Mencari
Sosok “Monster”
dalam Rumah Perawan
Identitas
Buku
Judul : Rumah Perawan
Penulis : Yasunari Kawabata
Penerjemah : Asrul Sani
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan : Pertama, Juli 2016
Ketebalan : 115 halaman
ISBN : 978-602-424-120-9
Saat mendengar
istilah “monster”, lazimnya yang muncul dalam benak adalah hal yang
menyeramkan, bengis, memiliki sifat jahat, dan merupakan musuh yang hendaknya
disingkirkan. Manusia, dalam nalar yang normal, tak selayaknya hidup berdampingan
dengan monster. Monster berkait-erat dengan konstruksi tubuh yang tidak biasa
atau aneh, memiliki sifat yang membahayakan, dan mengancam keberadaan manusia
itu sendiri. Monster secara alamiah merupakan musuh yang harus dikalahkan. Ia,
barangkali adalah antitesis bagi manusia itu sendiri. Setidaknya, demikianlah
pandangan awam.
Membicarakan
konstruksi monster (monsterisasi) dalam kehidupan bukanlah sesuatu yang baru,
bahkan dalam karya-karya sastra yang bersentuhan dengan manusia (dibacanya),
monster sering kali hadir sebagai tokoh yang diposisikan sebagai oposisi biner
(antagonis) dari tokoh utama semacam pahlawan (protagonis) misalnya. Hal
demikian sangat lazim dilakukan oleh banyak penulis. Tokoh protagonis bertugas
untuk mengalahkan monster, memastikan monster tidak lagi memiliki kuasa atas
kehidupan manusia. Setelah monster dikalahkan, maka alur novel diasumsikan
telah berakhir dengan bahagia (happy
ending). Kemenangan mutlak untuk manusia.
Kendati
demikian, ada pula pertanyaan yang kerap membayang, yang berkaitan dengan hal
tersebut: “Apakah monster selalu dinarasikan dengan bentuk tubuh yang
mengerikan?”; dan “Apakah manusia sejatinya juga dapat dikonstruksikan sebagai
monster?”
Monster dalam
karya sastra tidak sepenuhnya dan selalu dinarasikan sebagai mahluk yang
memiliki taring, bentuk tubuh yang tidak lazim seperti mutan, atau memiliki
aura yang menyeramkan. Monster dapat menyerupai manusia, apabila manusia
tersebut dianggap keluar dari tatanan norma yang mengikat. Manusia yang
dianggap liar dan amoral misalnya, merupakan contoh dari narasi monster.
Jika ditarik ke
dalam lensa feminisme, tentunya pembahasan mengenai manusia dan monster cukup
menggelitik. Terlebih kajian ini telah diangkat oleh seorang ahli bernama Rosi
Braidotti, dalam bukunya yang berjudul Nomadic
Subjects: Embodiment and Sexual Difference in Contemporary Feminist Theory (2011).
Seperti telah
disebutkan sebelumnya, manusia yang liar dan amoral dapat dikategorikan sebagai
“monster”: sebuah citra ketika manusia tidak lagi mengikuti tatanan berupa
norma sosial yang telah berlaku. Apabila berbicara tentang citra dan tatanan
sosial, maka perempuan adalah kaum yang selalu dinarasikan sebagai jenis
kelamin kedua (second sex)
dibandingkan jenis kelamin yang selalu dianggap sebagai yang utama, yakni
laki-laki. Perempuan begitu lekat dengan inferioritas, yang notabene menjadikan
perempuan sebagai gender yang tidak dapat lepas dari pandangan laki-laki.
Dalam dunia
kesusastraan, umumnya para perempuan dinarasikan oleh laki-laki. Perempuan diposisikan
sebagai objek yang diceritakan.[1]
Perempuan adalah mereka yang “ditetapkan”, “ditentukan”, atau “ditempatkan”,
sehingga tidak memiliki daya untuk melakukan self-definition.[2] Akibatnya, perempuan dituliskan sebagai
manusia lemah dan tidak berdaya, atau perempuan liar dan amoral (monster) yang
memberontak dari norma sosial. Contoh karya sastra yang “memainkan” narasi
monsterisasi ini adalah salah satu novel garapan Yasunari Kawabata, yang dalam
bahasa Indonesia diberi judul Rumah
Perawan, dan diterbitkan oleh Penerbit KPG pada Juli 2016 silam.
Citra
Perempuan dalam Rumah Perawan
Novel Rumah Perawan berkisah mengenai para
pria tua yang berkunjung ke rumah gundik untuk tidur dengan perawan, sebagai
pengenang kemanisan masa remaja mereka. Tokoh utama dalam cerita ini, Eguchi,
berkunjung ke tempat tersebut karena merasa bosan dengan masa tuanya. Ia
menemukan kembali gairah hidup ketika menginap semalam bersama
perempuan-perempuan tersebut. Eguchi diceritakan telah berkunjung sebanyak lima
kali, dan meniduri lima perempuan yang berbeda.
Sebelum ia
bertemu dengan para perawan yang hendak ditidurinya, Eguchi selalu berbincang,
bernegosiasi, dengan perempuan penjaga penginapan selaku perantara. Perempuan
tersebut dinarasikan oleh tokoh Eguchi sebagai perempuan yang misterius,
dingin, berperilaku tenang, namun memiliki kesan agung yang terpancar lewat
sorot matanya, sehingga Eguchi selalu ingin menundukkan wajah ketika berhadapan
dengannya. Perempuan tersebut menyambut tamu yang datang dengan hidangan teh,
kemudian mengantarkan mereka ke kamar. Perempuan penjaga selalu memperingatkan
Eguchi agar jangan sekali-kali berusaha membangunkan para perawan yang tertidur
lelap, sebab usahanya akan sia-sia lantaran mereka takkan terbangun. Mereka,
dipastikan tidak akan tahu identitas tamu laki-laki yang menggunakan jasanya.
Pada pengalaman
menginap perdananya, Eguchi menyadari bahwa perempuan yang ia tiduri telah
meminum obat tidur yang bersifat keras, sehingga akan tertidur untuk
seterusnya, tak peduli seberapa kuat Eguchi mengguncang tubuh mereka. Di dalam
kamar (bernuansa) merah tersebut, perempuan penjaga juga menyiapkan dua butir
obat tidur untuk Eguchi. Meskipun sempat ragu, Eguchi akhirnya meminum obat
tersebut dan mendapatkan pengalaman yang menyenangkan. Ia mengenang para
perempuan yang pernah ia tiduri semasa mudanya. Eguchi menemukan hasrat yang
telah lama ia lupakan—dan hal itulah yang telah memancing Eguchi untuk kembali,
kembali, dan kembali lagi ke penginapan tersebut.
Selain perempuan
penjaga, perempuan perawan yang menjadi teman tidur Eguchi dituturkan sebagai
subjek yang terus “berdiam diri”. Mereka bergeming, tak melakukan apa pun
kepada Eguchi. Meskipun demikian, para perempuan tersebut berhasil memicu
kenangan-kenangan muda Eguchi melalui kulit yang halus, aroma, dan bentuk tubuh
yang menawan. Kelima perempuan tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda,
sehingga Eguchi pun selalu memiliki deskripsi yang menarik mengenai teman
tidurnya tersebut, seperti: “Bahwa
perempuan sihir ‘yang berpengalaman’ ini masih seorang perawan, bukanlah hasil
dari hormat lelaki-lelaki tua itu pada janji yang sudah mereka berikan, tapi
lebih lagi merupakan gejala dari keruntuhan mereka. Kemurnian gadis ini adalah
ibarat dari keburukan orang-orang tua itu.” (hlm. 40).
Perempuan
sebagai Monster
Penarasian
Kawabata dalam novelnya telah menunjukkan bahwa para perempuan yang Eguchi
temui di penginapan, diposisikan sebagai objek, di mana gadis-gadis yang
tertidur dengan lelap tanpa sengaja memicu kenangan-kenangan masa lalu dari
lelaki tua yang meniduri mereka. Mereka dianggap sebagai titik tolak (penanda)
bagi romantisisme dan aktivitas nostalgia para lelaki tua: mereka yang
sebelumnya memiliki gairah dan hasrat hidup yang kuat dan liar, namun pada
akhirnya hilang karena termakan usia senja. Perempuan di dalam novel
digambarkan hanya tertidur telanjang, tidak dapat berinteraksi dengan para
lelaki tua, sehingga mereka pun tidak memiliki kuasa atas tubuh mereka sendiri.
Sedikit
berlainan, bahwa tokoh perempuan penjaga adalah satu-satunya perempuan yang
dapat berkomunikasi dengan Eguchi. Eguchi sendiri terkesan menaruh benci
terhadapnya, sebagaimana dalam kutipan berikut: “Perempuan itu ketawa. Dalam tawanya itu kedengaran sesuatu yang hanya
ada pada iblis.” (hlm. 91).
Terlihat di
atas, bahwa dalam pendeskripsian rasa tidak nyamannya, Eguchi membandingkan
sang tokoh dengan iblis—seperti
perbandingan untuk menjelaskan aura misterius dari penjaga tersebut. Upaya
Eguchi menyamakan seorang tokoh perempuan dengan iblis merupakan sebuah
konstruksi monster, di mana sosok perempuan penjaga dianggap memiliki sifat
menakutkan dan liar, yakni kebalikan dari konstruksi gadis-gadis perawan yang
lemah dan tidak berdaya.
Eksisnya
monsterisasi dalam karya sastra tidak luput dari ide-ide maskulin (maskulinitas)
penulis yang menarasikannya. Dalam Rumah
Perawan, dengan jelas Kawabata telah menarasikan perempuan sebagai objek
seksual, yang sewajarnya dipandang sebagai penghibur bagi laki-laki, sehingga
gadis-gadis perawan ini digambarkan memiliki cantik, berkulit lembut,
berpayudara penuh, dan lain sebagainya. Namun, perempuan penjaga tidak memiliki
narasi tersebut. Ia hanya digambarkan sebagai perempuan yang misterius dan
memilikit mata hitam nan tajam. Sikapnya cenderung tegas ketika mengingatkan para
tamu lelaki tua, agar tidak membangunkan para gadis. Dengan demikian, perempuan
penjaga inilah satu-satunya tokoh yang dianggap keluar dari citra perempuan
dalam novel tersebut. Ia dapat berkomunikasi, serta memiliki kuasa terhadap
penginapan, sehingga dirinya dapat dikategorikan berbeda dengan
perempuan-perempuan yang lain. Sederhananya, perempuan penjaga adalah subjek
yang mewakili citra dari makhluk yang orang-orang sepakati sebagai “monster”.
Braidotti
menulis dalam bukunya bahwa, “When this
enfleshed material, moreover, is of an anomalous, deviant, or abnormal nature,
it becomes a crucial test for logocentric accounts of concrete differences.”[3]
Sesuatu yang menyimpang akan dianggap aneh, dan berkaitan erat dengan
reproduksi istilah monster pada perempuan. Karakter penjaga perempuan sejatinya
telah dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari citra perempuan itu sendiri. Ia
tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis perawan yang menjadi objek seksual para
lelaki tua dalam karya Kawabata, yakni para perawan yang pure mewakili citra perempuan yang diinginkan oleh kaum laki-laki.
Sebaliknya, perempuan penjaga juga bukan citra ideal, sehingga ia disebut oleh
Eguchi sebagai iblis: sosok perempuan yang menakutkan.
Meskipun
demikian, pertanyaan yang muncul berikutnya: “Apakah sesungguhnya tokoh
perempuan penjaga dapat disebut lebih bebas dibandingkan dengan gadis-gadis
perawan?” Senyatanya tidak.
Perempuan
penjaga, kita pahami, memang memiliki kuasa lebih dibandingkan tokoh perempuan
lainnya di dalam novel. Ia dapat berbicara dengan para lelaki tua yang datang
ke penginapannya, bahkan lebih jauh, ia dapat menyingkirkan mayat ketika ada
laki-laki tua yang meninggal karena overdosis pil tidur yang dikonsumsinya.
Akan tetapi, perempuan penjaga juga tetap dikategorikan sebagai subjek yang
terbungkam dengan reproduksi monster di dalam dirinya. Ia tetap akan dilabeli
sebagai perempuan yang memiliki citra aneh selama ia menjaga penginapan
tersebut. Ia akan mempertahankan sikap dingin dan misteriusnya ketika menjamu
tamu laki-laki yang datang, karena ia membutuhkan tamu-tamu tersebut untuk
mempertahankan penginapannya. Tokoh perempuan penjaga, hingga lembar terakhir
novel Kawabata, senyatanya tetap dianggap sebagai “iblis” oleh para lelaki tua
yang datang bertandang ke Rumah Perawan.
[1] lihat Freidan dalam Udasmoro, W. 2017. “Women and The Reproduction of Literary Narratives in The Construction of Nation.” Dalam Litera, Vol. 16, No. 2, Oktober 2017, hlm. 180–188.
[2] lihat Braidotti, Rossi. 2011. Nomadic Subjects: Embodiment and Sexual Difference in Contemporary Feminist Theory (2nd Edition). New York: Columbia University Press, hlm. 83.
Margaretha Finna Calista, lahir di Lampung, Januari 1996. Alumnus program studi Pendidikan
Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Magister Sastra,
Universitas Gadjah Mada (UGM). Sempat aktif menjadi pengajar paruh waktu Bahasa
Inggris. Beberapa tulisannya termuat dalam antologi paper, seperti Dari Repertoar
hingga Ideologi dalam Konstruksi Sastra (2021) dan Antara Maskulinitas dan Femininitas: Perlawanan Terhadap Gender Order
(2021). Dapat dihubungi melalui akun Instagram @finnacl dan surel margaretha.finna@mail.ugm.ac.id