BULAN MENARI
hari rebah membelah tanah menyisakan jejak cacing kemarau
subuh retak memar menggubah langgam dzikir memazmurkan
cuaca
serangga bangkit nyanyikan mazmur dinihari membangunkan
cahaya mentari
jejak cacing hilang terekam gerimis kepagian terlindas
lalu lalang imaji
pembunuhan berlanjut tuntas di batas grafiti urban
mendarahkan warna langit
kubungkus bongkahan awan hujan dalam kardus kado pelangi
sunyi
dihantarkan pikulan arsitektur gerimis tajam dikemas
sepatu kaca tokoh peri
mitos peri meranggas di tubuh pohon salju bergelantungan
lonceng cinta
terimalah dengan seksama serpihan usia dipahat dinding
metafora
kota kelahiranku lusuh kusam mengidap flu parah
lelehan ingusnya menyemburkan grafiti warna senja
penduduknya bergelung terpapar kusta bahasa program
terserimpung suluran serat optik menjerat waktu jeda
ribuan ruang terziarahi serapah penyair renta dimakan
encok
tertancap kuat tenaga kuda duabelas melaju jalanan
menerjang gerumbul perdu di simpang kota
laut alam malapetaka ancaman melesat sesat mata angin
berputar pada puisi terikat
jangkar diksi tali layar metafora pada pantai antologi
sabda penyihir nyinyir
ulat geliat wajah pasi mimpi pelangi melintasi musim
membekuk kemarau
dilipat gebalau kacau pemanasan atmosfir bumi retak
tertembak peluru ledak
berkendali memporak-porandakan jejak petani membenamkan
benih
talu genderang hujan bulan Juni menarikan imaji penyair
mahir mengutungi
tentakel gurita birahi kuasa koyakan media telanjang
bulan purnama tergusur
pasang laut perbani membusukkan semangat pancaroba
latu menerbangkan asa perkawinan masa berat sengsara
persetubuhan
Bogor, 2018
BULAN MELENGKUNG
di kolam tenang
katak kecil berenang-renang
di langit gerimis membuat sarang
angin bergulung di pasir pantai
di kolam petang sepasang capung bercinta
kecipak air mengiring deru syahwatnya
langit merah membara membakar asmara
bayangan di kolam memanjang hingga bagian terdalam
bulan bulat mengintip cakrawala
di tepi kolam berkasih-kasihan sepasang burung malam
irama sunyi malam makin membenamkan cuaca
larut dalam kegalauan pungguk yang menghitung cahaya
bulan
malam menggenapkan hitungan tasbihnya
peronda mencoba mengetukkan penanda jam
dalam senyap mata merapat menawar mimpi berlarat
lengkung langit gagal menciptakan puisi pelangi
Bogor, 2018
BULAN PATAH ARANG
pertikaian perhelatan larut
sepasang tangan bersilangan menutup percakapan
sesaat senyap sunyi bertarung mimpi
kematian tanpa sakit
bulan menangis di sudut cakrawala
pertikaian sia-sia pembunuhan tak berharga
perjamuan pesta diunggah
dalam percik lampu warna-warni
menyelipkan belati kianat janji
di ujung jalan sepi ditikamnya
mahkota tumbang negeri kehilangan asa
ribuan burung migran meneriakkan caci maki sumpah
serapah!
Bogor, 2018
BULAN TERSALIB
serentak menumbuhkan jarak
berseberangan dalam perjudian mencari pemenang
padahal sebenarnya kita cuma bersorak-sorai
tanpa kemampuan taktis memenangkan!
bola liar di lapangan rumput palsu
diperebutkan empatpuluh lima menit kali dua
jika perlu diperpanjang dua kali limabelas menit
sampai pada peruluran permainan sudden death
saat satu gol tercipta masuk gawang kiper
Bogor, 2018
BULAN MELAHAP
sepagi sesiang semalam hidangan di meja perjudian
hanyalah kartu-kartu lusuh tak tergigit berita koran cetak maupun elektronik
jumpa gambar bergerak di layar kaca yang rengat terlempar kegeramaman remote
control political mon(k)ey memperdagangkan sapi-sapi kata penyair kondang
sepuh itu
catatanan demi catatan bergeriyap memenuhi ruang
menghamburkan imaji tidak bicara ideologi apalagi petisi deretan tagar
berlawanan dengan huruf b besar.
tunggu aku tegak lurus ziarah ruh merahnya merah
kusalib kata nyanyian kothbah Jumat di dada rembulan
angin mati tak tercatat bekukan kolam abadi hujan bulan Juni
anggur kota New York mengangkang di coklat kali Ciliwung
bukan dikencingi lampu limabelas watt menyala berwarna-warni
dicatat para demonstran di ladang jagung menjiplak gambar tato Papilon
aku bukan Dilan teman Lupus dan Boy Gola Smash memburu jalanan Ali Topan
senja di Jakarta dalam lipatan kitab omong kosong Kalatida Parfum Jazz
Insident
membukam seluruh sendi jurnalistik jadi maki caci serapah sumpah sastra
cyber
siang ini aku puasa warta kulipat koran pagi membungkam
televisi membekap cuitan twitter kecuali halaman terbuka Facebook
karena paslonku keok total
BULAN MEMUISI
Puisi yang berjudul tandas
Menghilang dalam sekapan
Menarikan birahi angsa di kolam
Puisi yang berjudul tanduk
Disimpan tuanku Iwan Soekri
Dalam peti-peti kardus berakar jerami
Puisi yang berjudul tanda [-]
Menghilang dalam sergapan
Fajar dunia fana sebelum tertusuk ilalang
Puisi yang berjudul tandus
Menciut ke rumah siput
Merayapi tembok-tembok berlumut
Puisi yang berjudul tandu
Berbaring berserakan antara Krawang-Bekasi
Menyisakan tulang belulang berserakan teriak merdeka
Puisi yang tak berjudul
Menunggu kaudekap
Disesapkan sedalam dada kolam merangsang
Puisi yang puisi
Kudekap sendiri
Hingga luput imaji
Bogor, 2018
KETIKA ….
hitung cepat terselip suara terpinggirkan
alamat tak tersampaikan tanda jejak
terhapus sergapan alat pintas pilkada
berubah jadi petaka seperti simalakama sejarah
mengejar tak halal berkedok politik
sungguh syahwat kuasa menuju gerbang rekayasa
menumpuk mahar pelunas percaya
bukan gadis sexy tertumpuk asa
secukup guyuran air panas bergolak
melahap syahwat perut usai puasa
tak tercatat berapa sudah
mengetuk jendela
walau telah membekukan jam
jadi tok tok tok
dingin yang menyeruak
selimut basah keringat
seusai bergumul
dengan imaji puisi
gerimis terus
bernyanyi trilili
hingga fajar
terkurung bangkai mimpi
di sebuah kota bolong ada Tuan Kosong dan Nyonya Kosong
tinggal di RW 0 dan RT 0 saat bulan bujur sangkar
tegak lurus dengan langit merahnya merah
: kooooooooooooongggggggggg!
Bogor, 2018
RUMAH REMBULAN
Maklum makin parah setelah singgah di kedai kopi jika
makin parah singgah ke warung nasi mencomot makanan yang tersedia dengan tanpa
ragu dompet terbelah hutang. Ujan yang tak datang lebih dari sepekan mengoyak
tanah berlubang menaburkan debu. Hujan jadi harapan. Pohonan sudah lusuh
terdera angin penuh butiran debu. Bulan puisi setengah mengayun langkah
cakrawala jauh.
Lelaki itu mengaku penyair di kepala botaknya untuk
menandai waktu menelikung segala gasingan sejarah yang semula membelah-belah
keberpihakan. Puisinya memang menatap ke cakrawala kuasa ideologi yang
menunjukkan penguasa negara arah mata angin simbol perjuangan tak kunjung
padam. Layaknya sastrawan pujangga negeri yang tak pernah luput puja-puji
kebijaksanaan penguasa mengkota memajukan bangsa. Bangsa yang mempercayakan
para durjana penguasa gerombolan yang mengacungkan bayonet ideologi kelompok
sajak bagi kepentingan gerombolannya. Lelaki itu bukan lelakinya masih mengorok
menyisakan ngilu seusai pergumulan dalam debat kritik sastra berkelas taring
kuda dan sekarang dinantinya pintu imaji diketuk petugas hotel yang tentunya
ditemani polisi dan paramedis untuk memastikan kematian tokoh fiktif dalam
karya yang selesai dibantai kritiknya. Kritik yang menggunakan baju liyan yang
bercorak menyerang tanpa sungkan-sungkan. Mendengar cerita sehari-hari
mendengar puisi yang belum bunyi terkunci diksi dan metafora buta juga
majas-majas liyan yang tersesat pada teori klasik linguistik yang senantiasa
bicara fonem, morfem, suprasegmental juga intertekstualitas yang bagai keong
merah merayapi dinding kolam menempelkan telur-telurnya hingga terhangati
matahari.
Kritik membuat marah. Membuat gundah dan kacau semua
rencana yang tersusun padat. Pagi juga mulai menghidangkan kritikan pedas
serasa makanan cepat saji di warung nasi terbakar matahari. Gorengan suhu
menciptakan gejolak kopi panas tanpa gula cukup dan creamer yang wangi.
Bogor, 2018
BULAN
BERSARUNG KARDUS
cuaca bergerak lunglai memasuki
perkampungan
dijejaki penanda arah kabur di sudut langit
bulan Juni tinggal bayangan sepotong
membeku di ujung waktu
puisimu belum tegak lurus dengan laman
bergumul dalam pasir pantai bersama
umang-umang patah sayap
terpatuk ombak laut selatan menggelorakan
kisah
petualang lazuardi dalam kapal terbang Nabi
Nuh bertenaga angin
musim menceraikan serpihan airmata duyung
mitos kegelapan samodra perkasa perawat
petaka
sepi memukul-pukulkan bayang kardus
terseret gelombang
Bogor,
2018
BULAN
DI LUAR PUISI
liar diksi pijar bakar imaji penyair
menggosongkan antologi puisi
potongan koran cetak usang yang hilang
tergulung kabar di serat optik
fantasi pendar televisi
mengendap-endap memusatkan bisa tuannya
dipatuk di leher hujan sebotol beer niralkohol
usai memorakporandakan nasi kucing di
Angkringan Minto
dibedahnya perut kampus kuning dengan pisau
Deridda yang dikempitnya
sejak menaiki kereta kayu dari pabrik gula
Kumbangsari
berputar menerjang pantai berkarang
menyarangkan jazat
riwayat manusia sekarat menggenggam cemas berkarat
di meja kaisar bola judi diputar menggantung pecundang
darah hanya senilai berita rontal di jaring laba-laba hitam
airmata mendanau cekung menghisap cerita
perjalanan pangeran bianglala
dijemput salam pengembala domba di padang
menggerimiskan puisi-puisi magis yang
menyihir kota
penuh grafiti bergambar rajah kaki gajah
perang telah menegakkan tiang sendi
hingga gaung marwah meruah melimpah
ribuan ruang ibadah terserak menampung jamaah
Bogor,
2018
BULAN
DITUSUK PILKADA
sebutir telur bebek pecah di loyang
martabak istimewa
porak-poranda usai pesta menjaring selera
pojok angkringan Ngayojakartan
martabak manis dilumur creamer
taburan serapah terlindas
jejak amarah bebek rawa kehilangan kolam
bermain gundu warna belimbing Semarangan
Bogor,
2018
Tentang Penyair
Cunong Nunuk Suraja, lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1951, pensiunan pengajar
yang sekarang tinggal di Bogor. Buku puisi tunggalnya My Beloved Nite
(2016). E-mail cnsuraja@yahoo.com