Membaca Penyair Senja
Saya membaca puisi-puisi Dimas Indianto (Dimas Indiana
Senja—panggilan gombalnya) sungguh masih belum berubah dari ketika saya membuat
kata pengantar untuk Nadhom Cinta.
Kesan religius ditampilkan di awal, namun di belakang ia tetap memperlihatkan
kehidupan sebagai anak muda yang menyukai cinta. Dari judulnya saja, kalian
bisa melihat kata: [Nadhom] yang khas dengan puisi di kalangan pondok
pesantren, namun diimbuhi kata [Cinta]. Hal yang serupa juga terjadi pada Suluk Senja, yang manakata [suluk]
menjadi model teks yang ditulis oleh Sunan Bonang dan diikuti oleh beberapa
penulis lainnya, sedangkan kata [senja] seolah menjadi panggilan melankolis
dari Dimas.
Kesamaan itu entah disengaja atau tidak. Kalau
disengaja, itu artinya ada usaha dari Dimas untuk memunculkan konsep pertautan
religius dan cinta dalam puisinya. Kalau tidak sengaja (kebetulan) berarti
secara tak sadar Dimas telah meletakkan konsep kebahasaan yang menjadi
impiannya. Bagaimanapun, sebuah judul adalah representasi dari penamaan, yang
juga merupakan identitas. Judul dipilih berdasarkan sebab-sebab, misalnya
supaya laku, supaya dibaca oleh orang, supaya menarik, dan semacamnya.
Sebagai penyair yang melabelkan diri dengan sebutan
“senja”, Dimas berusaha untuk menampilkan suasana sepi di dalam puisi,
kesedihan, dan pencarian yang berujung pada kegelapan. Ia mengatakan bahwa
“dalam sunyi yang debar, aku bisa menghitung jumlah/ denyut jantung kita yang
bersahut, sesekali detak jarum jam dan dercak cicak menyela di mata/ kita
saling bertatap. sementara mulut kita/ masih saja diam, hanya air mata yang
bicara lewat/ tepian mata sayumu itu”, maka jelas sudah dalam sunyi itu dia
patah hati. Pisah Broo… Duh kasihan. Saya jadi ingat, film Kera Sakti,
“beginilah cinta, deritanya tiada akhir.” Dan dunia seperti berakhir ketika
matahari tenggelam. Dan kau tahu, bahwa matahari akan terbit lagi besok pagi
begitu juga dengan Dimas yang akan terbit lagi besok pagi. Senja juga akan
berakhir dengan kegelapan.
Yang sedikit berbeda dari Dimas, sekarang dia sudah
populer. Ya, terkenal begitulah. Sudah kenal Acep Zamzam Noor, Heru Emka,
Sosiawan Leak, Hari Leo AER, dan Iman Budhi Santosa. Kepada mereka-mereka
yang mengesankan, Dimas berusaha untuk menuliskannya menjadi puisi. Tetapi
dalam pertemuan dengan mereka pun ternyata, juga tidak lepas dari perbincangan
tentang doa dan cinta. Dimas menyebut pertemuan mereka sebagai “atas apa yang
kita namai/ cinta, dalam beranda rumah doa.” Pertemuan dirasa oleh Dimas
menjadi moment puitik untuk menampilkan ekspresi diri atau setidaknya untuk
catatan
Barangkali yang membuat konsep puisi-puisi Dimas tidak
lepas dari suasana melankolik karena dia tidak bisa melupakan beberapa kenangan
dalam pertemuan tersebut. Ia sangat menghayati pengalaman-pengalaman itu hingga
dituangkan dalam puisi dengan bahasa yang tertata. Dalam puisi Nocturno 1 untuk
Fitrilya Anjarsari, dan Nocturno 2 yang diperuntukkan bagi Aulia Nur Inayah. Apa
itu Nocturno? Ingatlah pada hewan nokturnal, yakni hewan yang beraktivitas pada
malam hari. Saya tidak sedang menyamakan Dimas yang sering bergadang dengan
hewan malam, tapi maksudnya dalam puisi tersebut orang-orang tersebut sudah
gelap (malam), atau berlalu. Sebagai penyair senja, malam memeng dekat. Ia
bilang: “malam telah genap mencabik dadaku sedemikian rajam./ dingin
mengekalkan sesal hingga fajar
entah ke/ berapa. aku menyusun hurufhuruf untuk memulai sebuah perbincangan,
sekalipun waktu/ belum mengizinkanku untuk melipat nestapa dan/menyusun
serpihan doa di lengkung alismu.” Jadi, malam itu menyiksa Dimas, dan membuat
tercabik. Ia pun menyesal. Begitu ungkapnya di dalam puisi.
Puisi ditulis dengan menyuarakan peristiwa imajinatif
seorang penyair. Bisa saja yang ditulis itu benar, realitas yang dibakukan
melalui bahasa yang multi-tafsir. Bisa saja peristiwa yang ditulis itu hanya
angan-angan dari si Penyair saja, yakni tatkala idealitas atas realitas tak
bisa terpenuhi, maka usaha untuk memenuhinya lewat puisi. Semua masih
membutuhkan pembuktian secara mendalam dan menyeluruh sehingga dihasilkan
ulasan yang kompleks.
Namun, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa
Dimas kerap kali memadukan idiom atau kata-kata bernuansa doa dan pesantren dan
dipadukan dengan cinta? Dalam membaca perpuisian Dimas, saya tak menemukan
dimensi sufi sebagai konsep ataupun ideologi. Saya tidak menemukan misalnya, kata
anggur, mabuk, tangga, atau idiom lain yang menggambarkan pencarian jati diri.
Biasanya dalam model puisi sufi sering memadukan idiom doa dan kedekatan dengan
Tuhan melalui cinta. Di buku Suluk Senja ini
tidak. Saya justru lebih melihat berdoa karena patah hati, berdoa untuk bisa
mendekati seseorang (perempuan), atau kadang alam dijadikan sebagai metafora
atas seseorang (perempuan khususnya).
Dalam beberapa sisi, Dimas lebih banyak mengekspos
kesedihan sebagai peristiwa yang indah. Misal, ‘tanpa kusadari, airmata kita
sama banyak, ruangan masih/saja sepi, aku berteriak dalam diam, dan kau
bercerita dengan isak. Lalu kau
mendekapkan/ tubuhmu ke dadaku, kucoba mengusap rambutmu/ pelan,
detak jantung kita menyatu.” Coba perhatikan, teks yang warna hitam itu.
Berduaan, berdekapan, belum menikah, apa artinya? Namun, hal itu belum tentu
adalah kejadian yang dialami aku-lirik. Seorang penyair kadang dalam
imajinasinya, ia bisa menuliskan apa saja. Peristiwa-peristiwa yang dituliskan
oleh Dimas bisa saja adalah sebuah realita, bisa saja merupakan ekspresi
kekalahan dari realita yang kemudian diwujudkan dalam puisi.
Tentang Penulis