Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Resensi

Resensi Mufti Wibowo

Admin by Admin
2 Juli 2024
0
Resensi Mufti Wibowo
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

 

Selepas Musim Menjauh dalam Persimpangan

 

 

Judul                     : Selepas
Musim Menjauh

Penulis                 : Ahmad Sultoni

Genre                   : puisi

Tebal                     : xii + 88 hal

Cetakan               : pertama, 2021

Penertbit             : Jejak Pustaka

ISNB                   : 978-623-6424-59-9 


Kita
adalah gelas kosong yang digerujuk berita dari mulut-mulut teko yang berebut
menuang, dari televisi, koran, hingga portal daring, belum lagi suplemen dari
media sosial yang membawa watak laten distortif dan disruptif. Celakanya,
algoritma media pemberitaan itu bekerja dengan sebuah rumus “menggelikan”:
berita buruk adalah berita bagus. Dua kalimat itulah yang terlintas di kepala
saya saat dan setelah membaca Selepas
Musim Menjauh
. Buku puisi Ahmad Su
ltoni itu saya
baca tak lama setelah menghatam Human
Kind
karya Rutger Bregmen itu. Saya kita akan menarik membicarakan
puisi-puisi Sultoni yang memiliki sinisme pada faktor antagonistik “kota
” dengan sudut pandang Bregman yang sangat
optimistik.

Human Kind sejak awal memang sebuah upaya
membongkar kedok yang menyebut manusia pada dasarnya jahat. Sehingga, manusia
tidak harus diberi perangkat lunak tambahan yang akan mencegahnya berbuat
jahat. Dengan cara yang sedikit “norak”, Brugman membongkar sederet kedok
“penyimpangan” penarikan kesimpulan atas beberapa studi ilmiah dam kerja pers
yang telanjur melembaga dan dimitoskan. Semua itu ia lakukan untuk mendukung
gagasan mulianya tentang manusia dan masa depan dunia yang lebih
menggembirakan. Sementara itu, Selepas
Musim Menjauh
terang-terang meletupkan kecemasan-kecemasan khas ke-Timuran
dalam menafsir fenomena-fenomena dunia yang dikuasai paham materialisme dengan
berbagai “sekte”nya.

Sultoni, dengan pengalaman biografisnya, memproyeksikan potret fenomena
dunianya untuk dihadap-hadapkan dengan potret sepia dari “kantong ajaib” memori
masa kecilnya. Seperti sorang saintis beraliran konservatif di laboratorium, di
ruang kreatif penulisannya, tampak upaya Sultoni untuk mengimpit dua titik
dengan lipatan pada garis kudran sebagai cermin. Ia membingkainya, agar tak
menjadi liar, dengan narasi di luar teks puisi. Lalu, dia meminjam glosarium
alam sebagai material dalam membangun konstruksi puisi yang ditukanginya. Tentu
saja, romantisme menjadi titik keberangkatan sekaligus titik tujuan dalam rute
perjalanan
pembacaan Selepas Musim Menjauh.

Selepas Musim Menjauh membentangkan cakrawala
spiritualitas Sultoni. Pembaca bisa menarik garis imajiner yang menghubungkan
nada dalam puisi dengan suasana batin Sultoni yang mencemaskan identitas
urbannya yang tak akur dengan identitas kulturnya. Ia meragu, dualisme
identitas dalam dirinya terus bertarung, tanpa kesimpulan. Inilah yang saya
sebut “persimpangan”.

Sultoni, menulis puisi dalam keadaan yang lelah lagi payah. Dia tampak sedang menjaga jarak dari pukat
materialisme yang sesungguhnya adalah bagian inhern dunianya. Ia tak ingin
menjadi “kawanan” materialistik kota
yang baginya cacat spiritual. Gagasannya terikat pada visi profetik yang
meromantisasi objek-objek (visual) alam. Dengan begitu, secara sadar, Sultoni
mencoba mengikat begitu banyak gagasan di luar teks dalam puisinya.

Pada saatnya nanti, Sultoni akan berlabuh pada sebuah dermaga yang
hening, dengan langit sand
ekala yang
agung, di mana ia telah berdamai dengan dunia, dualisme identitasnya. Pada saat
itu, puisinya akan berbicara “lebih banyak” kepada pembaca, tanpa keharusan
memaksa pembaca mencari perangkat lain di luar puisi itu sendiri. Tentu saja
dengan catatan bahwa ia bersetia dengan jalan puisinya hari ini.

Sepenggal puisi “Kota yang Asing” ini kiranya dapat memberi pembaca gambaran
sikap etisnya yang merembas ke dalam puisi.
Kotamu
yang belum tidur/selama beberapa tahun/hanya bisa termenung/yang
tafakur/jalanan kotaku pernah berkisah keluh/saat pekat kabut dan angin utara
memelukku/aku memaksamu untuk bercerita/di pinggir jalanan raksasa itu/ihwal
pohon yang makin langka/ihwal jangkrik yang berhenti mengerik/ihwal jalanan
aspal yang makin panas/ihwal jiwa-jiwa yang bersahaja/yang kukenang/sepeda
ontel/hinggga becak delman//

 

 

 

 

Tentang Penulis

 

Mufti Wibowo lahir dan berdomisili
di Purbalingga;
penulis buku Catatan Pengantar Tidur.

(HP/WA
081227802010; Surel: bowoart60@yahoo.co.id;
rekening BNI 0506941240 a.n. Mufti Wibowo)

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In