Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Sajak-Sajak Arif Hidayat

Admin by Admin
24 September 2021
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter


Aku yang Mengantarkanmu

untuk Akhmad
Saufan

 

Aku pergi mengantarkamu dari sepi menjadi tiada

karena kau memiliki dunia yang lain

yang tersembunyi di balik bukit itu.

Langit mungkin akan tertawa

melihat kita dijebak oleh waktu

dan berpisah karena waktu juga

dengan perasaan masing-masing

untuk saling menjadi dingin dalam hujan.

 

Jalan-jalan itu, ingatan-ingatan itu,

aku melihatmu tumbuh dan berubah

dengan cara yang berbeda dari rumput dan pohon.

Pada setiap langkahku, detak jantungku,

ada senyummu, juga seluruh manuskrip

yang tak sempat kita abadikan

yang akan terus bercahaya di sore hari

sebelum kau meninggalkanku, tempatmu

hingga kau berada dalam kegelapan

karena kau tak nyata lagi di dekatku.

 

Pada setiap airmataku di puisi ini

masih ada mimpi yang tak sempat terwujud

untuk melacak jejak ulama Nusantara.

Dapatkah aku berjalan seorang diri

tanpa arah yang jelas di kota ini,

sementara orang-orang sibuk

bertarung dengan dirinya sendiri

dan muntah dengan kata-kata mereka.

 

Kau mungkin berpikiran sama denganku

sama-sama memikirkan senja yang pergi

sama-sama memiliki kenangan tentang laut

dengan dada yang sesak 

menahan beban doa yang menggumpal di udara.

Bahwa hidup ini sering tak terduga seperti hujan

maka tak ada yang bisa kutahan dengan angin.

Aku hanya bisa mengantarkamu pada sunyi

lewat jalan kecil di tepi sungai,

sangat jauh sekali, dan tak kembali.

Dan aku hanya bisa merindukanmu

yakin bahwa kita akan berjumpa

pada suatu masa yang lain

dengan cahaya kehidupan

yang lebih indah dari semua cahaya di dunia ini.

 

 

2018



 

Doa Pagi

 

Semoga matahari selalu bersama kita,

karena setiap cahayanya yang menerobos dari celah

ada isyarat kerinduan

dari suatu tempat yang entah.

Kau yang berangkat menyusuri jalanan,

semoga kebaikan tumbuh bersama tunas pohon kersan

dengan buah-buah yang mengobati luka di dada

tersebab dendam dan masa lalu.

Mungkin suara burung-burung, mungkin gercik air,

mungkin angan saja, di situlah aku berharap

bahwa dunia tetap utuh dengan kerendahan semesta

yang menjaga waktu tetap ada untuk kita.

Sehari tak melihatmu tersenyum

telah menjadi kegelisahan musim kemarau yang gersang.

Pagi ini, setelah sujud ini,

kubayangkan aroma tubuhmu serupa bunga kopi

di tengah hutan yang menampung berkah Tuhan.

 

Kabulkanlah rasa gelisah ini menjadi kebahagiaan di
waktu asar

sebab tak ada yang lebih baik

selain bisa bersamamu dengan memetik doa-doa

dalam buah-buah yang kita tanam pagi hari.

Aku ingin kau mengerti alasan ada kekosongan,

yakni karena doa itu adalah waktu

yang menguji kesabaran.

Sebelum matahari bergeser, aku telah tumbuh

bersama yang ada di ladang jagung.

 

 

2018



 

Yang Basah:

Sore dan Sepeda
Motor

 

Yang
basah adalah cinta

seperti
jalan-jalan yang mengalir

hingga
tak batas tentu takdir.

Dan
kau menjaga setiap tikungan,

setiap
keraguan yang menghalangi mataku.

 

Sebagai
penyair,

aku
mencintaimu dengan rasa dingin.

 

Sepeda
motorku melaju

menembus
gemuruh,

membawamu
ke meja perjamuan.

Hujan
hanya kata-kata yang berdenging,

yang
kerap mengumpat dan mendendam;

semacam
isyarat langit tak terpahami

oleh
kebajikan bumi.

 

Hidup
kita yang mengalir

adalah
jarak yang jauh

yang
mesti ditempuh

dengan
laju dan keyakinan.

 

Mulailah
kau membuat batas

untuk
mengikatku pada tepian.

Dinding
rumahku bergetar,

buku-buku
dan almari menggigil

seperti
ada petir yang menyelinap.

 

Kita
sudah tidak muda,

cinta
selalu punya usia

untuk
mencapai sagala rahasia.

Adalah
tanah yang basah

sementara
langit kadang berjubah

kadang
bercahaya.

 

Maka
aku percaya

ketika
mengantarmu menuju rumah,

mata
mesti dibentangkan.

Jawaban
akan diketemukan

tentang
hitungan hari

yang
bakal kita jalani bersama.

 

Kita
akan sama-sama mengalir

sebelum
senja, sebelum cahaya sirna,

menuju
laut yang penuh kebebasan.

 

 

2013

 


Tentang Penulis

ARIF HIDAYAT, lahir di Purbalingga pada 7 Januari 1988 dari pasangan Kodri Zaenal Arifin dan Rusmiyati. Ia besar di Desa Banjarsari RT 04/RW 07 Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah Basis, Majalah Merpsy, dan Rakyat Sultra. Kini ia tinggal di Desa Karangnanas Rt 06/Rw 02, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.Email: arif19hidayat88@gmail.com dengan No.HP:  085726564738.
Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In