RISALAH
KETIGA BELAS
Malam ini tak ada purnama yang diletakan
persis di atas jendela kamar memeram kelapukan
warna-warna cahaya hanya bias menggores tipis
membatasi ingatan yang tak lagi disisakan
“Dan malam keberapa kau pilih untuk datang?”
Tanyaku mengingatkan yang pernah singgah
Ada jawaban lirih: “Aku pilih ketiga belas.”
Kecemasanku diam-diam bergerak menjauh-mendekat
aku seperti tak mengenalnya lagi pada irama nadi
Bahkan malam ini adalah malam ketiga belas
tak juga rumbai bayangmu menghampiri jendela
tempatku menunggu, tempatku merawat perih
bersikeras tak mengaduh meski menjalar di pembuluh
tapi ini risalah bertahun lalu yang kubaca lagi
hanya begitu sulit kumaknai menjadi bimbang
Tetap saja kububuhkan tanda pada risalah ini
agar tak berulang atau menatap keji ke
arahku.
Parepare,
2021
MELUPAKAN
YANG DATANG
Tak kunjung ingin dilupakan adalah pagi
dan semenjak itu hanya kusimpan saja cerita
di antara peristiwa aneh sepanjang ingatan
dijadikan saja gerimis yang kilaunya serupa petir
Tapi kedatanganmu yang diurai lirih angin
ingin segera kulupakan seperti kenyataan
yang selalu diikat nasib buruk membayang
sampai begitu sulitnya untuk memejamkan mata
Aku ingin melupakan yang datang setelah pergi
bayangnya masih tertinggal menyeringai menatapku
seperti lupa gula pada kopi menjadikan kepahitan
menyodorkan rasa keji di setiap tegukan
Yang datang entah kini berada di mana
tak pernah lagi melintas dengan terburu dan
ceroboh
membiarkan rindu terserak di halaman rumah
pagi serupa buron, lelah dari intaian nasib.
Parepare,
2021
KARTU
NAMA BERWARNA KELABU
Sudah kubaca berulang, kartu nama yang kau letakan
di bibir meja dekat cangkir kopi dan di
belakangnya
bertuliskan untaian kalimat Gibran berwarna biru:
“Surga ada di sini di balik pintu itu, di kamar
sebelah;
tetapi aku kehilangan kuncinya. Barangkali hanya
terselip entah di mana.”
Entah tegukan keberapa tak juga habis kopiku
malam dibiarkan bersandar sendiri di kursi
sambil mengeja namamu berulang-ulang
Setidaknya meski sejenak aku telah mengeja surga
di kartu nama berwarna kelabu
terasa memberi ruh kedamaian pada rasa perih
melupakan ketakutan akan mati
Pertemuan dengan kartu nama adalah jalan takdir
pada kecemasan untuk kembali setelah pergi
sebab semalam tak kunjung kutemui kunci pintu
seperti yang kau tulis di balik kartu nama.
Parepare,
2021
ROMANSA
PAGI
Gelap mulai mengetuk pintu hari
suara bersahutan ayam tetangga meninggalkan pesan
seperti aksara ditulis di gendang telinga
agar aku membacanya lewat getar gelombang suara
menafsir sinyal melalui urat kecil sarafku
Subuh telah menggelar sajadah di permukaan embun
saat surau di samping rumah pelitanya hampir redup
tafakur menyusuri dingin dalam hitungan waktu
sunyi lebur di gugusan yang maha luas
hanya pasrah kubiarkan menyelusup ke dada
Langkah di kesunyian seperti menjala rindu
selalu dikemas dalam tanda-tanda
bahkan pagi yang masih lamun sering bermadah:
Biarkan raga larut sampai lelah tapi tak punah
menyambung pangkal kehidupan yang amanah
Pagi masih ingin melangkah bersua beranda rumah
segelas kopi dan cermin berbayang penyeduhnya
waktu jualah yang akan mencatat pagi di ingatan
dan esok selalu akan memberi tanda lewat tafsir
suara.
Parepare,
2021
RITUS BADIK
Percik cahaya berloncatan
asap semakin menebal, bahkan berkali-kali
loncatan api dari bilah-bilah besi
tanpa merasa cemas menghidupi udara
Entah dengan alasan apa
setelah dikeluarkan bilah besi dari api
deru percik api beradu dengan besi
menyusun kesakralan sebelum ditempa
Sebilah besi yang ditempa dengan jiwa
deras keringat menetes terbakar bara
meluluh sebagai bahasa sabda
pamor badiknya bergambar retakan kristal garam
Persis di bilahnya
agak membungkuk
hulunya agak kecil meruncingkan pesan
agar bertuah dengan hulu kayu kemuning
warangkanya kayu cendana bertahta semesta.
Parepare, 2021
Tentang Penulis
Tri Astoto Kodarie, lahir di
Jakarta, 29 Maret, besar di Purbalingga dan menetap di Parepare, Sulawesi
Selatan. Buku puisi yang telah terbit: Nyanyian
Ibunda (Artist, 1992) Sukma Yang Berlayar
(KSA, 1995), Hujan Meminang Badai
(Akar Indonesia Yogyakarta, 2007), Merajut
Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing Yogyakarta,
2008), Sekumpulan Pantun,: Aku, Kau dan Rembulan
(De La Macca, Makassar 2015), Merangkai
Kata Menjadi Api (Akar Indonesia
Yogyakarta, 2017), Kitab Laut (YBUM Publishing
Parepare, 2018), Tarian Pembawa Angin
(YBUM Publishing Parepare, 2020) Tembang
Nelayan Dini Hari (Satria Publisher Banyumas, 2021), Tak Ada Kabar Dari Kotamu (Satria Publisher Banyumas, 2021) serta
puluhan antologi puisi bersama di berbagai kota. Kini penyair
ini tinggal di Parepare, Sulawesi
Selatan. Alamatnya di : Jalan Atletik No.
22 Parepare 91111, Sulawesi Selatan. HP. 08124240423. E-mail: astotosaja@yahoo.co.id.