LETUPAN
KEMBANG API DI KEPALA IBU
Sudah
terlalu banyak kembang api meletup di kepala Ibu. Sejak Ibu bersuami dan
memiliki banyak anak, sampai Ibu ditinggal Ayahmu, dan anak-anak Ibu
meninggalkan Ibu, kembang api di kepala Ibu tidak pernah padam. Ibu tak
berharap kamu datang. Ibu tak pernah berharap kau bawakan Ibu kembang api yang
mahal ini.
Badan ringkihnya tertatih-tatih
melangkah menjauh dari anak sulungnya. Wajahnya kini semakin muram. Mungkin
kembang api di kepala Ibu semakin ramai. Atau mungkin saja wajah anak sulungnya
mengingatkannya pada suaminya yang meninggalkannya. Malam ini dia memilih untuk
bergegas tidur dan mengacuhkan anak sulungnya yang datang dari kota.
***
Di
desa, nasib gadis bagaikan Siti Nurbaya. Begitulah dengan diriku. Hari ini Ayah
menjodohkanku dengan juragan sapi yang telah memiliki tiga istri. Ibuku tidak
sanggup menghalangi niat Ayahku, karena Ibu tahu Ayah memiliki banyak hutang
pada juragan sapi itu. Sedangkan aku, aku sendiri pasrah. Bukan karena mau.
Tapi karena aku satu-satunya gadis yang belum menikah di desa ini. Pria yang
aku cintai telah menghamili sahabatku. Sedangkan pria desa lainnya takut
denganku.
“Yun,
sudah siap belum kamu. Juragan Irwan sudah menunggu.”
“Iya
Pak. Sebentar.”
Aku
bergegas pergi ke ruang tamu dan menemui Juragan Irwan sekeluarga. Semua
menatapku dengan aneh. Tidak ada senyum atau bersapa kali ini. suasana hening
ini membuat bingung diriku. Sampai akhirnya Ayah mendekat dan berbisik padaku.
Kamu
itu mau dilamar bukan disuruh motong kayu atau nyembelih ayam. Ngapain kamu
bawa golok di pinggangmu. Bikin malu saja. Taruh sana golokmu.”
“Tapi
Ayah, golok ini memang selalu di pinggangku. Aku tidak bisa berpisah dengan
golokku.”
“Ayah
suruh kamu taruh ya taruh. Jangan banyak bicara.”
Aku
kembali ke kamar dan menaruh golokku. Rasanya sungguh canggung berjalan tanpa
ada golok yang menemaniku. Tapi apa daya, Ayahku sudah marah padaku. Padahal
dia sendiri yang mengajarkanku sejak kecil membawa golok ke mana-mana.
***
“Maafkan
putri kami yah. Dia memang anaknya begitu. Tapi saya janji, setelah perjodohan
ini Yunda tidak lagi membawa goloknya kemana-mana.”
“Iya
Bu, tidak masalah. Itu Yunda sudah kembali. Kita mulai saja yah.”
Perjodohan
langsung dimulai. Tanggal pernikahan pula langsung ditentukan. Yunda dan
Juragan Irwan akan menikah minggu depan. Dalam diskusi tersebut, juragan Irwan
selalu saja menatap manja Yunda. Tapi Yunda tidaklah membalas tatapnya. Yunda
hanya sibuk dengan kertas dan penanya. Entah apa yang sedang ditulis Yunda kala
itu.
Semenjak
perjodohan itu Yunda tidak boleh keluar kamar. Ia harus menjalani tradisi
keluarga dengan mendekam diri di kamar. Hari-harinya tentu membosankan. Di
kamar ukuran 3 x 4 meter ini, Yunda hanya bisa membaca buku dan menulis puisi.
Iya itu kesehariannya sekarang. Golok yang biasa menemaninya berburu kelinci,
memetik kelapa, menyembelih ayam, bebek, dan biasa menemani kemana Yunda pergi
kini telah diambil Ayahnya. Dan membuat ia benar-benar seperti kehilangan
sebagian dari hidupnya.
***
Rumahku
yang kumuh kini telah mewah dengan dihiasi berbagai hiasan pernikahan. Aku yang
tidaklah cantik kini menjadi seorang putri. Sedangkan Juragan Irwan tengah
menunggu di pelaminan. Apa yang harus aku ceritakan tentang dia. Dia begitu
tampan menjadi seorang pengantin. Aku langsung mendekatinya dan duduk di
sampingnya. Akad pernikahan pun segera dimulai. Dan kini, aku sah menjadi istri
Juragan Irwan.
Pesta
penikahan kami adakan tiga hari tiga malam. Kami adakan pagelaran wayang, kuda
lumping, dan juga sintren. Semua
warga ramai berdatangan dan tak lupa juga ada banyak pedagang memenuhi
pinggiran jalan. Mulai dari pedagang rokok, jagung bakar, es, jajanan, bakso,
soto, dan banyak lainnya ikut meramaikan perayaan kami.
Setelah
perayaan selesai, aku dibawanya pergi ke rumahnya. Rumahnya begitu mewah dan
megah. Mungkin aku beruntung menikah dengan Juragan Irwan. Atau mungkin aku
tidak beruntung menikahinya karena aku harus serumah pula dengan ketiga
istrinya.
“Ini
kamarmu sekarang”
“Iya
mas. Mas, kalau boleh tau ketiga istrimu di mana?”
“Aku
suruh mereka liburan ke Bali untuk sementara. Jadi kita di sini hanya berdua”
Sampai
saat ini aku masih terheran-heran. Usia suamiku jauh lebih muda dari aku tapi
dia memiliki tiga istri. Sedangkan aku, di usia sekarang aku baru menikah.
Sudahlah, semoga ini bukan pilihan yang salah.
***
Dua
puluh tahun sudah usia pernikahannya. Dua puluh tahun ia menderita. Dua puluh
tahun pula ia merasakan sakit hati karena setiap dua tahun suaminya pula
menikah lagi dan lagi. Anak-anaknya tidak pernah tahu akan tingkah Ayahnya.
Mereka hanya tahu Ayahnya bekerja di kota dan hanya pulang setahun sekali saat
tahun baru.
Tahun
baru menjadi hari bahagia untuknya dan anak-anaknya. Itu karena ia sendiri yang
memilih untuk pindah rumah dari rumah dulu yang penuh dengan istri-istrinya.
Sejak kelahiran anaknya yang terakhir ia memilih untuk pindah rumah. Maka dari
itu suaminya hanya berkunjung saat tahun baru saja.
Tepat
di hari ini suaminya berkunjung. Ia pula menyiapkan berbagai makanan. Tidak
lupa pula ia membersihkan taman untuk bermain kembang api nanti malam. Setiap
suaminya pulang tentulah ia membawa banyak kembang api yang mahal dari kota.
Dan saat ia sudah selesai melakukan persiapan, ia terduduk menunggu suaminya
datang. Tak lama kemudian ada mobil memasuki halaman rumahnya sambil
membunyikan klakson.
“Yunda, anak-anak, Ayah
kembali”
Anak-anaknya berlarian
menemui Ayahnya. Mereka begitu bahagia. Sedangkan ia masih terduduk menatap
anak-anaknya yang berebutan mencium tangan Ayahnya.
“Ayah bawa kembang api
tidak?”
“Menurut kalian?”
“Bawa. Hore,” sorak
anak-anakku dengan riangnya.
Malam pun tiba. Mereka
beramai-ramai ke taman menyalakan kembang api. Langit pula kini ikut ramai.
Banyak kembang api yang mewarnai gelapnya. Yunda bahagia, anaknya bahagia, dan
suaminya terlihat pula bahagia. Seandainya bisa, ia ingin setiap hari tahun
baru agar ia bisa bahagia menjalani hari selalu bersama anak dan suaminya di
rumah ini.
Sayang sekali, hari
esoknya suaminya harus pergi kembali. Yunda dan anak-anaknya harus menunggu
setahun lagi untuk bertemu dengannya. Sebelum suaminya pergi, ia mencium
tangannya dan memeluknya. Entah mengapa kali ini ia meneteskan air mata. Yunda
mengapus air matanya dan menyuruh anak-anak memeluknya. Lalu, ia pergi dengan
mobilnya. Yunda dan anak-anaknya melambaikan tangan sampai mobilnya tak lagi
terlihat.
***
Sudah
tahun kesepuluh suaminya tak datang. Anak-anaknya pula telah merantau ke kota
sejak dua tahun lalu tidaklah pulang. Ia kini hanya sendiri di rumah. Setiap tahun
baru ia hanya habiskan dengan duduk di teras sambil memandang kembang api di
langit. Ia selalu ingat anak-anak dan suaminya kala itu. Sepuluh tahun lalu
adalah tahun baru terakhirnya bersama suaminya. Tahun baru terakhir yang ia
rayakan dengan kembang api. Dan sekarang ia benci dengan kembang api. Karena ia
hanya bisa melihatnya dari jauh tanpa memilikinya. Sejak dulu, kembang api di
kepalanya lebih ramai. Membuatnya selalu berapi dan muram karena hari kian tak
adil dibuatnya.
*Pernah
dimuat di Pikiran Rakyat, 12 Januari 2020
Tentang Penulis
Dewi
Sukmawati lahir di Cilacap, 21 April 2000.
Sekarang sedang menempuh pendidikan di IAIN Purwokerto Fakultas Ekomoni dan
Bisnis Islam jurusan Perbankan Syariah. Dia aktif di KSEI IAIN Purwokerto dan
hobinya menulis. Beberapa karyanya dimuat di Koran Media Indonesia, Pikiran
Rakyat, Suara Merdeka, Radar Banyumas, Merapi, Radar Cirebon, Rakyat Sumbar,
Bangka Pos, Suara NTB, Malang Post, Simalaba.Net, Kabar Madura, DinamikaNews,
dan Nusantara News. Alamat di Desa Tambakreja Rt 02 Rw 01, Kecamatan
Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Email: sukmawatid608@gmail.com.