MENCARI SAMPAH DI SEOUL
Aku mencari
sampah di Seoul
di
stasiun-stasiun dan kebun kampus
di pertokoan
dan pusat perbelanjaan
di pojokan
perkantoran dan taman-taman
di pasar
tradisional dan petak hutan
di manakah
kalian?
Aku jumpa
sampah dalam bak plastik tiga warna:
botol-botol
dan kaleng minuman
kertas-kertas
dan kardus barang
limbah busuk
dan sisa makanan
terkunci
diam dan kalian gagal berserakan
datanglah ke
pasar ikan
di manakah
kutemukan
bau keparat
dan becek jalanan?
sia-sia
mencari kalian di sana
dini hari
tadi aku melihat truk besar berderak
pelan-pelan
membawa kalian ke pusat sampah
dan
menyulapnya jadi:
rabuk pupuk,
pakan ternak, serat baju, dan kardus mainan
juga pot
bunga warna-warni dan kertas koran
datanglah ke
apartemen-apartemen pencakar langit
kolam sampah
di pojok taman
tanpa
dengung lalat beterbangan
tanpa kucing
wara-wiri gentayangan
juga tak
kujumpa
anjing
kampung mengais sisa makanan
Aku mencari
sampah di Seoul
di manakah
kalian?
bersembunyi
atau pergi diam-diam
lalu
menjelma kembali barang-barang rumah tangga.
Seoul, 9 Juli 2011
JEMBATAN CINTA SUNGAI CHEONGGYECHEON
: Yang Seung Yoon
/1/
Sejarah beku Sungai Cheonggyecheon
beratus tahun terkubur
kini mengalir kembali
tak lagi ada tembok besi
mengunci kisah suami-istri
yang kawin lari
“Hidup harus kaureguk,” katamu
Ini kisah percintaan terlarang
tentang pengantin baru gadis keluarga Kim
suami pergi di malam kedua
“Pekerjaan adalah kemuliaan dan harga diri,
kami pantang tidur,” begitulah suami berangkat ke entah
memamerkan martabat laki-laki
Di malam ketiga
Yi An-Nul, pemuda desa
menyeberangi tujuh jembatan sungai Cheonggyecheon
meracau mabuk berat
ambruk dibalut serpihan salju
“Mengapa pengantin baru tergolek di depan pintu?”
Istri masih dibekap mimpi
menyangka suami sudah kembali
Begitulah
tuhan membelokkan garis tangan
lewat sebuah pertemuan
lelaki dan perempuan
berdua dalam satu kamar
aib dan tercela
menista nama marga
wajib diganjar
sanksi dan hukum laknat
lebih kejam dari laku para pengkhianat
itulah derita panjang hidup dalam kematian
tetapi, seperti katamu: hidup harus kaureguk!
“Ayo kabur, mengubur nama
menghapus jejak kaki
mengganti suami.”
Maka, wahai para jomblo
menyeberanglah di tujuh jembatan sungai Cheonggyecheon
dan garis tangan akan mengubah nasibmu
/2/
Dinasti Joseon pada awalnya
Hanyang ibukotanya
lalu tuhan berkabar tentang hujan
tumpah meluap
sampah dan air comberan
Raja Taejong: menyulap taman-taman
menciptakan sungai bening
dan ikan-ikan kecil yang ditakuti para pemancing
denda yang tak terperi.
Ogansumun: Lima Gerbang Air dan jembatan-jembatan batu
meruntuhkan tebing dan titian kayu
Gwangtonggyo dan Hyejeonggyo
Datanglah Raja Sejeong, Sang pencipta Han Geul
huruf-huruf alam menyusup nafas para jelata
yang sibuk membaca dan menyusun kata
mengikuti sabda Sang Raja
melupakan sungai Cheonggyecheon
yang diserbu hambur comberan dan sampah selokan
aroma sengit dan kemarahan
tiba-tiba
tetangga seberang lautan datang tak diundang
menghancurkan Seoul
mengganyang Hanyang
sungai Cheonggyecheon dangkal dan memuakkan
“Selamat datang Raja Yeongjo!”
dua ratus ribu pekerja dikerahkan
puluhan ribu yang dilimpahkan
tetes-tetes keringat menguap ke udara
dan jatuh
dalam kumandang doa sutra biksu Buddha
/3/
Jembatan Supyo melintas Sungai Cheonggyecheon
lebih lima abad berdiri tabah
menjadi taman kota
tempat bermain keluarga
anak-anak bermain layang-layang
remaja berciuman
para manula mendorong keranjang bayi
melewati reuni peminum maekgoli
tahun lima puluh
orang-orang membawa peluru
Seoul menjelma kota hantu
darah pecah
mayat mengapung
aroma perang dan kematian
melayang-layang mengalir di Sungai Cheonggyecheon
di bawah jembatan cinta
yang melintang di tengah kota
yang menyisakan duka selatan—utara
Sungai Cheonggyecheon
membelah Seoul
lama tenggelam
lalu hidup kembali
membawa kisah tuhan
yang mengubah garis tangan
Sungai Cheonggyecheon
membentangkan jembatan cinta
datang dan berdoa
di sana
di antara tangis bayi dan teriakan bocah
dalam pegangan tangan dua remaja
dan nostalgia para manula
Sungai Cheonggyecheon
membentangkan jembatan cinta
Dongdaemun, 8
Februari 2010
BELUT LAUT
: Kim Dong Hoon
/1/
Sebuah
provinsi di barat daya Korea
: Jealla
Utara, Jeonju ibukotanya
mengalir
sungai: Puncheon namanya
sungai tak
seberapa besar menanamkan berkah
terkenal ke
mancanegara
berkerumun
belut bergulung-gulung
panjang dan
gemuk berseliweran
berpasangan
berdekapan, bertelur beranak
lalu
menyebar ke penjuru samudera
melewati
pantai Gochang-eup dan laut lepas
Puncheon si
belut laut berenang bolak-balik
mencari
tempat sanggama
mengajari
cara beranak-pinak
sejarah
belut
tercatat
dalam buku resep
kepala
lancip seperti ikan jeler
sepasang
sirip atas bawah
licin
memanjang sampai ekor
mata bundar
kecil ukuran kacang ijo
Puncheon si
belut laut
mewah
bergizi melebihi telur dan daging sapi
Puncheon si
belut laut
berdansa
dalam bak kaca
menabraki
gelembung-gelembung air
terpajang
depan restoran sushi
rumah makan
serba laut
dan kedai
ikan bakar
puncheon
sang primadona
santapan
lelaki jantan
penambah
tenaga kuda
/2/
Wahai
pengantin baru
suami yang
tahu diri
mengerti
hasrat istri
sampaikan
hadiah berharga
semalaman
bahagia
juga nanti
lusa
atau pada
setiap masa
maka
puncheon
jangan lupa
bakar di
atas arang batu bara
setengah
matang
puncheon
bakar, si belut laut
bungkus
dengan daun selada
tambah gimci
daun wijen selembar
taburi
irisan kecil-kecil: jahe dan laja
baluri kucujang:
sambal kacang yang tak pedas
juga bawang
putih dan cabe ijo lalabannya
acar lobak
dan genjang asinannya
dan hup!
masuk mulut
kunyahlah!
puncheon
bakar, si belut laut
santapan
para suami
esok istrimu
bangun pagi
menatap
matahari
menunggu
malam lagi
Taereung, 28 Februari 2011
SEBUAH BENDERA
Untuk Yun Hyun Sook
Dan Gun Wang Geom pada
mulanya
dari kahyangan ke istana
lalu berkelana ke desa-desa
Duka Raja Sejong
memandang alam dalam kanji cina
rakyat yang papa
seperti lalat dalam gelas
gagap dibekap aksara
lembar kertas yang sepi
kata seperti mati
kalimat penuh muslihat
lalu alam lesap dalam kanji cina
lalu kanji cina disulap jadi abjad:
Hun Min Jeong Eum
Dunia dan seisinya
jiwa yang terus berkibar
semangat bergerak
pantang diam, pantang menyerah
itulah bola bundar
Taegeukki: jiwa dan hati
merah dan biru:Taegeukwon
Yang, panas benderang:
lihatlah langit, matahari, siang, dan api
laki-laki tampan dan setia
Eum seperti embun: dingin dalam gemerlap dan gelap
itulah bumi, bulan, malam, dan air suci
beruang telah menjelma perempuan dengan
cinta seribu hati
Yang dan Eum:
angin dingin mewartakan datang salju
mawar dan kupu-kupu musim semi
lalu datang musim gugur
langit tanpa awan jauh membentang
merontokkan warna-warni dedaunan
bulan depan
orang-orang kepanasan
berkemah di pinggiran sungai Han
di empat penjuru
geon membentuk tiga tiang di kiri atas
itulah langit, musim semi, kecerdasan, dan
arah timur
empat tiang:Yi di bawah kiri
matahari, musim gugur, kesopanan, dan arah
selatan
di atas kanan, lima tiang: gam
rembulan, musim dingin, kearifan, dan arah
utara
di kanan bawah, enam tiang: gon
tanah, musim panas, keberanian, dan arah
barat.
Taegeukki: jiwa dan hati
alam mengajari gimci dan nutrisi
pakaian tebal dan tipis warna-warni
dalam kibaran bendera Taegeukki
jiwa dan hati Korea!
Seoul, 15 Agustus 2011
HARI MINGGU DI RESTORAN INCHEON
: Yun Hyun Sook
Melewati jembatan laut
hamparan lumpur dan pulau-pulau kecil
pantai menyediakan kemah para pemancing
sepetak hutan dikepung restoran serba laut
mobil memadati jalanan
berebut tempat parkir
Sebuah restoran diserbu pemburu makanan
orang-orang menunggu panggilan
menggenggam nomor meja
lima belas menit lamanya
meja-meja pendek berderet berhadapan
pelayan datang, menyajikan pancan
kompor gas dinyalakan
kuah dalam baskom
penuh sayuran bertimbunan
di antara kerang dan udang
dan gurita segar
tangannya bergerak-gerak
pelayan datang lagi
mengguntingi jemari gurita kecil-kecil
sepasang sumpit logam
mencapit potongan-potongan gurita dan sayuran
oleskan saus cabai, kecap dan wasabi
kunyahlah dan nikmati
sebentar nanti gurita menari-nari
di atas lidah yang licin dan geli
Hari Minggu di Restoran Incheon
mulutku gatal
diganggu gurita segar
yang bergerak-gerak menggoda lidah
yang menggerayangi langit-langit
lalu nyangkut di tenggorakan
Incheon, 5 Desember
2013
Tentang Penulis
Maman S
Mahayana,
lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957. Lulus Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(FSUI) tahun 1986. Sejak itu ia mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana
Universitas Indonesia.
Selain
mengajar, ia banyak melakukan penelitian dan kegiatan sastra dan budaya.
Penghargaan yang pernah diterimanya, antara lain, Peneliti berprestasi di lingkungan
Universitas Indonesia (2003 dan 2006), Juara Harapan Lomba Penelitian Ilmiah
Bidang Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (1990, 1991, 1995), Tanda Kehormatan
Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Soesilo
Bambang Yudhoyono (2005), Penulis Makalah Terproduktif di lingkungan FIB-UI (2005,
2006), Anugerah Serantau Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang di Pekanbaru, Riau (2006),
Anugerah Sastera Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) ke-5 untuk kategori
Sastera Bukan Kreatif (Non-fiksi) atas buku Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening
Publishing, 2005, Kuala Lumpur, 27
November 2007), Penghargaan Penulis Buku Teks (2007 dan 2008).
Sejumlah bukunya yang sudah
diterbitkan, antara lain:
1.
Ringkasan
dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1992), xii +
308 halaman;
2. Kesusastraan Malaysia Modern
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), xiy + 175 halaman;
3. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia
(Jakarta: Grasindo, 1997), xviii + 346 halaman;
4. Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia &
Malaysia, (Magelang:
Indonesiatera, April 2001), xiii + 301 halaman;
5. Ragam
Budaya Betawi (enam jilid), Tim penyusun bersama Ridwan Saidi,
Yahya Andi Saputra, Rizal, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Pemda
DKI, 2002);
6. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta:
Bening Publishing, 2005), ix + 502 halaman;
7. Bermain dengan Cerpen (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2006), xiii + 385 halaman;
8. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta:
Grafindo, 2007), ix + 436 halaman;
9. Bahasa Indonesia Kreatif
(Jakarta: Buku Pop, 2008);
10. Pantun Betawi, Tim
Penyusun bersama Yahya Andi Saputra, Moh. Guntur Elmogas, Rudy Haryanto
(Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Jawa Barat, 2008), xx + 284 halaman;
11. Pengarang Tidak Mati
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2012), 352 halaman;
12.
Kitab
Kritik Sastra (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015), lxiv + 432
halaman.
Pada tahun 2009—2014, menjadi
dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.