Jembatan Sayidan
: S
Sebelum matahari benar-benar terbenam
dan diganti lampu-lampu jalan perkotaan,
aku ingin mengingatmu untuk diriku sendiri
mengingat luka dan perasaan yang tidak biasa.
Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu
sementara kau selalu datang dengan senyum purna,
sentuhan-sentuhan kecil,
dan menyandar bahu saat merasa kecewa.
Di jembatan Sayidan,
aku mencoba untuk mengingatmu kembali,
membaca percakapan lama kita
melalui pesan-pesan singkat.
Waktu itu, kau selalu saja mengelak
ketika berbicara mengenai kita,
sementara mata dan mimik muka
berkata sebaliknya.
Di jembatan Sayidan saat matahari terbenam
aku masih berteman embus angin
dan lalu-lalang orang-orang.
Bergerak dari sunyi ke sunyi,
dari satu sepi ke sepi lainnya.
Yogyakarta, 2020-2021
Memorabilia Jalan Kapas
Bukan sebab lapar
kau mengajakku ke angkringan,
aku paham betul
apa yang dikatakan matamu.
Setiap langkah adalah penawar
dari pertemuan-pertemuan yang tertunda,
dan obrolan-obrolan singkat
adalah kegugupan semata.
Sepanjang trotoar di bawah pohon kiara
kau tertunduk malu,
sementara aku terus mengamati langkahmu
yang semakin terburu.
Di angkringan jalan kapas,
kita duduk bersandingan,
memesan beberapa nasi kucing,
gorengan, dan sebungkus ketenangan.
Malam itu yang belum terlalu dingin,
degup jantung adalah satu-satunya
yang kita rasakan bersama,
setelah melewati hari-hari
dengan kemegahan suka cinta.
Yogyakarta, 2020-2021
Sepotong Pisang
Sore itu sebungkus pisang goreng
kau pesan lengkap dengan taburan cokelat.
Sewarna cokelat matamu yang jernih.
Rasanya-rasanya mungkin
semanis bibir ranummu yang merekah
dengan bercak merah menyala.
Aku bisa melihat jemarimu tergesa
mengiris-iris pisang yang masih panas.
Kemudian menyuapkannya sepotong kepadaku.
Di saat aku kesulitan mengunyah,
raut wajah yang kau perlihatkan saat itu
membuatku melupakan pekerjaan penting.
Membuatku memahami suatu hal,
bahwa mencintaimu adalah keputusanku.
Sementara untuk memilikimu adalah perkara lain.
Lantas, bagaimana mungkin
aku memalingkan diri darimu,
sementara kau selalu saja punya kejutan
-kejutan kecil yang tidak terduga.
Yogyakarta, 2020-2021
Apologi
Maaf jika aku telah mencintaimu,
sebab dadaku tak henti bergemuruh
sejak kedatanganmu.
Kau serupa angin
dan aku adalah api
yang terus membara karenamu.
Diam-diam aku terus memerhatikanmu,
sebab aroma tubuhmu
telah lekat dengan ingatanku.
Adalah aku yang lebih dulu tersesat
di belantara keasinganmu.
Sementara kau tetap angin,
tenang dan menyejukkan.
Sekali waktu menjelma badai,
meluluhlantakkan segala yang ada,
termasuk kangen yang selama ini
menjadi dasar kegelisahanku.
Maaf jika aku telah mencintaimu,
sebab cinta yang murni
lahir tanpa mengenal waktu.
Ia tumbuh begitu saja
tanpa mengharap apa-apa.
Yogyakarta, 2020-2021
Telaga Matamu
Aku mencintai bukan lantaran terbiasa
melainkan sebab telaga di matamu,
membuatku menyelam di kedalamannya.
Tenang gelombang
dan percik-percik air
menyimpan rahasiamu,
membuatku tenggelam
semakin dalam lagi.
Arus dalamnya kurasakan
seperti sentuhan tanganmu,
lembut dan mendebarkan.
Dasar telaga yang tak terhingga
memberi keleluasaan bagiku
untuk tetap menjelajah,
menandai tempat-tempat
yang belum ternamai.
Dalam telaga matamu
aku ingin terus hidup,
membersamai arus
dan tenang gelombang.
Kemudian mencipta pusaran baru
agar kau juga tahu
di mataku ada telaga
yang mesti kau selami,
dalam, lebih dalam lagi.
Yogyakarta, 2020-2021
Cara Mencintai dengan Jarak
Kamu
mesti akrab dengan jarak,
percayalah
kepadanya.
Sebab
karenanya pula
cinta
di dadamu tumbuh setiap hari
mengakar
dan semakin semi.
Jarak
tidak akan membuat senja
yang
kita lihat menjadi berbeda.
Begitu
pula ketika malam tiba,
samar
bisa kita lihat susunan bintang
yang
membentuk layang-layang
di
langit selatan.
Mencintai
aku yang jauh darimu
merupakan
cara terbaik untuk memahami
bahwa
jarak tidak memudarkan rasa,
bahwa
jarak membuatnya semakin dewasa.
Yogyakarta,
2020-2021
Tentang Penulis
Ardy Priyantoko
lahir di Wonosobo. Penyair ini bergiat di kelompok belajar sastra Jejak Imaji
dan komunitas sastra Bimalukar. Dia mengabdi di Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
Yogyakarta.