Pejalan: Arsip Peristiwa,
Suasana dan Tempat Tinggal Selamanya
Dharmadi adalah salah satu penyair yang namanya
selalu muncul dalam lintasan sejarah perpuisian di Banyumas. Meski dilahirkan
di Semarang tahun 1948, namun Dharmadi justru memulai peran kepenyairannya di
Banyumas pada kisaran tahun 1970. Sebelum serius menekuni puisi sebagai vitalitas
hidup, Dharmadi adalah seorang aktivis mahasiswa dan literasi sastra. Kala itu,
Ia tercatat aktif dalam berbagai kegiatan literasi dan tergabung dengan
sejumlah komunitas sebagai basis kreatif dan kantong sastra, seperti; Sanggar
Pelangi (1971), Himpunan Penulis Muda (HPM) Purwokerto (1974), Lingkar Seni dan
Budaya (Lisdaya) tahun 1986, dan Kancah Budaya Merdeka (KBM) tahun 1993.
Sepanjang hidupnya di dunia kepenyairan, Dharmadi
telah mendokumentasikan puisi-puisinya menjadi delapan buku, yaitu; Kembali Ke Asal (1999), Kemarau (2000), Aku Mengunyah Cahaya Bulan (2004), Jejak Sajak (2008), AURA
(2011), Kalau Kau Rindu Aku (2012), Larik-Larik Kata (2016), dan Pejalan (2019) yang merupakan kumpulan
puisi pilihan. Selain itu, nama Dharmadi juga tercatat dalam puluhan buku
antologi bersama baik berskala regional maupun nasional. Nama Dharmadi juga
kerap menghiasi halaman sastra media cetak, sebagai penyair.
Kisaran dekade 2000-an, saya baru mengenal nama Dharmadi
sebagai seorang penyair. Namanya acap disebut sebagai salah satu penyair
Banyumas yang produktif. Ia bersanding dengan nama-nama lain seperti Mas’ut,
Herman Afandi, Bambang SET, Ahita Teguh Susila, Wanta Tirta, Badruddin Emce,
Haryono Sukiran, Edhi Romadhon, dan lain-lain. Pada kisaran dekade 2000-an itu
pula, dalam sebuah kesempatan saya dapat bertemu langsung dengan sosok Dharmadi
yang melegenda.
Dharmadi bagi saya adalah salah seorang guru dalam
hal kepenyairan. Selain ramah dan low
profile, Dharmadi juga tidak membuat jarak dengan para penulis baru di
Banyumas. Ia dengan senang hati membuka pintu rumahnya, menerima siapa saja
yang hendak berkunjung, bersilaturahmi budaya. Sosok ini juga kerap muncul
dalam berbagai acara diskusi sastra. Malah, di usia yang menapak 70 tahun, ia
termasuk penyair yang masih sanggup meladeni –ngobrol– hingga larut malam dengan para penyair muda di Banyumas. Bagi
saya, saat ini secara personal Dharmadi merupakan ikon penyair Banyumas.
***
Menandai usia 70 tahun -tepatnya pada 30 September
2018- Dharmadi secara sengaja membuat sebuah monumen literasi dengan
menerbitkan sepilihan puisi-puisinya dalam satu buku antologi bertajuk Pejalan (2019). Buku ini memuat sekitar
140 puisi yang ditulis dalam rentang tahun 1971 hingga 2018. Pejalan dibagi menjadi tiga sub bagian
himpunan. Himpunan pertama, berjudul
“Dalam Kobaran Api Cinta”, kedua bertajuk
“Anak-anak Abad Keduapuluh”, dan ketiga,
berjudul “Di Padang-padang Luas”.
Melalui Pejalan,
sesungguhnya penyair tidak hanya membangun sebuah monumen. Ia juga tengah mendirikan
museum sekaligus ‘rumah tinggal’ bagi keabadian namanya. Pejalan telah terbit sebagai monumen berupa buku yang gampang dijangkau
secara riil. Sebagai museum, Pejalan
menyimpan berbagai kenangan di balik segala peristiwa yang membekas, mengendap
dalam sanubari dan ingatan sebagai memori pribadi penyairnya. Sementara sebagai
‘rumah tinggal’, kumpulan puisi ini diposisikan serupa tempat tinggal abadi yang
semua orang dapat memasukinya, jika hendak menapaki tilas kehidupan penyair.
Puisi merupakan arsip, tempat segala peristiwa
disulih dan dipilih untuk disimpan sesuai suasana yang ada. Dalam konteks ini, Pejalan berisi mozaik-mozaik peristiwa
atau kejadian yang pernah dialami aku lirik. Tentu saja tidak semua kejadian
dapat diungkap menjadi puisi yang baik. Hanya peristiwa penting, menjadi
penting atau dipentingkan yang dapat meninggalkan jejak pada batin dan pikiran
penyair. Peristiwa semacam ini selalu melibatkan liyan atau orang lain yang
justru bertindak sebagai pasangan sejajar yang terlibat dalam sebuah proses
peng-alam-an pada titimangsa yang menerbitkan suasana tertentu. Penyair dan
siapapun liyan yang dimaksud, hadir baik secara nyata (disebutkan namanya)
maupun sekadar mewujud dalam sistem tanda terpilih dalam tubuh puisi.
Mereka yang disebut dalam puisi Dharmadi antara
lain; Rita Oetoro, Diah Hadianing, Andri & Jun, Ahita Teguh Susila, AD
Dongo, Medy Loekito, dan Soesi –penyair- Soesatro. Nama-nama tersebut tentu
saja bukan sekadar liyan dalam hidup penyair. Mereka adalah orang-orang yang
terlibat dalam suatu peng-alam-an hidup. Mereka pernah ada (hadir) pada sebuah
latar tempat dan momentum tertentu. Bersama orang-orang ini, penyair melakukan
dan mendapatkan laku sehingga tercipta suasana yang menimbulkan kenangan.
Bersama mereka, penyair melakoni berbagai kisah yang –lantas- dicatatnya
sebagai puisi untuk menambatkan kenangan.
gerimis pagi
: rita oetoro
ini gerimis menyapu embun
tak lagi ada mutiara di daun
dicerlangkan matahari pagi
langit mendung halaman lengang dari
cericit burung udara di teras gemetar
melintas angin menyusup dingin
kau membayang
jiwa bergetar
rindu
1995
Puisi bertajuk ”gerimis pagi” merupakan salah satu
presentasi perasaan aku lirik yang rindu kepada Rita Oetoro, seorang penyair
perempuan asal Purwokerto. Pada pengantar buku Pejalan, Dharmadi menyebut ‘mba’ pada nama yang dimaksud dalam
puisi. Dari sini terlihat, betapa dekat hubungan antara keduanya, baik sebagai
sahabat atau sesama penyair yang memang lazim memiliki kedekatan dan saling
memberi perhatian. Itulah sebabnya kata ‘rindu’ dipilih untuk memungkasi puisi.
Menurut titimangsanya, lirik puisi ini ditulis
pada tahun 1995. Sementara, tajuk puisi mengisyaratkan sebab mula peristiwa itu
terjadi. Dari sini kita dapat membaca satu arsip peristiwa yang menjadi
kenangan bagi aku lirik. Boleh jadi, kenangan yang sama juga terbesit pada
ingatan Rita Oetoro, setidaknya pada saat yang bersangkutan membaca puisi ini.
Rasa rindu, dalam puisi ini diantarkan melalui sketsa sebuah pagi yang dihiasi –ini- gerimis (yang) menyapu embun/ … //langit mendung, halaman
lengang dari/ cericit burung, udara di teras gemetar/ … //jiwa bergetar//
rindu//. Sketsa ini membingkai suasana pagi dan perasaan rindu yang
menggetarkan jiwa setara getar dingin udara pagi.
Rindu adalah salah satu rasa ingin yang merupakan bagian
dari kebutuhan dasar jiwa manusia yang sehat. Perkara rindu tentu bukan perkara
yang biasa. Ada prasyarat yang musti dilengkapi untuk sebuah kerinduan. Jika
bukan lantaran kualitas hubungan yang diceraikan waktu, maka ada sebab lain,
seperti intensitas hubungan yang mendadak terkurangi. Syarat utama dari rindu
adalah adanya totalitas proses psikologis yang terjadi (psike) pada diri aku
lirik terhadap subjek atau objek yang dirindukan.
Dalam konteks ini, aku lirik musti mengalami suatu
peristiwa yang melibatkan subyek lain yang dirindukannya. Rita Oetoro menjadi
satu-satunya referensi yang sahih atas segala kisah yang menerbitkan rindu yang
dialami si penyair. Peristiwa inilah yang mengendap di dalam alam bawah sadar,
kemudian meletup sebagai rasa ingin yang begitu dalam dan menggetarkan. Lantas,
puisi mencatat secara simbolik perasaan tersebut. Penyair menggunakan bahasa
yang elok sebagai resonansi getar rindu.
Pada puisi berikutnya, aku lirik menggunakan setting atau latar tempat sebagai tajuk,
sekaligus kata kunci untuk membuka arsip peristiwa yang melibatkan liyan. Puisi
“di pendapa tbs” yang dirujuk pada satu nama; Diah Hadianing (DH). Nama ini
juga dikenal sebagai penyair. Nama DH bersama Ahita Teguh Susila (ATS), Medy
Loekito (ML), dan Dharmadi juga tercatat dalam buku antologi puisi Serayu[3].
Latar peristiwa yang menjadi muasal ditulisnya
puisi ini adalah pendapa Taman Budaya Surakarta (TBS). Peristiwa yang dicatat
adalah sketsa pendek usai pertunjukan wayang.
… /… sebentar lagi/ fajar dalang mencabuti wayang/ untuk kembali
dikotakkan// waranggana tak lagi mengumandangkan lagu …/ … penonton pelan
menghilang/ pendapa lengang//. Baris puisi ini merepresentasikan wujud
suasana yang terjadi pada saat itu. Kemudian, diteruskan dengan satu fragmen
puitik; engkau di sana
menggoyang-goyangkan kepala naga/ dari kejauhan memandangiku yang telentang
menatap/ sudut-sudut ruangan// Bait ketiga ini merupakan peristiwa penting
yang menjadi nyawa bagi puisi ini. Lantas ditutup dengan satu kalimat penuh
daya yang dibuat dengan merepetisi kata kunci ‘kotak’ –mengotakkan– sebagai ungkapam yang menggambarkan nasib aku lirik; gilirankukah kan kau kotakkan?//. Sebuah
pertanyaan puitik yang menghentak sebagai penutup puisi.
Sebenarnya Dharmadi cukup jeli dalam meramu
peristiwa yang melibatkan liyan -dalam posisi setara- dengan berbagai suasana
di luar dan di dalam dirinya menjadi bait-bait puisi yang dokumentatif. Pada
puisi “di jakarta”, Dharmadi mengarsipkan momen perjalanan melintasi jalan kota
metropolitan bersama seorang bernama Adri & Jun. Sepanjang perjalanan, aku lirik
mendapati banyak hal yang membekas sebagai kenangan. Menurut Dharmadi -dalam
puisi ini-, Jakarta adalah sebuah tempat yang tidak ramah bagi sepi; … /masih ada sepi di jakarta, jun?/. Malah,
pada akhir puisi ini, Dharmadi menegaskan sikapnya yang impresif terhadap
Jakarta, dengan mengatakan; /jun, jakarta
terlalu angkuh bagiku/.
Meski demikian, ternyata kesibukan dan kesuntukan
Jakarta tidak membuat aku lirik lupa dengan persahabatan yang telah terjalin.
Ia merekam dan mengabadikan momen penting kunjunganya ke rumah Hans dan
pertemuan dengan Sien Tjwan. Dan yang
tersisa adalah kegundahan yang menjulang antara bangunan-bangunan tinggi dan
kerinduan akan persekawanan di tengah /kehidupan
dalam mabuk modernisasi//.
Sementara itu, kepada Ahita -sahabatnya yang
lain-, melalui sajak bertajuk “hakikat”, Dharmadi berusaha membuat sebuah
korespondensi. Mereka berdua adalah sahabat yang menekuni rimba perpuisian di
Purwokerto. Oleh sebab itu, perbincangan yang muncul adalah persoalan hakikat
hidup. Dialektika yang diarsip dalam puisi ini adalah perkara hasrat dan
hakikat, … //di sela-sela mengunyah
bakso sesekali ayam goreng/ malam-malam kita merasa dialog panjang tak/
menghasilkan/ uang tentang ke mana arah hidup hakikat//. Sketsa ini
merekonstruksi suasana intim antar dua penyair yang biasa saling bertegur sapa,
membicarakan soal-soal kecil hingga ke ceruk terdalam; hakikat.
***
Menulis adalah salah satu cara mengabadikan
gagasan, peristiwa, dan juga nama. Bagi penyair, puisi adalah tempat untuk
mengabadikan segalanya. Ia memilih bahasa sebagai medium, lantaran ia sadar
segala hal dikonsepsi menggunakan bahasa. Jika tidak ada bahasa, maka tidak
akan pernah lahir definisi untuk segala yang ada di dunia, yang abstrak maupun
tampak kasat mata. Tanpa bahasa, maka tidak akan pernah ada nama-nama dan
segala yang tersimpan di baliknya. Puisi adalah tempat tinggal abadi bagi
nama-nama dan segala peristiwa. Puisi menjadi wadah bagi faktualitas diri
penyairnya. Pada titik inilah, penyair berani menyatakan bahwa di dalam puisi
ia akan tinggal selamanya. Puisi adalah rumah, tempat tinggal abadi bagi
penyairnya.
kalau kau rindu aku
kalau aku tak lagi ada
kau rindu mencariku
bukalah pintu puisiku
masuklah;
aku abadi di situ
2011
Puisi ini agaknya ditulis dengan kesadaran penuh
bahwa seorang penyair hanya akan hidup abadi dalam karyanya. Oleh sebab itu,
dapat dimengerti jika vitalitas Dharmadi dalam berkarya terus dipertahankan
hingga usia 70 tahun. Entah bagaimana caranya, tetapi Dharmadi terbukti masih
cukup produktif. Bahkan dalam catatan saya, -hingga saat ini- Dharmadi adalah
satu-satunya penyair Banyumas yang paling banyak membukukan puisinya dalam
antologi tunggal.
Dalam rentang kepenyairannya, Dharmadi telah
menulis berbagai persoalan dan wacana dalam larik-larik sajaknya. Puisinya
tidak melulu perkara cinta yang romantis. Puisinya juga mengetengahkan
persoalan publik; politik, sosial, ekonomi, pembangunan peradaban dan perkara
religius serta spiritual. Sebagai pejalan,
Dharmadi termasuk tipe pejalan yang tangguh. Pejalan telah merekam ketangguhannya dalam mengolah peristiwa
keseharian dengan berbagai latar, konflik dan suasana yang melingkupinya
menjadi ratusan puisi.
Dharmadi adalah salah satu penyair yang membangun
puisinya dengan metode yang sederhana, namun tetap memancarkan strategi estetik
yang kuat. Setidaknya ini tampak pada puisi-puisinya yang ditulis pada dekade
1990 hingga 2000-an. Strategi estetik yang dipilih adalah merekam peristiwa,
untuk mengantarkan pesan melalui kisah dalam puisi. Sementara pada dekade
berikutnya, mulai tampak berbeda. Puisi-puisi Dharmadi di era 2010-an mulai
lebih ringkas, pendek dan subtil.
Namun demikian, konsistensi Dharmadi dalam
berpuisi menjadi teladan bagi penyair generasi di bawahnya. Langsung maupun
tidak, sesungguhnya para penyair muda yang mengenal sosok Dharmadi telah
mendapatkan pelajaran berharga; bahwa menulis puisi adalah salah satu cara
merawat kewarasan, kemanusiaan, ingatan, dan merawat nama diri. Puisi bukan
hanya sekadar letupan emosi yang luput dari kendali super ego, melainkan
pengalaman batin yang dipikirkan dan dipresentasikan dengan kesadaran penuh.
sajak
menulis sajak
habis membaca alam
mendekat tuhan.
2016
***
Biodata
Teguh Trianton, lahir di sebuah desa
terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet, Kab.
Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Pernah bekerja sebagai
wartawan. Tulisannya berupa puisi, artikel, dan esai telah diterbitkan di
Harian Bernas Jogja, Minggu Pagi, Solo Pos, Suara Pembaruan, Radar Banyumas,
Suara Karya, Suara Merdeka, dll. Buku antologi yang pernah terbit; puisi
‘jiwa-jiwa mawar’ (Buku Laela 2003), antologi Temu Penyair Antar Kota
Pendhapa-5 (TBJT 2008), dan lain sebagainya.
Email : anton_aktualita@yahoo.com .
[1] Penulis adalah penggemar
sastra, alumni Sekolah Pascasarjana S3 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS, mengajar
di Prodi PBSI FKIP UM Purwokerto.
[2] Esai ini ditulis sebagai
pengantar diskusi dan peluncuran buku Kumpulan Puisi Pejalan karya Dharmadi, Kamis 2 Mei 2019 di Pendopo Wakil Bupati
Banyumas.
[3] Antologi Serayu menghimpun sek itar 55 penyair yang rata-rata memiliki latar
sosial budaya Banyumas. Buku ini sempat menjadi salah satu tonggak dan penanda
tumbuhnya dunia kepenyairan di Banyumas kala itu. Penerbitan Serayu diinisiasi oleh Kancah Budaya
Merdeka (KBM) Purwokerto kala itu.