Aku yang Mengantarkanmu
untuk Akhmad
Saufan
Aku pergi mengantarkamu dari sepi menjadi tiada
karena kau memiliki dunia yang lain
yang tersembunyi di balik bukit itu.
Langit mungkin akan tertawa
melihat kita dijebak oleh waktu
dan berpisah karena waktu juga
dengan perasaan masing-masing
untuk saling menjadi dingin dalam hujan.
Jalan-jalan itu, ingatan-ingatan itu,
aku melihatmu tumbuh dan berubah
dengan cara yang berbeda dari rumput dan pohon.
Pada setiap langkahku, detak jantungku,
ada senyummu, juga seluruh manuskrip
yang tak sempat kita abadikan
yang akan terus bercahaya di sore hari
sebelum kau meninggalkanku, tempatmu
hingga kau berada dalam kegelapan
karena kau tak nyata lagi di dekatku.
Pada setiap airmataku di puisi ini
masih ada mimpi yang tak sempat terwujud
untuk melacak jejak ulama Nusantara.
Dapatkah aku berjalan seorang diri
tanpa arah yang jelas di kota ini,
sementara orang-orang sibuk
bertarung dengan dirinya sendiri
dan muntah dengan kata-kata mereka.
Kau mungkin berpikiran sama denganku
sama-sama memikirkan senja yang pergi
sama-sama memiliki kenangan tentang laut
dengan dada yang sesak
menahan beban doa yang menggumpal di udara.
Bahwa hidup ini sering tak terduga seperti hujan
maka tak ada yang bisa kutahan dengan angin.
Aku hanya bisa mengantarkamu pada sunyi
lewat jalan kecil di tepi sungai,
sangat jauh sekali, dan tak kembali.
Dan aku hanya bisa merindukanmu
yakin bahwa kita akan berjumpa
pada suatu masa yang lain
dengan cahaya kehidupan
yang lebih indah dari semua cahaya di dunia ini.
2018
Doa Pagi
Semoga matahari selalu bersama kita,
karena setiap cahayanya yang menerobos dari celah
ada isyarat kerinduan
dari suatu tempat yang entah.
Kau yang berangkat menyusuri jalanan,
semoga kebaikan tumbuh bersama tunas pohon kersan
dengan buah-buah yang mengobati luka di dada
tersebab dendam dan masa lalu.
Mungkin suara burung-burung, mungkin gercik air,
mungkin angan saja, di situlah aku berharap
bahwa dunia tetap utuh dengan kerendahan semesta
yang menjaga waktu tetap ada untuk kita.
Sehari tak melihatmu tersenyum
telah menjadi kegelisahan musim kemarau yang gersang.
Pagi ini, setelah sujud ini,
kubayangkan aroma tubuhmu serupa bunga kopi
di tengah hutan yang menampung berkah Tuhan.
Kabulkanlah rasa gelisah ini menjadi kebahagiaan di
waktu asar
sebab tak ada yang lebih baik
selain bisa bersamamu dengan memetik doa-doa
dalam buah-buah yang kita tanam pagi hari.
Aku ingin kau mengerti alasan ada kekosongan,
yakni karena doa itu adalah waktu
yang menguji kesabaran.
Sebelum matahari bergeser, aku telah tumbuh
bersama yang ada di ladang jagung.
2018
Yang Basah:
Sore dan Sepeda
Motor
Yang
basah adalah cinta
seperti
jalan-jalan yang mengalir
hingga
tak batas tentu takdir.
Dan
kau menjaga setiap tikungan,
setiap
keraguan yang menghalangi mataku.
Sebagai
penyair,
aku
mencintaimu dengan rasa dingin.
Sepeda
motorku melaju
menembus
gemuruh,
membawamu
ke meja perjamuan.
Hujan
hanya kata-kata yang berdenging,
yang
kerap mengumpat dan mendendam;
semacam
isyarat langit tak terpahami
oleh
kebajikan bumi.
Hidup
kita yang mengalir
adalah
jarak yang jauh
yang
mesti ditempuh
dengan
laju dan keyakinan.
Mulailah
kau membuat batas
untuk
mengikatku pada tepian.
Dinding
rumahku bergetar,
buku-buku
dan almari menggigil
seperti
ada petir yang menyelinap.
Kita
sudah tidak muda,
cinta
selalu punya usia
untuk
mencapai sagala rahasia.
Adalah
tanah yang basah
sementara
langit kadang berjubah
kadang
bercahaya.
Maka
aku percaya
ketika
mengantarmu menuju rumah,
mata
mesti dibentangkan.
Jawaban
akan diketemukan
tentang
hitungan hari
yang
bakal kita jalani bersama.
Kita
akan sama-sama mengalir
sebelum
senja, sebelum cahaya sirna,
menuju
laut yang penuh kebebasan.
2013