Pria
Bermata Keruh
Aku heran, kenapa
aku tidak mendapatkan bantuan sembako seperti Toni, Wagimin, Sobri, Karyo,
Bani, Harsono dan hampir semua mendapatkan bantuan sosial dampak corona. Apa
karena aku ini anak angkat Pak Wiryo, juragan mangga terkenal di desa ini? Tapi
bukankah setelah menikah aku berpisah dengan keluarga orang kaya itu.
Seharusnya Pak RT mengerti tentang keadaanku. Walau dulu
ikut orang kaya dan namaku masuk KK-nya, keseharianku tidak seperti tokoh
sinetron yang diangkat anak orang kaya. Aku tidak disekolahkan seperti tokoh
sinetron itu. Tidak dibelikan mobil. Motor pun tidak. Aku diangkat anak Pak
Wiryo dan setiap hari disuruh mencangkul di sawah, mengurus kebun mangga, juga
membantu pekerjaan rumah lainnya.
Kalau musim bunga mangga, setiap hari pundakku dibebani
tangki semprot bermotor disel. Sama seperti pekerja lainnya aku berangkat
pagi-pagi, namun sebelumnya sudah membersihkan kamar mandi, mengecek persediaan
air tandon, dan pekerjaan rumah lainnya. Begitu hari sabtu giliran hatiku
teriris-iris. Pekerja lainnya gajian, aku hanya mengurut lengan.
“Kamu itu sudah dianggap anak sendiri oleh Pak Wiryo.
Beruntung kamu! Hidupmu sendiri, kedua orangtuamu sudah mati sejak kamu masih
bayi, bus yang ditumpangi mereka terperosok ke jurang. Tidak semuanya mati,
termasuk kamu dan Rehan,” begitu, kata almarhumah nenek dulu.
Rehan anak sulung Pak Wiryo, karena kecelakaan itu mata
kiri Rehan terbentur. Rehan cacat
sebelah mata sampai sekarang. Bola mata kirinya berwarna keruh. Mungkin karena
merasa anak sulungnya senasib, Pak Wiryo mengangkatku sebagai anak. Lagian,
waktu itu aku adalah bayi yang tidak punya siapa-siapa lagi. Nenekku masih
hidup, tapi tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Sakit tahunan.
***
“Berasnya masih cukup
berapa hari, dek?” tanyaku pada Wulandari, istriku.
“Tinggal hari ini,” jawabnya pelan. Diletakannya
secangkir kopi di depanku.
“Kita pinjam Pak Wiryo lagi?” tanyanya kemudian, setelah
duduk di sampingku.
Aku hanya mampu diam dan menyeruput kopi yang dibawa
Wulandari. Hutangku pada Pak Wiryo sudah menumpuk. Entah dengan apa kubayar
nanti. Sejak memutuskan untuk menikah dan pamit dari rumah Pak Wiryo, kutempati
gubuk reot peninggalan nenek. Karena tidak enak hati dengan mertua, akhirnya
kuterima tawaran Pak Wiryo. Kupinjam uangnya untuk biaya mengganti atap yang
sudah bocor di sana-sini. Dinding dari anyaman bambu juga banyak yang lapuk.
Empat tahun menikahi Wulandari, kami belum juga
dikaruniai momongan. Wulandari sering kali mengeluhkan keadaan ekonomi keluarga
yang tidak juga kunjung membaik. Ia juga sering iri kalau tetangga mendapat bantuan
beras, bahkan uang tunai. Predikat anak angkat orang kaya membuatku seperti
ini. Sebenarnya sejak pamit dari Rumah Pak Wiryo, aku ingin menjadi seperti
yang lain saja. Bekerja paruh waktu, bebas mau kerja pada siapa. Tidak ada
beban dan keharusan untuk melakukan pekerjaan yang lainnya.
“Mas kita harus berbuat apa?” Wulandari membuka bicara.
“Aku malu pada Bu Jumi kalau harus mengutang lagi di warungnya. Hutangku sudah
banyak di sana. Atau aku ikut Lastri saja, merantau ikut bekerja. Kalau terus
seperti ini, aku tidak kuat Mas. Aku malu,” lanjutnya sambil sesenggukan.
Kali ini aku juga hanya mampu diam. Lidahku tercekat dan
kaku. Aku merasa bersalah. Aku tidak mampu berbuat apa-apa.
“Mas! Jangan hanya diam!” suara Wulandari parau dan
meninggi.
“Iya. Aku akan minta hakku. Minta hasil keringatku
puluhan tahun pada Pak Wiryo.”
Dadaku tiba-tiba bergemuruh dan punya keberanian yang
kuat untuk meminta hakku pada Pak Wiryo. Hanya itu satu-satunya solusi. Sudah
kupikirkan berulang-ulang. Puluhan tahun menjadi anak angkat Pak Wiryo dan aku
tidak mendapatkan apa-apa. Hanya biaya pernikahan yang ditanggung, itu pun
sangat sederhana dan tidak ada pesta.
***
Kakiku sampai di halaman luas dengan hamparan rumput yang
menghijau, kulangkahkan kaki menuju pintu ukiran kayu jati yang mengkilap itu.
“Bapak-Ibuk tidak di rumah, pulangnya besok. Masuklah dulu, kubuatkan kopi,”
kata Rehan yang membuka pintu. Aku mengangguk dan masuk.
Setelah berbasa-basi, kuutarakan semua yang bergejolak
dalam dadaku selama ini. Rehan tidak banyak menanggapi, hanya sesekali
dirangkulnya pundakku. Aku merasa sedikit lega dan tenang. Setidaknya beban
dalam pikiranku sudah kusampaikan semua.
“Ini buatmu,” Rehan mengulurkan sejumlah uang padaku.
“Aku tidak akan bicara sama Bapak, itu hasil jualan
manggaku sendiri, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan Bapak. Aku akan minta
kamu kerja membantuku saja. Anggap saja rasa terima kasihku karena telah
membantu orangtuaku dari dulu. Jangan bilang Bapak, nanti salah paham. Kasihan
kamu, tahu sendiri watak Bapak sekeras itu.”
Kupandangi pria yang sebaya denganku itu, mata keruhnya
yang sebelah kiri seolah berbicara tentang keluguan dan ketulusan. Aku gembira,
tapi juga tidak menyangka. Seseorang yang sering kupandang sebelah mata karena
punya cacat, ternyata membantuku. Semoga saja Rehan segera mendapatkan jodoh,
itu juga yang sering dikeluhkan Pak Wiryo.
Sejak hari itu kehidupanku berubah, Rehan benar-benar
berhasil membujuk Bapaknya agar aku kerja padanya saja. Entah dengan alasan
apa, buktinya Pak Wiryo tidak pernah mempermasalahkannya.
“Bagus, ya,” tubuh moleknya berputar di depanku. Gaun
merah jambu yang baru dibelinya melambai syahdu. “Oh, ya. Tadi Mas Rehan kemari
titip ini,” diulurkannya amplop berwarna coklat padaku.
Rehan memang sering ke rumah sejak aku bekerja padanya,
saudara tiriku itu rupanya lebih teliti dari Bapaknya. Sekarang dia tidak
pernah belanja sendiri keperluan kebun, semua dipercayakan padaku. Mulai pupuk,
pestisida, juga upah karyawan.
Minggu depan aku mulai dipercayakan mengirim buah mangga
ke kota. Dengan banyak hal yang dipercayakan padaku, Rehan akan punya banyak
waktu untuk mengembangkan usaha. Dia berencana membeli kayu untuk peti buah
pengiriman. Selama ini Bapaknya selalu beli saat musim panen.
***
“Waduh, pohon tumbang!” seru sopir disampingku.
Malam-malam seperti ini di tengah hutan ada pohon besar
tumbang, pasti besok pagi baru dibereskan. Desa kami memang dikelilingi hutan
jati. Kami berangkat selepas isya dengan harapan besok pagi-pagi sudah sampai
kota.
“Kita putar balik saja,” pintaku kemudian.
Aku turun di ujung jalan gang menuju rumah, sedangkan
sopir kuminta mengamankan buah mangga di rumah Mas Rehan saja. Mau bagaimana
lagi, situasi yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Kulihat jam
tanganku di bawah sorot penerangan jalan. Jarum pendek menunjuk angka 11 dan
yang panjang tepat di angka 12. Sepi dan dingin kurasakan. Wulandari pasti
sudah terlelap. Aku sengaja tidak mengetuk pintu depan yang terkunci dari
dalam. Kutuju pintu dapur dan merogoh slot pintu dari luar.
Kudengar lamat-lamat seperti suara orang cekikikan, lalu
mengaduh dan semakin terdengar jelas. Kusibak kelambu kamarku yang tanpa pintu.
Kulihat sesosok pria sedang menindih istriku. Wulandari yang melihatku kemudian
meronta dan menjauhkan tubuh pria di atasnya. Emosiku memuncak dan meninju
dengan keras kepala durjana itu dari belakang. Ia mengerang kesakitan dan
membalikkan tubuhnya ke arahku. Ditariknya selimut untuk menutupi sekujur
tubuhnya. Yang terlihat sekarang hanya kepalanya saja. Matanya yang sebelah
kiri keruh dan dingin.
Tentang Penulis
Andik Trio Widodo, seorang
petani yang suka menulis fiksi. Lahir dan bertempat tinggal di Nganjuk. Bergiat
di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. WA: 082338101954.