Meramu Resah, Merawat
Kenangan
“Waktu kecil saya
sering berpikir tentang sesuatu yang bisa melestarikan kenangan. Begitulah
mulanya saya mengakrabi musik, aroma dan puisi.”
-Helvy Tiana Rosa
DALAM sering kesempatan, saya selalu bercerita ihwal
bagaimana saya senang membaca dan akhirnya senang menulis. Dulu saat masih
kecil, saya bersama ibu dan adik sepekan sekali, saban sore, diajak bapak ke
kota kecamatan naik becak. Hampir sepanjang jalan, mata saya jelalatan ke kanan
kiri Jalan Raya Kuwarisan-Kutowinangun, sepotong jalan nasional
Purwokerto-Yogyakarta di sebuah kecamatan di Kabupaten Kebumen. Saat menangkap
sebuah tulisan, entah itu nama toko, nama gedung atau iklan produk, mulut saya
selalu mengucapkan tulisan itu.
Beberapa yang masih ingat saat ini “Jamu
Jago”, “Toko Anyar”, “Bangunan Baru”,
“Pertani”, “SMA Negeri 1 Kutowinangun”, “Warung
Asli”, “Toko Ada” dan “Sarwo Ono”. Usai letih membaca,
sampainya di kompleks Pasar Lawas, kami kemudian berhenti di salah satu warung
nasi goreng. Saya memesan mi goreng dan sebotol Sprite. Sekelumit kenangan masa
kecil yang selalu tersimpan rapi di otak kecil saya. Juga kenangan-kenangan
lain. Senang, bahagia, haru, takut, harap, lucu. Atau peristiwa-peristiwa yang
disengaja maupun tidak disengaja.
Kenangan menjadi bagian tak terpisahkan dalam
perjalanan hidup seseorang. Sampai usia senja, seseorang akan selalu mengenang
peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Kenangan atau sebagian orang sering
menyebut nostalgia, banyak yang hilang seiring perjalanan waktu dan usia. Namun
nostalgia itu terkadang muncul tiba-tiba oleh suatu hal, suasana atau benda di
masa kini.
Setiap manusia memilik cara tersendiri untuk merawat
kenangan. Sebastian Bach mencoba mengguncang ingatan tentang kekasihnya yang
hilang. Rasa paling sentimentil karena hubungan asmara yang hancur, tetapi,
gitaris band rock Skid Row ini tak mau membuang pengalaman berkasihnya secara
percuma. Disimpannya dalam lagu berjudul “I Remember You”. William
Shakespeare dalam drama “King Henri IV”, mengingat kenangan hari-hari yang
telah dihabiskan dengan cara mengingat kawan-kawan lamanya yang sudah mati.
Rangkuman kenangan perjalanan hidup Jean-Paul Sartre
bagaimana dia menjadi seorang pembaca dan penulis yang tekun dia tuangkan dalam
bukunya “Words”. Dengan detail, Sartre merinci setiap peristiwa yang
berkaitan dengan aktivitas membaca sejak kecil dan awal mula menulis hingga
menjelang kematiannya. Tidak hanya itu semata, bahkan hal-hal kecil lainnya,
seperti ketika ibunya memarahi, ibunya memberikan jaket wol dan mengajaknya ke
bioskop.
Walt Whitman, dalam puisinya “Memories”
menyebutkan, kenangan adalah penelusuran masa lalu yang manis. Sebuah
pengembaraan yang penuh cinta, kegemberiaan, orang-orang dan perjalanan.
Sedangkan Jane Austen berujar, pikirkan hanya masa lalu, karena ingatannya
memberi anda kesenangan. Kita juga baca, novel-novel NH Dini banyak berlatar
belakang pengalaman-pengalamannya saat kecil, remaja, dewasa dan usia senjanya
dengan peristiwa-peristiwanya masing-masing.
Lalu bagaimana dengan Iis Sugiarti, penyair muda
asal Kebumen, yang tengah kuliah di IAIN Purwokerto dalam merawat kenangan?
Baginya, kenangan merupakan sesuatu yang harus terus dikenang. Harus dicatat
dan diabadikan. Puisi merupakan cara paling ampuh untuk merawat kenangan.
Lihatlah dalam puisi berikut:
Kenangan dan Doa
dalam perjalanan fajar
aku menemukan benang-benang cahaya
yang memikat kalbu
halimbubu menjatuhkan namamu
namun aku tak mampu menjeremba
kini aku menjelma embun
di setiap jalan ke rumahmu
2015
Iis mencoba mengingat perasaan hatinya terhadap
seseorang yang pernah mengisi ruang hatinya. Benang-benang cahaya menjadi kias
sesuatu yang membuat terang, bahagia, menyenangkan dan mencerahkan. Hal itu
diperkuat dengan baris “yang memikat kalbu” di baris berikutnya.
Sayangnya, sosok yang membuatnya terpesona itu tak sempat diraihnya. Halimbubu
alias pusaran angin telah menerbangkannya, bisa dikatakan telah membuatnya
menghilang. Nah, dua baris terakhir, menjadi simpulan bahwa penyair betul-betul
merawat kenangan itu. Asyiknya di sini, Iis benar-benar memilih kata dengan
cermat. Beberapa kata yang mungkin asing bagi pembaca awam membuat pesan dalam
puisi ini tidak tersampaikan secara vulgar.
Mungkin, bagi Iis, kenangan-kenangan terhadap
seseorang yang pernah mengisi ruang hati itu adalah kenangan yang indah.
Seperti yang disampaikan Nuran Wibisono mengutip Erica Hepper, dosen School if
Psychology, Universitas Surrey, bahwa nostalgia adalah perasaan hangat yang
kita rasakan sewaktu kita memikirkan tentang kenangan-kenangan terindah dari
masa lalu kita.
Hal serupa juga tergambar dalam puisi berjudul
“Memoar Silam”. Kesunyian yang dirasakan seolah-olah menjadi kenangan
yang hangat yang selalu berkelindan di ingatannya. Kenangan akan seseorang yang
selalu dirindukan. Coba tengok dalam lirik /rumahmu
yang tak berjendela/ mengkaribkanku dengan sunyi/ dan lembaran kenangan/ dan
bertumpuk di rak-rak buku/. Ada keinginan penyair untuk bisa bertemu dengan
orang tersebut, entah kapan di suatu tempat. Dan bila pertemuan itu terwujud,
seolah paripurna rasa rindu yang mendendamnya. Ini tersurat pada larik /andai kita bertemu di negeri awan/ dan
dipungkasi dengan /lalu aku turun ke bumi/ menggali tanah/ untuk kutanami benih
dewi sri/.
Kemudian pada puisi “Menziarahi Balai
Kenangan”, Iis benar-benar ingin membuka kembali lembaran-lembaran masa
lalu yang telah tersimpan rapi dalam rak otaknya. /Ketika kau mengajakku bercerita/ tentang padi-padi yang menguning/ dan
burung-burung emprit berpeci putih/. Kenangan itu dia munculkan dengan
hal-hal kecil seperti padi menguning dan burung emprit kaji. Dalam novel
Remembrance of Things Past, Marcel Proust membuat istilah involuntary memory. Di mana
kenangan-kenangan itu muncul karena pemicu khusus seperti rasa makanan, aroma
atau peristiwa masa kini yang hampir serupa dengan masa lalu. Puisi
“Menziarahi Balai Kenangan” bisa jadi merupakan involuntary memory
sehingga membuat Iis harus meramu kata-kata, mengubahnya dari sekadar di dalam
kepala, menjadi bentuk nyata (baca: puisi).
Nah, involuntary
memory tersurat secara lugas oleh Iis
pada puisi “Pawon”. Dia bercerita tentang masa kecil di desanya.
Benda-benda di dapur menjadi pelecut kenangan. Klasa, pawon, dingklik, ceret dan kenceng atau wajan besar. Suasana dapur digambarkan dengan lugas
minim permainan bahasa kias. Meskipun demikian, puisi utuh ini, merupakan
metafora sesungguhnya. Sebuah paradoks tentang keluarga secara umum di daerah
pedesaan.
matang dan lezatlah segala rindu
rutinitas di dapur saban pagi
sedang aku masih saja bertahan pada mimpi
tentang roti dan keju
Puisi lain yang berhulu pada kenangan yakni
“Sua”, “Mencari Asal Keberadaan” dan “Zaman Purbani
yang Tak Lagi Berpuisi”. Adapun dua puisi pertama, Iis lebih menguak
kenangan-kenangan bersama sosok yang paling muasal, yakni ibu. Sosok ibu
digambarkan tempat kembali paling nikmat dari pengembaraan. Kasih sayang ibu,
baginya adalah telaga air yang tak pernah kering. Kemudian pada puisi
“Hariku Sudah Petang” penyair mencoba mengambil peran sebagai sosok
ibu yang merindukan kepulangan anaknya. Hal ini mempertegas bahwa, ibu adalah
tempat kembali paling nikmat.
jika kau tak pulang ke doaku
sampai hariku yang malam
maka penantianku hanya akan
menjadi hikayat waktu yang cacat
Menyitir Rob Sheffield, yang membandingkan musik
dengan mesin waktu, demikian pula dengan puisi. Puisi meningatkan kita tentang
waktu dalam hidup kita. Kata-kata yang akrab memicu gambar-gambar yang akrab di
kepala kita. Dengan membacanya, kita dibawa kembali ke peristiwa itu. Dengan
puisi pula lah, Iis meramu kata-kata, mencatatnya, menjadi mesin waktu agar
bisa senantiasa kembali ke kenangan-kenangan silam. Kenangan itu, semua dapat
tempat, semua harus dicatat.
Tabik.
Tentang Penulis
Ryan
Rachman,
bakul banner, stempel, medali dan buku yasin ideran, tinggal di kaki Gunung
Slamet, Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga.