Dewi Sukmawati: Usaha
Memerdekakan Puisi
/1/
Apakah penyair sebagai
kreator tidak dapat lepas dari persinggungan puisi penyair lain? Mestinya
pertanyaan demikian tidak perlu diajukan. Puisi seorang penyair menjadi semacam pemantik bagi lahirnya puisi dari penyair lain. Seorang penyair bisa saja
tersulut ide menulisnya sehabis membaca sebuah puisi gubahan penyair lain. Atau
bisa juga seorang penyair ingin ‘babad alas’ atas
mahakarya penyair lain, bertolak dari puisi-puisi yang dibaca dan diamatinya.
Artinya, penyair tersebut ingin
mengembangkan wacana baru dalam puisi-puisinya.
Baik perihal bentuk puisi maupun tema puisi.
Berhadapan
dengan puisi-puisi perempuan penyair Dewi Sukmawati saya menemukan gejala ‘babad alas’. Ia melalui puisi-puisinya
menunjukkan sebuah usaha untuk berkonsisten
dalam mengubah puisi-puisinya. Kekonsistenan itu terlihat dalam penggunaan
tanda baca koma (,) sebelum ia mengatur enjabemen.
Kita pahami bahwa fungsi enjabemen—salah satunya—membubuhi puisi agar kian
estetik. Praktik ini hampir merata dalam puisi-puisinya, khususnya keempat belas puisi yang saya terima.
Dapat diduga penyair bukan tanpa sengaja membubuhkannya. Bahkan mungkin tidak hanya untuk alasan
estetis namun sebuah usaha untuk
membangun kecirian atas puisi-puisinya. Berikut saya ambilkan contohnya.
Perselingkuhan malam terjadi
Di kala aku bebincang, pada
Mimpi-mimpi usia pernikahan
Aku dan malam, kini
(Puisi
“Tangisan Bintang”)
Sudah aku duga, kau koma
Berhenti sejenak, meniup Bangkai
Di antara air dan tanah
Saksi penjemputan, di balikmu
(Puisi “Di Balik Tanda”)
Kurayu bersama tanah, dan
Kupaksa terkubur, untuk dia
(Puisi “Rintik Kias Cahaya”)
Memang sudah lazimnya setiap penyair
ingin membangun jati diri dalam setiap puisi yang ditulisnya. Kekhasan tersebut
nantinya diharapkan bisa menjadi pembeda antara karyanya dengan karya dari penyair
lainnya. Pencarian bentuk puisi sesungguhnya
adalah hal sulit. Kita bisa membayangkan bagaimana Chairil Anwar mendobrak
bentuk puisi dari para pendahulunya. Ia kemudian kita kenal sebagai pembaharu puisi
Indonesia modern. Usaha Chairil diteruskan oleh para penyair kita. Dengan usahanya masing-masing. Boleh jadi ada
yang terkesan cukup berhasil, dan ada pula yang terkesan belum.
Lalu bagaimanakah
dengan usaha pencirian yang coba dibangun
penyair Dewi Sukmawati? Tentu saya tidak
dalam rangka menyepadankan Chairil dengan Dewi Sukmawati. Saya
hanya menangkap kesan usaha
keras Dewi mencirikan puisi-puisinya dari
penyair lain. Setidaknya Dewi tengah
menempuh jalan menjauhi epigonisme. Ia tidak menginginkan dirinya terjebak dalam persamaan
dengan penyair lain yang pernah ia baca. Sekalipun memang hal ini tidak haram.
Tetapi sekali lagi Dewi sedang berusaha berbeda dengan penyair lain yang seolah
mengepung proses kreatifnya. Sementara ini Dewi terlihat nyaman dengan
bentuk ungkap puisi yang dianutnya
itu. Pembuktiannya bisa ditengarai lewat kekonsistenannya menggunakan bentuk
sebagaimana saya sebut di atas. Meski memang terkadang kelihatan memaksakan dan terkesan kurang tepat. Kita
simak kutipan berikut.
Kudengar
saat malam membuta
Jantungmu
berdetak, dengan kencang
Nafas
terengah-engah, dan kau
Mengambilku
dengan penuh gemetar
….
(Sajak Sikat Bajumu)
Pembaca bisa saja mengartikan dua
maksud pada baris puisi yang saya tebalkan di atas. Maksud pertama bisa berarti
jantungmu berdetak, dengan kencang atau dengan kencang nafasmu terengah-engah. Ihwal
penafsiran menjadi kemerdekaan pembaca tentu saja. Tetapi sebelum jauh ke tahap
itu, di tahap awal membaca rasanya saya menemukan ketidaklancaran, bahkan
mungkin keganjilan, sebab mau dibaca menggunakan model pertama atau kedua.
Andai saja pembaca seperti saya boleh protes bolehkah penyair hanya menuliskan jantungmu berdetak kencang apabila yang
dimaksud kencang ada detak jantung. Sedangkan jika yang dimaksud dengan kencang nafas terengah-engah bolehkah
cukup ditulis nafas terengah-engah. Tetapi
sekali lagi, penyair sebagai dalangnya. Sementara saya sekadar penonton yang
menikmati.
/2/
Apakah puisi hanya mempersoalkan bentuk saja? Setiap
puisi memang bukan mempersoalkan bentuk saja. Ada hal inti lagi berupa pesan
dari puisi itu sendiri. Dalam
pembicaraan ini penyair hendaknya tidak terjebak. Puisi boleh saja dianggap hanya sebagai karya seni. Syarat estetis. Pembaca akan terhibur dan senang jika
menikmati karya sastra. Tak terkecuali puisi. Di lain sisi, kita juga harus
percaya bahwa puisi hanya sarana saja untuk menyampikan pesan tertentu kepada
pembaca.
Saya
jadi teringat pernyataan penenun pemikiran Ignas Kleden. Kalau kata adalah
materialisasi, maka fungsi kata yang asli salah satunya adalah
mengkomunikasikan pikiran pembicara agar pikirannya itu kemudian diwujudkan
dalam perbuatan, khususnya oleh orang kepada siapa kata-katanya ditunjukkan. Demikianlah
keterangan Ignas Kleden dalam tulisannya Eufisme Bahasa, Konsensus Sosial, dan
Kreativitas Kita (Sikap Imiah dan Kritik Kebudayaan, 1987) ihwal kekuatan
sebuah kata.
Selanjutnya,
Ignas Kleden—masih dalam tulisan yang sama—mencontohkan ihwal kekuatan kata
lewat aktivitas komunikasi seorang kondektur bus dan sopir bus. Ketika sang
kondektur mengatakan “kiri” si sopir tanpa pikir panjang langsung menuruti
kata-kata yang dilontarkan oleh kondektur. Si sopir langsung mengerem dan
menghentikan bus yang dikemudikannya.
Inilah bukti
sederhana dari seorang Ignas Kleden perihal kehebatan kata. Kata yang memiliki
kekuatan untuk menggerakkan orang lain, bertindak berdasarkan kehendak kita.
Kata mampu mengintruksikan kehendak manusia. Tentu kita masih bisa mencari
contoh yang lain perihal ini. Penyair
misalnya, lewat kata-kata yang ditenunnya merangkai semesta gagasan untuk
disuguhkan kepada pembaca.
Menimbang
kekuatan kata-kata sebagaimana dinyatakan oleh pemikir Ignas Kleden tersebut di
atas, kiranya penyair mesti lebih sibuk menggali wacana ketimbang berakrobat
kata, bahkan berias wajah puisi saja. Semesta kehidupan ini merupakan lahan
basah buat menggali keluasan dan kedalaman wacana penyair dalam menulis puisi.
Sumur tradisi berair kearifan yang belum ditimba, persoalan kemanusiaan yang
jauh dari keadaban, spiritualitas yang tertahan gardu politik, dan berbagai
persoalan pelik dalam kehidupan ini.
Tentang Penulis
Ahmad Sultoni, lahir di Cilacap 31 Agutus 1991. Ia merupakan
alumnus Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia UNS Surakarta. Jenjang
sarjana diperolehnya di UM Purwokerto jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Ia saat ini tercatat sebagai penggerak di Komunitas Penyair
Institute (KPI) Purwokerto. Sejumlah tulisannya termuat di beberapa media
massa, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Merah Putih Pos, Republika, Harian Rakyat Sultra, Suara Merdeka,
Radar Banyumas, Satelite Post, Majalah Frasa,
Minggu Pagi, Majalah Kita, Metro Riau, Buletin Imla, Majalah Ancas, Warta
Bahari, Banjarmasin post, Majalah Candra, dll. Buku puisi anaknya
yang belum lama terbit berjudul “Dongeng Pohon Pisang” (2019). Saat ini
berdomisili di sebuah desa di pesisir Cilacap, Jawa Tengah. Ia bisa disapa
melalui ig: @ a.su_ltoni.
[1] Penulis
adalah pembelajar sastra di Komunitas Penyair Isntitute Purwokerto dan Jaringan
Sastra Telkom. Sekarang mengajar di IT Telkom Purwokerto dan Universitas
Terbuka Purwokerto. Aktif menulis sejak tahun 2011 saat mata kuliah kajian puisi
yang diampu oleh Tuan Guru Abdul Wachid B.S.
[2]Esai ini
disuguhkan dalam forum diskusi sastra Reboan Sekolah Kepenulisan Sastra
Peradaban, Selasa 18 Desember 2018.