UNTUKMU PARANGGI
Kuda merah
Kuda putih
Berlari menuju
Padang ilalang terbuka
Jalan langit terbuka
Bersama derap kaki kuda
Kuda merah
Kuda putih
Berlari bersama
Alangkah malang
Alangkah sayang
Siapa menanggung rindu dan kenang
Kuda merah
Kuda putih
Di padang sabana
Berapa cinta kau pinta
Berapa rindu kau terima
Jalan puisi menanda
Jalan sunyi terbuka
Cakrawala senja
Menanda waktu telah tiba
Kuda merah
Kuda putih
Melesat ke langit terbuka
Malang, 8
April 2021
ORANG TAK BERNEGERI
dimanakah negerimu?
dia hanya menggelengkan kepala
dan menggumam demikian
panjang
Dia menandai peta dengan api
Membakar batas batas negeri
membakar batas batas mimpi
membakar segala yang mungkin
terjadi
Di sini aku dilahirkan, ujarnya
dalam gumam yang sukar
dipahami telinga
Kuterjemah gerak bibir dan mata:
rakhine, rakhine…
Mungkin dalam kepalanya dia
berkata kata:
Tuhan mencipta bumi untuk
manusia seluruhnya
namun manusia membuat batas
batas negara
Di matanya kau tahu? Airmata dan
debu menyatu
Serupa lukisan kesedihan yang tak
pernah usai
“Sebutlah aku kanak kanak
bengal. Seperti berulang ulang
mereka ucapkan sambil tertawa
membakar masa lalu kami.”
Matanya. Debu.
Gumamnya adalah arak arakan
masa lalu penuh aduh
Anak bengal anak bengal,
gumamnya
Dimanakah negerimu? Tanyaku
lagi
Kepalanya menggeleng
Aku merasakan dia berdiam di
hatiku
Di dalam hati
Dia berdiam
Hati yang selalu menangis dalam
diam
Negeri dimana dia terus bertahan
Malang, 6
September 2017
NOBEL
Aku buat dinamit untuk
menghancurkan batu batu yang
teramat keras agar kau dapat
temukan kekayaan alam
Aku buat dinamit agar kau tak
bersusah payah memalu batu
demi batu membuat jalan raya
membuat jalan kereta
Tapi aku tahu ledakan demi
ledakan dapat membunuh di
tanganmu yang berlumur napsu
kuasa
Aku wariskan kepadamu
Kesedihan dan penyesalanku
Atas namaku
Kau tahu
AKU TULIS NAMAMU
Aku tulis namamu
Dengan darah keringat dan airmata
Karena demikian asin kehidupan
Demikian asing dalam kegaduhan
Aku tulis namamu dengan abu
Burung burung yang memekik ke keabadian
Cericit burung kabar burung
alamat yang lamat dibisikkan angin
Kepaknya sampai ke negeri negeri jauh
Sampai haribamu
MEMBACA ISYARAT
tanda tanda jaman
dan aku harus diam
menyimpan
tanda tanda alam
dan aku harus diam
menggumam
tanda tanda waktu
dan aku harus menunggu
melaku
maka jadilah
apa yang harus terjadi
aku menyaksi
isyarat disemat
pada semesta
tanda
Malang –
Bandung,
Malabar 4
September 2018
JEJAK YANG TERTINGGAL DI BENGKULU
rumah lama, buku buku berbahasa asing, surat surat
cinta, sepeda tua, jejak tertinggal dari masa lalu: cinta yang diabadikan.
jejak yang tertinggal. serupa tarian berkelebat kelebat, mengingat wajah di
balik panggung tonil dari naskah di negeri pengasingan, tapi masih tetap
negerimu. mungkin kau tulis ende, mungkin kau tulis bengkulu, mungkin kau tulis
rengasdengklok, mungkin kau tulis pegangsaan timur dan lapangan ikada.
aku baca jejak sejarah: putra sang fajar. menyala di timur
dunia. menyala di dada: cinta dan kemerdekaan. tak terpisahkan.
Malang, 16
Juli 2019
Tentang Penulis
![]() |
Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Buku puisinya: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis
(MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu
(Dewata Publishing, 2002), Cinta, Rindu
dan Orang-orang Yang Menyimpan Api dalam Kepalanya (UB Press, 2010), BIAR! (Indie Book Corner, 2011), Yang Merindu Yang Mencinta (Nulisbuku,
2012), Derai Hujan Tak Lerai
(Nulisbuku, 2012), Kenangan Yang Memburu (Nulisbuku,
2012), Penyair Midas (Hastasurya,
2013).