Memahami Spiritualitas Puisi
Dharmadi [1]
Puisi, meminjam istilah penyair
Sapardi Djoko Damono (2017), adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main
dengan bahasanya. Seni adalah permainan. Seorang penyair menurutnya,
bermain-main dengan bahasa sedemikian rupa sampai pada taraf tertentu, menjadi
sebuah dunia kata yang mengandung makna.
Agaknya,
apa yang dikatakan oleh Sapardi kurang bersesuai jika dikontekskan dengan
puisi-puisi Dharmadi dalam Larik-larik
Kata (Kosa Kata Kita, 2016). Dalam pembacaan saya, puisi dalam Larik-larik Kata lebih difungsikan
sebagai media komunikasi batin penyair. Puisi menjadi jalan refleksi atau
perenungan yang bersumber dari pengalaman spiritual si penyair. Hal ini kiranya
masih bertemali dengan pernyataan penyair dalam catatan pembuka Larik-larik Kata (selanjutnya LLK).
Dikatakan Dharmadi, “Saya menulis puisi karena ada sesuatu yang ingin saya
ungkapkan setelah melakukan kegiatan membaca; membaca teks, membaca alam,
membaca kehidupan, dan membaca diri”. Atau lewat satu puisinya berjudul Sajak, Dharmadi katakan: menulis sajak/ habis membaca alam/ mendekat
Tuhan.
Bagi
Dharmadi, menulis puisi bermula dari membaca alam atau jagad. Baik yang sifatnya jagad
cilik (mikrosmos) maupun jagad besar (makrokosmos). Kedua pembacaan tersebut ditempuhnya, tak
serta merta melulu soal seni, soal puisi. Inilah mungkin sebagai puncak
spiritualitas Dharmadi, bahwa menulis puisi menjadi sebuah sembahyang. Puisi
menjadi jalan rohaniah bagi si penyair untuk mendekat pada Sang Khaliq.
Semangat Spiritualitas
YB
Mangunwijaya pernah berujar, bahwa mulanya segala sastra adalah religius.
Religius yang dimaksud Mangunwijaya bukanlah religius agama, namun lebih ke
ranah spiritualitas. Ini dikatakan Made Sujaya (2009) bahwa, spiritualitas
lebih menyaran pada jalan pribadi dalam memahami ketuhanan tanpa terikat oleh
agama tertentu. Spiritualitas mewujud ke dalam kasih sayang sebagai kendaraan
penting untuk mengenal Tuhannya. Sementara religius menyaran pada aspek
kelembagaan dalam kerangka religi (agama) tertentu.
Dirunut dari segi kehidupan
pribadinya, Dharmadi seorang yang tumbuh kembang di lingkungan Jawa. Hal ini
boleh jadi turut memberi pengaruh wacana dan daya ungkap kepuitikan Dharmadi. Paradigma
demikian, dalam pandangan saya, menjadi bagian yang intim dari kepenyairan
Dharmadi. Spiritualitas Jawa menjadi pandangan dunia penyair untuk kemudian
melahirkan puisi-puisi sebagai anak spiritual. Tema alam sampai ketuhanan yang
saya temukan dalam LLK, merupakan pengejawantahan dari semangat spiritualitas
penyair. Puisi membawa penyair pada tentreming
manah (ketentraman batin).
Tuhan, Diri dan Alam
Menyelami
puisi-puisi Dharmadi dalam LLK, pembaca akan diajak penyair untuk merefleksikan
dimensi-dimensi kehidupan. Sesekali batin pembaca juga diajak menelusuri rimba
raya maknawi spiritualitas. Simaklah paparan Dharmadi dalam caranya mengenal
Tuhan (dalam puisi Kasih Sayang): diperkenalkan ibu dengan Tuhan tak lewat kitab suci/ ibu menjalani
ritual tradisi mengajarkan kasih sayang dengan laku/ disingkirkan batu beling
paku/ yang mengganggu agar tak ada yang terlukai.
Simak
pula dalam puisi Di Pasar Peterongan: masa bocah ibu
sering mengajak ke pasar peterongan/ di bawah pohon asem tua di tengah pasar
ibu menabur/ kembang telon sambil membakar kemenyan/ ibu belanja aku minta
dibelikan gethuk dan jajan pasar. Atau dalam puisi “ritual ibu”: adzan magrib berkumandang ibu jongkok di bibir ranjang/ di depan nampan isi
sesaji yang telah kupersiapkan/ sambil komat-kamit ibu membakar kemenyan di
pedupan/ di sisi ibu aku memandangnya hari ini jumat kliwon.
Demikian
alaminya Dharmadi mengenal Tuhannya. Menyingkirkan batu beling paku dalam diri
sebagai laku atas kesaksiannya sebagai makhluk yang bertuhan. Ini
mengisyaratkan bahwa untuk mengenal Tuhan mesti dimulai dengan menyemai kasih
sayang sebagaimana sifat Tuhan yang welas
asih. Demikian halnya ritual sembahyang melalui piranti simbolik seperti kemenyan
dan kembang telon sebagai sesaji merupakan cara otentik mengenal Tuhan. Sesaji bagi
manusia Jawa merupakan aktualisasi diri manusia mendekatkan diri pada Tuhan.
Dalam
pembacaan yang lain, semangat spiritualitas dijumpai tentang bagaimana penyair
membaca diri. Diri sebagai pinjaman dari Tuhan dalam batas waktu tertentu akan
diambil kembali oleh Si Empunya. Kematian menjadi fase kehidupan yang mesti
dilewati setiap makhluk yang hidup, termasuk manusia. Kesadaran inilah yang
kemudian melahirkan puisi berjudul 68.
Merenungi usia, penyair menulis dengan liris: sampai angka berapakah umur/ hidup terus berjalan meninggalkan pangkal/
menuju ujung/ dan apa tentang hidup itu sendiri.
Usia
manusia, juga kehidupan pada umumnya, seperti kata para kebanyakan orang
sebagai sebuah misteri. Seperti sebuah oposisi biner, kehidupan berjalan dari pangkal menuju ujung. Setiap yang datang akan kembali pulang ke muasalnya. Dan
terkadang mengajak manusia untuk merenungi tentang
hidup itu sendiri. Dalam puisi Di
Keranda, penyair menulis lagi: di
atas pundak pelayat aku mendengar bincang-/ bincang lirih tentangku mayat agak
berat/ aku sedang menempuh perjalanan jauh ke sana/ tak mungkin dapat berbalik lagi.
Atau dalam puisi bertajuk “Hidup” dia katakan: hidup mengalir/ seperti sungai/ menujumu muara. Bagi penyair,
kematian bukanlah perjalanan akhir. Kematian hanya pintu gerbang untuk memulai
perjalanan jauh berikutnya, sekaligus perjalanan yang tak akan diulangi lagi.
Inilah pemaknaan kematian dalam pandangan Dharmadi sebagai manusia Jawa.
Meski
demikian, jika alarm kematian berbunyi, pintanya: kuburku dalam sajak ziarahi
sajakku/ di saat kangen padaku (puisi Waktu).
Permintaan serupa juga pernah dilontarkan Dharmadi dalam puisi Kalau Kau Rindu Aku (2012), Dharmadi
katakan: kalau aku tak lagi ada/ kau
rindu mencariku/ bukalah pintu puisiku/ masuklah/ aku abadi di situ. Diri
penyair sebagai makhluk yang fana, tetapi tidak halnya dengan puisi-puisinya.
Di puisi itulah Dharmadi turut tinggal dan akan abadi.
Agaknya,
ihwal refleksi kematian ini digarap betul oleh Dharmadi, sehingga tak salah dijumpai
pembicaraan serupa dalam LLK, misalnya pada puisi berjudul Nisan, Penyeberangan, Takdir dan Nasi”, dll. Boleh jadi ini masih bertemali dengan sampul bersketsa
senja. Kemungkinan lagi berkorelasi mengapa puisi-puisi dalam LLK ini ditulis
padat dan paling panjang sebanyak empat baris. Keduanya seolah ingin mengisyaratkan
pesan utama pengantologian puisi LLK ini ihwal usia kehidupan. Meski terkadang
memang terlihat menjemukkan,
sebab seolah didaur
ulang dengan bahasa bertutur yang relatif tak jauh beda. Demikian halnya di
kumpulan puisi sebelumnya, Kalau Kau
Rindu Aku (2012), pembicaraan serupa ditemui dalam puisi Di Empat Puluh Empat Tahun, Semakin Muram Saja Hari, Waktu, Tentang Waktu, dll.
Dalam
cakrawala perpuisian Indonesia, tidak sedikit penyair yang pernah mengangkat pembicaraan
soal kematian dalam puisinya. Sekadar menyebut, Chairil Anwar misalnya, merefleksikan
ihwal kematian dalam puisi Menjemput Kematian. Atau Sapardi Djoko Damono lewat
puisinya Saat Sebelum Berangkat, Berjalan di Belakang Jenazah, Sehabis Mengantar Jenazah. Namun dalam puisi-puisi
Dharmadi menulisnya dengan gaya lebih padat.
Pembacaan
berikutnya, puisi bagi Dharmadi, diposisikan sebagai teks yang tak melulu harus
berteriak. Baginya puisi adalah ruang meditasi kata-kata untuk menyentuh
kedalaman rohaniah pembaca. Puisi mesti ditulis dengan lirih. Ini sekiranya
tampak pula kala dirinya mengungkapkan keprihatinan ihwal alam dan realitas
kemanusiaan. Dalam puisi Bumi Menua, ia
menulis: bumi menua dunia dalam pesta
pora/ langit berisyarat.
Penuh
perenungan puisi ini merefleksikan kahanan
alam yang bagi si penyair amat mengkhawatirkan. Ibarat hubungan sebab
akibat, bumi yang menua menjadikan Musim
Menyimpang (dalam puisi Musim)
atau nilai-nilai tumbang berserak bumi
memerah (dalam puisi Bom). Dalam pandangan manusia Jawa, diri manusia
sebagai jagad cilik (mikrosmos) ialah
bagian tak terpisahkan dari jagad gedhe
(makrokosmos). Keduanya harus menciptakan harmonisasi. Manusia lebih sebagai
bagian dari semesta. Karenanya, tak patut bila manusia sebagai bagian kecil
dari kehidupan itu justru amat berdaulat, bahkan sampai melampaui batas keseimbangan. Dalam
konteks inilah Dharmadi mencoba mengingatkan. Dan pembicaraan ihwal alam masih
bisa dilacak dalam puisinya yang lain semisal Sungai, Bumi, Musim, dan sebagainya.
Pendeknya,
bagi saya, membaca puisi-puisi penyair Dharmadi dalam Larik-larik Kata seperti menyelami kedalaman spiritualitas. Puisi
semacam estetika perenungan yang memiliki caranya sendiri. Kekayaan spiritualitas yang dimiliki penyair
menambah keberhasilan penyair mengajak batin anak adam merefleksikan kehidupan
yang makin mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Ini mengingatkan saya pada
kata-kata penyair Abdul Hadi WM mengutip Jhon Keats (2004), bahwa “Puisi muncul
secara alami seperti daun tumbuh pada batang pohon”.
Di tengah gejolak kehidupan di mana
agama rentan dijadikan baju politik, seperti dewasa ini, puisi-puisi Dharmadi
dalam LLK dapat menjadi pengingat. Ia mengajak kita merefleksikan hakikat kehidupan
sebagai kesemestaan kasih sayang Tuhan. Karenanya, tak patut rasanya bilamana
agama sebagai sumber spiritual, malah dijadikan kendaraan mengamini sikap dan
tindakan brutal.
Teruslah
memuisi Pak Dharmadi. Salam takzim
BIODATA
*)
Achmad Sultoni, penyuka sastra. Bergiat di Komunitas Penyair
Institute dan Tjalapan Poetry Forum.
[1] Esai ini disiar pertama kali di
tabloid Minggu Pagi Yogyakarta, No. 52 Tahun 69 Minggu V Maret 2017. Untuk
keperluan diskusi Sastra Reboan, SKSP IAIN Purwokerto, Rabu 20 Desember 2017,
terdapat penggubahan pada segi isi esai.