sepertinya sangat menyadari fungsi nyala dian di dalam
sebuah ruang dengan tempok yang rata. Ia manfaatkan nyala dian untuk membentuk
cerita lewat permainan bayangan antara ibu dan anak.
Dian
Dian yang mulai nyala
Memberi penerangan malam
Mengajak seorang anak
Bermain tebak-tebakan gambar bayangan pada tembok
Dimana ibunya dengan kreatif membentuk jari-jarinya
Mengenalkan nama-nama hewan atau
Mengenalkan kepribadian
Melalui ragam suaranya
Biar mendatangkan imaji
Mendatangkan senyum diantara
Kesederhanaan hidup yang diamanahkan
Ada kegelapan di mata ibu itu
Sebab mainan yang di pesan anaknya
Tidak kunjung datang di depan mata
Meski tuntutan tidak kunjung datang dan
Airmata tidak meneteskan perih luka hatinya
Sehingga bersama dian kesabarannya semakin terang
Menyinari anaknya
Rajawana, Mei 2017
Seperti puisi-puisi sebelumnya, fragmen
pada nyala ‘dian’ ini dibangun dengan rumus yang sama. Formulasi pilihan kata
‘gelap’ sebagai metafor dari ‘ketidakjelasan nasib’ kembali muncul. Secara
sederhana, dapat saya katakan bahwa sebagai seorang arsitek, aku lirik telah
mengantongi desain untuk membangun puisi-puisinya. Terdapat kesamaan komposisi
dan desain ruangan pada setiap rumah yang dibangunnya.
***
Secara umum arsitektur puisi karya Irna Novia Damayanti dibuat dengan gaya
yang sederhana. Setiap bagian dari bangunan itu ditempatkan pada posisi yang
tepat. Seperti rumah yang memiliki tiga bagian utama; depan, tengah, dan belakang;
arsitektur puisi Irnaa juga demikian. Bangunan semua puisi di desain dengan
urutan ruang seperti itu. Puisi selalu diawali dengan fragmen pembuka, disusul
fragmen isi, dan diakhiri dengan fragmen penutup.
Pada saat yang sama, aku lirik juga
menata perabot yang ada di setiap ruangan puisinya dengan komposisi serupa.
Gaya arsitektur seperti ini memudahkan pembaca dalam mencari dan menemukan
ruang inti dari bangunan puisi-puisinya. Gaya arsitektur yang sederhana, namun
cukup elok lantaran pemilihan meterial dan komposisinya yang cukup tepat.
Desain ini juga tampak pada empat puisi yang lain, yaitu ‘Tetes Air’, ‘Di Antara Wajah-Wajah Angin’, ‘Arji’’, dan
‘Rahim Doa’.
***
Meski puisi dibangun seperti rumah, namun
puisi tetaplah memberi kesejukan seperti ‘Tetesan Air’// Aku tak pernah memesan setetes airpun/ Terjatuh
diantara ketenangan danau/ Ketika
kulukis segala isi hati/ Di
kebeningannya// Sebab dari
ketenangannyalah/ Aku menemukan
segala jawaban/ Makna yang
bersembunyi pada/ Tetesan dari
langitMu dan/ Langit puisiku//.
Tentang Penulis
Teguh Trianto, lahir di sebuah desa terpencil di kaki
Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet, Kab. Purbalingga, Jawa Tengah,
tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai wartawan. Tulisannya berupa
puisi, artikel, dan esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Minggu Pagi,
Solo Pos, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Suara Karya, Suara Merdeka, dll.
Buku antologi yang pernah terbit; puisi ‘jiwa-jiwa mawar’ (Buku Laela 2003),
antologi Temu Penyair Antar Kota Pendhapa-5 (TBJT 2008), dan lain sebagainya.
Email : anton_aktualita@yahoo.com .