MERENANGI
MAKNA DALAM PERPUISIAN
YANG BERWARNA
:
Apresiasi perpuisian Efen Nurfiana
Puisi merupakan ekpresi. Hadir di tengah-tengah pembaca dengan
bermediumkan bahasa. Kata menjadi bagian penting dalam menyampaikan makna puisi
sehinga menjadikan puisi tersebut mewujud dalam kedalamnnya. Membaca
sajak-sajak Efen Nurfiana kita seolah diajak tamasya ke dalam berbagai
“kehidupan dunia”. Kehidupan“perempuan”, kehidupan “keakuan”, kehidupan
“religi”, kehidupan “cinta” dan kehidupan-kehidupan lain dalam potret penyair.
Penggambaran “kehidupan” yang dihadirkan penyair dalam kumpulan sajak ini akan
membawa pembaca merasakan suasana yang berbeda-beda, inilah yang menyebabkan
perpuisian Efen menjadi berwarna sesuai dengan apa yang disajikan dalam setiap
puisinya.
Kadang kita disuguhkan pada gambaran perempuan yang penuh dengan
kisahnnya seperti dalam sajak “Perempuan Gabuk”. Sajak ini menghadirkan suasana
penggambaran terhadap sosok perempuan yang sarat dengan segala dilemanya.
Hingga dalam menghayati masalah tersebut perempuan berada dalam dunia yang
kosong (Gabuk), tak mengenali diri dalam kesepiannya /kulihat kau dikitari
kesepian-kesepian/ kau kehilangan diri/.
PEREMPUAN GABUK
Kulihat kau
dikitari kesepian-kesepian
Malam-malam kau
terjaga, saat pagi
Kau kehilangan
diri
Ini adalah kisah
perempuan gabuk
Hidup tak
ubahnya waktu sembunyi
Kau datang
kepada diriku
Sebagai diriku
Yang tak tahu
diri
Saat sebagian
bertelungkup di rumah-rumah
Di depan kaca
kau menjadi diriku
Kau curi param
dari dalam diriku
Kau balur
kesakitan-kesakitan dalam dirimu
Dan aku jadi
kaku
Kembali aku
menjadi dungu
Oh perempuan
gabuk, perempuan gabuk
Dahulu pernah
ada beberapa orang
Berjinjit ke
arahku
Namun yang
mereka cari bukan diriku
Tetapi dirimu
Padahal kita
sama-sama tahu
Tak ada yang
mampu mengubahku menjadi dirimu
Kecuali,
Aku kembali
menjadi diriku
Oh perempuan
gabuk, perempuan gabuk
Akhirnya kali
ini kau yang datang sendiri
Mencari–cari aku
Sementara lampu
neon di pelataranmu ini
Tak mampu
mengikutiku
Ke dalam sepi
Perempuan gabuk,
oh perempuan gabuk
Sepi–sepi itu kemudian berputar–putar
mengitari
Dirimu yang
serupa aku
Purwokerto, 21
februari 2018
Selain sisi kehidupan perempuan dengan segala problematikannya,
Kehidupan sosial juga dipaparkan oleh penyair dalam sajak “Parade Pasar”. Dalam
puisi ini penyair mencoba memotret kehidupan dengan diksi tentang suasana
pasar. Sebagai suatu tempat di mana bertemunya antara penjual pembeli,
berinteraksi dengan berbagai kebutuhannya mereka masing-masing dalam mengarungi
kehidupan ini /Kulihat para ibu menukar sayur-mayur/ Dengan bangku sekolah milik anaknya. Betapa kondisi potret sosial begitu tergambar dalam
sajak ini, betapa orang-orang bertahan dengan berbagai usahanya untuk bertahan
hidup. /kemudian aku berjalan di atas carut marut/upah pekerja/di antara berjajar kaum muda yang /siap menyimak nasib yang sama/
PARADE PASAR
Kemudian kuintip
dari gigir ibu
Orang-orang
datang dari ranjang
Dan para
pedagang yang begitu tengadah
mengais rupiah
Sesaat
sepenggalah matahari naik
Kulihat para ibu
menukar sayur-mayur
Dengan bangku
sekolah milik anaknya
Kemudian aku
menepi di antara
Lelaki tua dan
beberapa tempat duka
Lelaki paruh
baya memeluk buku pelajaran
Sambil asik
bercerita
Tentang bayaran
sekolah yang nunggak
terus merambahi
mata-telinga
malam-malam ia
seperti tidur di atas miang
lepas dari
segala raut muka
tangan-tangan
terbungkus lumus
aku duduk
nguncup, berderak-derak ketakutan
menutuk ladang
nasib, menyeret tubuhku
ke dalam tajam
batu
hujan membecak
tanah, para bakul tetap memikul
aku termandam,
memandangi gadis cilik
ia nampak
menyenyumi penunggang kuda
meski susu
sarapan paginya digondol pergi
kemudian aku
berjalan di atas carut marut
upah pekerja
di antara
berjajar kaum muda yang
siap menyimak
nasib yang sama
Purwokerto, 11
Desember 2017
Bukan sekedar masalah kehidupan sosial disuguhkan dalam perpuisian efen,
kita juga diajak merenangi ke dalam dunia religi yang tergambar dalam sajak
“Sajadah”. Betapa diksi begitu lekat dengan pesan yang ingin disajikan oleh
penyair, seperti diksi sajadah, hari pengampunan. Diksi sajadah adalah merujuk
pada suatu pirati yang disediakan sebagai tempat untuk melakukan komunikasi
antara manusia sebagai makhluk ciptaan
dengan Sang penciptanya. Harapannya
dalam kondisi tersebut manusia mampu menemukan jalan untuk kembali menjadi
sesuatu yang telah digariskan. Tidak ada kata terlambat untuk menemukan kembali
jalan pulang ke arah keilahian, /Meskipun pada barisan
paling belakang/Suara-suara
tampak meminta kau kembali/.
SAJADAH
Gelar
sajadah panjang ini pada hari
pengampunan
Agar
kau dikarunia banyak pintu
Seperti
yang pernah kau katakan, kita tak perlu
Kunci
untuk masuk kapan saja
Meskipun
pada barisan paling belakang
Suara-suara
tampak meminta kau kembali
Purwokerto,
9 Juni 2016
Selain tema dan pesan-pesan puisi dengan suasana yang telah dipaparkan
di atas, masih terdapat warna yang lain
yang disodorkan kepada kita yakni suasana romantis tentang kisah cinta wajarnya
manusia dalam kehidupan ini. Rasa kasih dan cinta tampak jelas tergambar
seperti dalam sajak “musim semi itu”. Puisi yang mengisahkan suka dukanya
menjalin suatu ikatan asmara yang dijalani oleh wanita dengan pasangannya /Sementara
air mata yang kau kirimkan/Meminta
harum kembangku/Lantaran
kecewa yang mengendap dalam hatimu. Sebagai penebusan noda yang tempo hari
kulukiskan pada kertasmu.
Kisah cinta yang dituliskan pada sejarah kehidupan dijalani dengan derai air
mata karena adanya rasa kecewa yang membalur di hati.
MUSIM SENYUM ITU
Semua salahku
memang, tak pernah percaya bahwa senyum
Adalah musim
Jika tidak
demikian pastilah kau izikan kupungut lagi
Cinta yang gugur
dari setangkai mawar
Sementara air
mata yang kau kirimkan
Meminta harum
kembangku
Lantaran kecewa
yang mengendap dalam hatimu
Sebagai
penebusan noda yang tempo hari kulukiskan pada kertasmu
Telah usai semua
memang, namun petang ini
kurindukan
segelas kopi hangat
Yang biasa
datang dari tanganmu
Tentangmu yang
hilang bersama badai air mata
tempo lalu
Purwokerto, 17
Desember 2015
Inilah kekuatan perpuisian dengan berbagai warna yang dihadirkan oleh
Efen. Namun sisi lain, keberagaman warna puisi yang
dihadirkan oleh penyair, akan membuat pembaca merasakan lompatan-lompatan dunia
rasa. Pembaca harus mampu membolak-balikkan rasanya untuk dapat mengikuti dan
menikmati puisi tersebut. Tentu saja keadaan ini akan menjadikan pembaca begitu
sulit mengondisikan perasaanya secara total atau secara penuh di dalam
penghayatannya.
Wajar adanya ketika rasa yang awalnya tercipta dalam diri pembaca karena
membaca satu puisi, tiba-tiba harus beralih lagi kepada suasana yang berbeda.
Semua ini tentunya dibutuhkan suatu penghayatan ekstra agar pembaca mampu
menangkap pesan, dan menikmati suasana yang dibangun oleh penyair.
Benang
merah yang dapat ditarik untuk membingkai perpuisian saudara Efen adalah
“keberwarnaan rasa” ini dapat kita temukan dari diksi-diksi yang tersaji di dalam
setiap bait-bait sajaknya. Seperti pilihan kata
“Badai air mata”, “Sajadah”, “Perempun Gabuk” dan lain sebagainya. Oleh
karena itu cakrawala atau horison pengetahuan pembaca dituntut untuk mampu
menyelami setiap kata yang dihadirkan oleh penyair.
BIODATA
Dr. Sigit Mangun Wardoyo, S. Pd., M. Pd., adalah Dosen di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.