RENJANA
siapa sangka, dalam tiap diam yang begitu batu
ia selalu bersijingkat
mencoba mendekat dan mengenal tiap jengkal rotasi
hidupnya sendiri
seumpama pejalan,
ia belajar mengenal setapak dan jejak-jejak
sehabis hujan
kemudian akrab dengan terik dan gemuruh langit
yang seringkali menghujani matanya sendiri
ia selalu
ingin mendekat dan bicara kepadaku
ambillah mataku
ambil lenganku
ambillah jantungku, yang mendebarkan mimpimu
ambillah tubuhku untuk hidupmu
ambillah, agar ia sempurna
jika dunia ini milikku, ambillah
dan jadikan ia milikmu
sampai kita tak perlu lagi berbagi
sebab ada satu bunga yang mengakar di rahimku,
bertunas di dadamu
Banjarnegara, 2019-2021
RENJANA #2
ia kerap merupa pejalan linglung yang urung
pulang
pada derap langkah kaki telanjang itu
ia kembali menjadi bocah-bocah masa lalu
direngkuhnya dalam terik, mendung, dan angin
musim penghujan; yang dingin, sedikit mengkhawatirkan
kadang, ia menjadi pejalan linglung
yang selalu urung pulang
sebab, di sebuah lantai paling dasar dalam
hidupnya,
ia telah bertemu alamat rindu
yang menyajikan semangkuk bubur
dengan asap membumbung dan mengepul
yang membuatnya berpikir tentang mata yang
bertahan melawan kantuknya
tentang semangkuk bubur ia santap
dengan lahap hingga tandas sampai ceruk
mangkuknya
ada niat yang mengalahkan setumpuk keluh
ada hati yang begitu hangat meracik
yang mengajarkannya bagaimana caranya menawar
harga lapar
Banjarnegara, 2019-2021
DERSIK
Bung,
kembang ilalang tidaklah bisu
mereka nembang bernada sendu
seorang bocah kecil telanjang kaki, berlari
mengejar matahari yang selalu singgah di timur
punggungnya
hari ini gerimis mengantarnya pada purnama
ke-sekian
hingga ia sibuk sekali menata debar sendiri
tak beratur, gugup dan riuh berbaur
tetapi rindu, baginya, selalu menang lebih dulu
dan setiap perjalanan, selalu berumah pada pulang
Banjarnegara, 2019-2021
BERGERIMIS
seperti pintamu, gerimis adalah aku
jika aku adalah gerimis
aku lebih memilih jatuh pada pelipismu
membelai-belai kelopak matamu dengan kedalaman
telaganya
jika aku adalah gerimis,
aku adalah airmata pertanda puncak sukacita milik
semesta
bermuara pada biru. gerimis yang mengeja namamu
jika aku adalah gerimis,
aku ingin kau jadi matahari
biar kita dapat lahirkan pelangi
menyesaki segala dada dengan bahagia
jika aku adalah gerimis dan kau mataharinya,
cahaya seketika saja meruang
menggugurkan mendung di degub-degub jantung
aku adalah gerimis,
yang merintik sebagai titik
yang luluh sebagai detik, selalu saja,
menyertaimu pada segala dimensi waktu
Satu Atap, 2021
KIDUNG ASMARADHANA
—kepada Mehrunisa Nailaka
Mehrunisa, putriku yang ayu
di tiap degup dalam dadamu
ada ribuan doa yang tersemat tak habis-habisnya
berjalin pada tiap ingatan waktu
Mehrunisa, yang karenanya kakiku tetap kukuh
berpijak
meski sepetak malam terselip di bias wajah kita
Engkau tetaplah rumah
tempat paling nyaman
ke mana aku selalu pulang
merebahkan tiap kenang dan rindu yang begitu
piatu
Mehrunisa, yang di matanya melengkung indah
pelangi
akan aku ceritakan kisah paling puisi padamu
tentang malaikat yang mengantarmu sampai di bumi
dan cinta yang dititipkan padanya lewat semesta
tanpa habis-habisnya
Malaikat itu tanpa cela,
ia alirkan kasihnya padaku dan padamu
tanpa mengenal syarat
rekah senyumnya selalu mampu hapuskan air yang diamdiam turun dari mata
hangat dekapnya mampu meninabobokkan hari yang
letih dan begitu rusuh
lembut kecupnya selalu mampu memberi jawaban untuk apa kita dilahirkan
Mehrunisa,
padamu aku bisa melihat wujudnya yang paling utuh
dan sempurna
Purwokerto, Oktober 2021
Mawar-Mawar di Pusara
–Hevin
Faharisa
menabur mawar di pusaramu, sahabatku
pada tiap kelopaknya yang
layu, tak terlewat kusemat berpilin rindu
: tentang renyah tawa dan
ganjilnya selisih
tentang pahitnya duka dan indahnya kasih
semoga Al Fatihah-ku nuju ke kalbumu.
Purwokerto, Oktober 2021
PARODI
di antara pohon angsana menjulang
seorang gadis kecil nyempil, bersembunyi
dari kawan-kawan bermain
wajahnya tirus kausnya kumal jalannya
berjingkat-jingkat
serupa kelinci datangnya sembunyisembunyi
sekawanan semut di pohon angsana sibuk berdiskusi
mencium wangi gulagula di saku celana
di pohon satu lagi rangrang sendiri merangkak
cepatcepat
sembunyisembunyi
ketemu!
teriak seorang bocah ompong nyengir kesenangan
pongah bocahbocah mencubiti hati
tapi bocah kecil ternyata rangrang
ia sendiri berani meradang
digigitinya hati bocahbocah pongah
ternyata hatinya hitam, tertutup warna
ah, siasia!
gadis kecil di antara pohon angsana
melangkah gentar melihat dunia
serba malam
sialan!
Purwokerto, 2020
AKU TIDUR DI BALIK LEMBAR-LEMBAR BUKU
aku adalah anak kampung
tempat mainku adalah sawah dan ladang
bapak-ibuku berangkat kerja tanpa dasi dan sepatu
hak tinggi
tapi cita-citaku
menuntut ilmu sampai ke negeri tirai bambu
aku adalah anak kampung
sekelilingku adalah rumputan, pohonan, dan
derasnya arus kali
tapi harapanku mengalir
untuk sekolah yang tinggi
kampung
halamaku memang jauh dari riuhnya kota
tapi di sana, halaman-halaman buku terus dibaca
kalau malam datang,
aku akan tidur nyenyak
di bawah temaram cahaya
di balik lembar buku-buku
yang berkisah tentang masa lalu
yang diceritakan ibu dan bapakku
Rumah Kreatif Wadas Kelir, 2018-2021
Tentang Penulis
Endah Kusumaningrum, lahir di Banyumas, 05 Juni 1994. Beralamat di Kecila RT 02 RW 02, Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah. Aktif menulis sejak bergabung di Rumah Kreatif Wadas Kelir, Purwokerto. Menerbitkan karya-karyanya berupa dongeng, artikel, puisi, dan cerpen di berbagai lini media massa. Saat ini aktif sebagai pengajar di UIN Saizu.