NUN
DAN REFLEKSI FILOSOFIS ABDUL WACHID B.S.
“Penafsir
adalah makhluk historis yang tidak memiliki penglihatan suprahistoris.”, kata
Gadamer. Artinya, sebagai penafsir, selain dituntut untuk memahami konteks
historisitas teks, penafsir juga dihadapkan dengan keterbatasan
eksistensialismenya sendiri terhadap kompleksitas sebuah objek (epistimologi).
Maka dari itu, kesadaran penafsir berperan penting dalam konteks refleksi.
Menariknya,
kesadaran sebagai sebuah produk filsafat Rene Descartes, ditentang oleh
Gadamer. Gadamer menganggap kesadaran yang ditemukan oleh Descartes melalui
refleksinya, yang kemudian disebut cogito, adalah kegiatan mental yang
memisahkan aktivitas berpikir dari tubuh. Karena melihat dari luar tubuh, cogito
atau kesadaran murni ini juga transendental dan melihat peristiwa-peristiwa
seolah dari luar sejarah (Hardiman, 2015: 240).
Barangkali,
sangkalan Gadamer terhadap kesadaran sebagai bagian dari refleksi Descartes
dilatarbelakangi oleh nuansa transendensi mutlak (semua dipasrahkan kepada
kekuatan Azali), tanpa mengetengahkan potensi inderawi dan pengalaman manusia
sendiri. Cara pandang Gadamer sendiri dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi
Edmund Husserl, yang menganggap bahwa intensitas pergumulan manusia terhadap
objek tertentu berimbas kepada pemahaman yang terstuktur dan menyeluruh. Bagi
Gadamer, interpretasi adalah kerja memahami makna bukan merefleksikannya untuk,
misalnya, menemukan motif atau kesadaran di balik motif itu.
Saya
memosisikan tesis Descartes dan Gadamer sebagai sebuah kolaborasi atas
mekanisme refleksi. Descartes menyatakan pentingnya kesadaran transendensi,
sedangkan Gadamer menitikberatkan kepada pengalaman inderawi-fenomenologis. Namun,
patut diketengahkan juga argumen Paul Ricoeur. Ricoeur menganggap penting
refleksi dalam interpretasi teks, sehingga makna hermeneutiknya adalah
menyingkap intensi, wacana, ide, atau nuansa yang ada di balik teks. Guna
mengukuhkan tesisnya, Ricoeur mengutip pendapat Wilhelm Dilthey seperti
berikut: “manusia hanya bisa mempelajari dirinya melalui tindakannya, melalui
eksteriorisasi (pengungkapan) kehidupannya dan melalui pengaruh-pengaruh yang
ditimbulkannya kepada orang lain” (Ricoeur, 2009: 69).
Maka
dari itu, pengalaman manusia dalam struktur ide dan gaya ungkap puisinya
memiliki peran penting. Dalam puisi, refleksi terakumulasikan secara estetis
maupun filosofis. Puisi bisa saja menjadi hasil atas refleksinya sendiri
terhadap kehidupan, atau puisi menjadi media refleksi itu sendiri. Kesadaran
sebagai individu maupun kolektif berpengaruh signifikan, baik bagi penyair
maupun pembaca.
Selama “berkarir” di
jalan puisi, tercatat Abdul Wachid B.S. (Achid) sudah menerbitkan 8 kumpulan
puisi, mulai dari Rumah Cahaya, (cet. 1, 1995, cet. 2, 2003, cet. 3,
2005), Ijinkan Aku Mencintaimu (cet. 1, 2002, cet. 2, 2004), Tunjammu
Kekasih (2003), Beribu Rindu Kekasihku (2004), Yang (2011), Kepayang
(2012), Hyang (2014), dan Nun (2017). Khusus dalam antologi Nun,
Achid memosisikan dirinya sebagai bagian dari jagat besar semesta. Achid
menyadari, ia juga diintensikan oleh alam. Artinya, Achid bagian dari makna.
Karena bagian dari makna, ia menyediakan dirinya sebagai teks. Dalam pada itu,
ia siap ditafsiri dan didefinisikan oleh siapapun, bahkan oleh puisi yang
dituliskannya sendiri. Perhatikan puisi berikut:
AKU AIRMATA
…
aku menjadi
manusia tanpa tulang
tetapi aku
dikuatkan oleh airmata
setidaknya
airmata inilah yang
masih menjadi
tanda
bahwa aku selalu
ingin menjadi manusia baik
seperti doadoa
ibu yang
di masa kanak
sebagai penutup dongeng
…
Yogyakarta, 1
Juni 2016
Sebagai produk bahasa, saya
kira puisi di atas “tuntas”. Kata “manusia tanpa tulang” memiliki makna yang
asosiatif. Mungkin saja Achid ingin mengatakan bahwa sebagai objek (manusia) ia
lemah bahkan tidak berdaya. Ia selalu membutuhkan kekuatan untuk terus mengabadikan
kebaikan dan keindahan, sebagai hakikat dari nilai kemanusiaan yang universal. Pertanyaannya,
mengapa Achid tidak menggunakan kata “daun”, “kapas”, “burung”, “udara” atau
“bunga” sebagai tamsil? Jawabannya, bisa jadi ia ingin melepaskan nuansa
sufismenya, dan menuju kepada gairah profetik (semangat kenabian-kemanusiaan).
Ernest Cassier mengganggap
bahwa perbedaan karya tulis ilmiah dengan sastra adalah pada pemosisian
humanismenya. Pada konteks karya tulis ilmiah, sedapat mungkin mengeliminir
unsur kemanusiaan yang personal. Sedangkan sastra, mencuatkan gerak kosmik,
yaitu peradaban manusia secara luas (Budiman, 2007: 11). Bagaimanapun juga,
puisi memiliki tanggung jawab sosial-transendental. Keparipurnaan puisi, secara
umum, akan dinilai dari seberapa banyak orang membacanya, mengapresiasi, dan
mengkritik. Saya kira di sinilah awal mula “peran humanisme” karya sastra.
Membaca
sebuah sajak, setidaknya menurut Hardiman, sebelum ada penilaian indah atau
tidaknya, kita sebenarnya sedang melihat tanggapan penyair terhadap sesuatu.
Membaca sekumpulan sajak dari seorang penyair membuat kita melihat tanggapan penyair
terhadap macam-macam hal di sekelilingnya dari waktu ke waktu. Dan pada
akhirnya, kita akan sampai kepada pandangan hidup atau gambaran dunia atau weltanshaung
si penyiar. Kita akan ikut merasakan nilai-nilai yang dihayati si penyair
yang menjadi dasar tanggapannya terhadap dunia di sekelilingnya.
Oleh
sebab itu, seorang penafsir sesungguhnya sedang menafsiri pengalaman yang
dirasakan oleh penyair. Sebagai mekanisme refleksi, pengalaman penyair harus
tersampaikan oleh pembaca, agar pembaca merasakan implikasi atas bahasa dan
realitas yang terjadi. Penafsirpun harus memosisikan dirinya sebagai objek,
karena penafsirpun akan menjadi bagian dari mekanisme refleksi (oleh orang
lain). Nilai dari sebuah puisi ditentukan oleh intensitas pertemuan kedua objek
tersebut, antara penafsir dan penyair. Sehingga akan muncul hakikat dari sebuah
teks dan fusi horizon-horizon historisitasnya.
Puisi dan Refleksi Filosofis Abdul
Wachid B.S.
Sebagai
mekanisme refleksi filosofis, puisi harus “dilepaskan” dari faktor bahasa
semata, sekalipun bahasa merupakan sistem tanda yang sudah memiliki arti dan
makna sekaligus, bahkan memiliki konvensi tersendiri, sebab bahasa merupakan
lembaga masyarakat (Pradopo, 2012: 209). Sebagai lembaga masyarakat, bukan
berarti bahasa yang dikemukakan oleh penyair harus “mendapatkan persetujuan”
dari masyarakat terlebih dahulu. Apabila semuanya harus “mendapatkan
persetujuan” masyarakat, di manakah
independensi penyair sebagai penafsir dan penyampai kebenaran? Bisa jadi
masyarakat tersebut hanyalah “masyarakat elit-politik” yang memiliki kuasa atas
modal (kapital). Artinya, bahasa tidak lagi objektif dan jujur.
Dalam konteks refleksi filosofis, produk utama
yang dihasilkan penyair adalah simbol dan makna. Hal tersebut mengamini
apa yang disampaikan oleh Ricoeur berikut: “simbol-simbol memberi, mereka
adalah pemberian bahasa, namun pemberian ini menciptakan untukku tugas untuk
berpikir, untuk memantik diskursus filosofis. Simbol-simbol tidak hanya untuk
interpretasi, melainkan untuk refleksi filosofis.
Puisi
sebagai refleksi filosofis berimbas kepada utuh atau tidaknya peristiwa yang
dialami oleh penyair. Lihat Achid sajak berikut:
NUN, KALAM, DAN PENYAIR
Nun jauh nun
dekat
Dekatkanlah jiwa
kepada
Kolam yang
Wajah kau aku
bisa berkaca
Kalam di masa
kanak yang
Di sepanjang
jalan antara
Rumah dan
sekolah
Terus saja
didengar tak didengar
Disuarakan oleh
seorang bapak
Kalam itu
bertambah hari
Kian menjelma
menjadi kolam
Di tepiannya kau
aku senantiasa
Membasuh hidup
Wajahwajah
topeng
Topengtopeng
luka
Mengembalikan
jiwa kepada
Pulang kampung
Dusun yang
Masih menghijau
oleh
Hutan jati hujan
basah hati nurani
Sekalipun yang
Kujumpai
tinggallah nama pada nisan
Setiap ingat
membuat lidah
Mengucap kepada
al-fatihah
Nun jauh nun
dekat
Dekatkanlah jiwa
kepada
Kolam yang
Wajah penyair
sepertiku
Berkaca kepada
kolam
Kalam
mu
Yogyakarta,
10 Oktober 2016
Sajak tersebut saya
kira ditulis oleh Achid dengan penuh pertimbangan. Pertimbangan pertama
adalah bahasa. Dalam konteks refleksi filosofis, bahasa adalah makna pertama.
Disinilah kelebihan Achid. Ia mampu memproduksi bahasa dengan sederhana, tidak
berbunga, sekalipun tidak jarang ia “ramaikan” dengan beberapa pengulangan
kata. Intensi Achid dalam menggunakan kata yang hampir sama pengucapannya,
meskipun memiliki arti dan makna yang berbeda, menjadikan puisi di atas
menawarkan konsep dan pemikiran yang kompleks.
Pertanyaannya, jika
judul “Nun, Kalam, dan Penyair” adalah representasi dari Q.S al-Qalam, sejauh
mana Achid mampu memahami makna surat tersebut? Berupaya memahami makna bukan
berarti menganggap Achid harus memahami kaidah tafsir al-Qur’an secara
menyeluruh. Saya hanya ingin memastikan bahwa pemahamannya terhadap (arti) surat
tersebut komprehensif. Saya mengidentifikasi konsep dan pemikiran yang kompleks
pada sajak tersebut disebabkan oleh dwifungsi “aku-lirik”. Fungsi pertama adalah
persinggungan personal Achid dengan surah al-Qalam, atau fungsi kedua, Achid
sebagai bagian dari “gambaran” surah al-Qalam, yaitu Achid sebagai penyair.
Pertimbangan kedua adalah konsep ruang dan waktu. Saya menganggap Achid
penyair yang begitu liris dalam membahasakan Tuhan. Suasana masa kanak hingga
ketiadaan (ketiadaan “aku-lirik” atau ketiadaan orang lain) manusia tergambar
di dalam sajak tersebut, walaupun kedetailan Achid dalam “memotret” suasana
pada sajak tersebut patut untuk dikritisi lebih jauh. Pada bait terakhir …/wajah
penyair sepertiku/ berkaca/ kepada/ kolam/ kalam/ mu/, mengingatkan saya
kepada puisi Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Sudah Kubuang-buang”
Sudah Kubuang-buang
Sudah kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia tak sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah
mengalir
….
Sudah kubuang-kubuang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja
tuhan
Makin saja Tuhan
(1991)
Menurut Sapardi Djoko
Damono, Emha sebagai manusia berakal tengah menghadapi keresahan. Di dalam
dirinya, terdapat ketegangan antara keinginan untuk sepenuhnya menjadi manusia
dan kenyataan bahwa ia merupakan bagian tak terpisahkan dari Sang Pencipta.
Sumber keresahan (tuhan) tersebut ternyata tidak menghasilkan kerenggangan, tetapi
justru keakraban antara manusia dan Sang Pencipta (Damono, 1999: 187). Pertimbangan
bahasa dan pertimbangan ruang-waktu, terdapat pada puisi-puisi Achid seperti
“Ikrar Pengantin”, “Nun”, “Bersama Kasih Sayang”, “Rindu Yang Meluapluap”, “Riwayat”.
Achid, menurut hemat
saya mengaplikasikan konsep perenialisme filosofis dengan baik. Perenialisme sendiri merupakan konsep filsafat
Soren Kierkegaard yang memosisikan Tuhan sebagai energi kreatif. Jika Abdul
Hadi mengawalinya dengan /pada mulanya adalah kabut/ lalu muncul
perahu-perahu/, yang oleh Sapardi dinilai sebagai keremang-remangan sebuah
gaya, Achid memulainya dengan Nuun/ walqalami wamaa yasturuun/ maa anta
bini’mati rabbika bimajnuun/, yang saya sebut sebagai refleksi ke-ilahian.
Maka dari itu, dalam konteks kumpulan sajak “Nun”, juga sebagai judul buku,
pemosisian wacana transendensi menjadi terang.
“Objektivikasi”, “Personalisasi”, dan “Subjektivikasi”:
Struktur Ide Achid
Saya selalu meyakini bahwa penyair merupakan
pendengar, pengamat, dan pencatat realitas yang baik. Jika penyair tidak
memiliki ketiga unsur tersebut, maka tidak akan terjadi dialektika pemikiran,
peristiwa dan bahasa yang menarik. Ia terlalu sibuk kepada imaji personal,
alih-alih untuk terus mengungkapkan keresahan eksistensialnya sebagai makhluk
sosial. Rendra, dalam Mempertimbangkan Tradisi, mengatakan:
… Ya,
keterbatasan, kefanaan, dan daya hidup menjadi pusat penghayatan saya. Dan
sejajar dengan itu saya berusaha mencoba mengerti dan meraba yang Abadi. Di
dalam proses itu, saya merasakan augerah daya hidup yang diberikan oleh yang
Abadi kepada keterbatasan dan kefanaan saya. Memang setiap manusia diberi
anugerah daya hidup dan daya mati. Dan daya hiduplah yang bisa memberi makna
positif kepada keterbatasan dan kefanaan manusia (Rendra, 1984: 63).
Di
dalam buku tersebut, pada bab “Proses Kreatif Saya sebagai Penyair”, Rendra
mengakui adanya “campur tangan” Tuhan dalam kehidupannya. Sehingga, ia
berpendapat bahwa semua keputusan hidupnya, khususnya ketika Rendra memutusakan
untuk menikah muda, merupakan representasi dari gelak alam. Ia berjalan sesuai
waktu yang sudah diatur secara presisi.
Begitu
juga di dalam buku kumpulan sajak “Nun”. Saya dapati bahwa Achid menulis
puisinya dengan pola yang konsisten, mulai dari mengamati objek (“objektivikasi”),
melakukan pengendapan (“personalisasi”), hingga terciptanya makna yang baru
atas objek yang dikaji (“subjektivikasi”). “Objektivikasi“ merupakan struktur
kognitif dari penyair, guna melihat, mengukur, menilai, dan mengasumsikan gerak
alam. Oleh sebab itu, tidak heran, objek yang dituliskan oleh Achid sebagian
besar berawal dari hal-hal yang sifatnya empiris. Perhatikan sajak berikut:
Bersama Kasih Sayang
Air mengasihi akar
Akar mengasihi pohon
Pohon mengasihi ranting
Ranting mengasihi dedaunan
Dedaunan mengasihi buahbuahan
Buahbuahan mengasihi seorang bocah
Seorang bocah
mengasihi ayah
Ayah mengasihi
ibu
Harapan
mengasihi doa
Doa mengasihi
tengadah tangan
Tengadah tangan
mengasihi udara
Udara mengasihi
awanawan
Awanawan
mengasihi biru langit
Biru langit
mengasihi malaikat
Malaikat
mengasihi para nabi
Para nabi
mengasihi para rasul
Para rasul
mengasihi kanjeng nabi muhammad
Shalallah
‘alaihi wassalam
Kanjeng nabi
mengasihi Allah
Allah
mengasihi sifatnya
Sifatnya mengasihi
ciptaannya
Ciptaannya
mengasih cahaya
Cahaya mengasihi
cahaya yang pertama
Cahaya yang
pertama mengasihi kanjeng nabi
Kanjeng nabi
muhammad mengasihi umatnya
Yogyakarta, 8
Januari 2016
Pada bait pertama,
Achid melakukan “objektivikasi” berupa “air” dan “pohon”. Keduanya diposisikan
sebagai fenomena empiris yang sudah tersedia beserta tugas dan fungsinya. “Objektivikasi”
harus dilakukan oleh penyair agar ia bisa memotret dengan lengkap seluruh
peristiwa puitik. Pada level ini, kesadaran penyair berperan penting. Menariknya,
kesadaran yang dibangun oleh Achid adalah kesadaran imanen yang dimediasi oleh
nalar/ logika. Oleh sebab itu, kerap kita temukan invensi simbol dari Achid
yang tidak tunggal. Ia selalu bercabang, namun tidak mengeliminir makna yang
akan disampaikan.
Pada bait kedua, saya
yakin Achid lebih intens dalam mengamati objek. Sehingga, Achid memerlukan
sudut pandang yang lebih luas dari level kesadarannya yang pertama (“objektivikasi”).
Domain ini saya sebut sebagai “personalisasi”. “Personalisasi” mengutamakan
kecerdasan afeksi (emosional). Persinggungan emosi Achid dengan objek yang
diamati (realitas) direfleksikan secara filosofis, sehingga, Achid “bumbui”
dengan pengetahuan, katakanlah tamsil atas intensi kosmik: “udara”,
“awan”, “malaikat”, “nabi”, “rasul”, dan seterusnya, sehingga terbacalah gerak
teks sajak tersebut mengarah kepada dimensi transendensi-profetik. Pendapat
tersebut mengamini pendapat Martin Heidegger. Ia mengatakan: “untuk memahami
sebuah teks, kita perlu memiliki pra-pemahaman terlebih dahulu tentang dunia”
(Hardiman, 2015: 245).
Bait ketiga dari sajak
tersebut adalah puncak pemaknaan Achid terhadap objektivikasi, yaitu “subjektivikasi”. Sebagai
penyair liris-relijius, Achid akan mengembalikan “objektivikasi” dan “personalisasi”-nya
kepada hulu segala teks, yaitu Allah SWT. Menariknya, Achid tidak melakukan “pengekangan”
terhadap bait terakhir sajaknya, bahkan mungkin keseluruhan. Ia dibiarkan bebas
untuk dimaknai, guna menghindari verbalitas dan doktrin semata. Keseragaman
pola tersebut dapat ditemukan juga dalam sajak Achid yang berjudul “Cermin”,
“Beri Saja Satu Puisi Kepada Wanita”, “Riwayat”, “Yaman Wulung”, “Combing Putih
Combong Hitam”, ‘Sekali Pandang”, “Masjid Saka Tunggal”, “Biang Lala…”.
“Jalan Malam”, “Di Singapura”, “Hai Bro…”.
Akhir kata, terdapat
sesuatu yang menarik dari buku kumpulan sajak Nun tersebut. Pada level
subjektivikasi, meskipun Achid membebaskan sajaknya untuk ditafsiri, saya
berpendapat bahwa Achid mulai merasakan “sunyi”. Ia mengarah kepada dimensi kepasrahan dan
keridhoan. Orang yang ridho dan sukacita, bilamana ia melihat alam sekelilingnya,
timbullah kesenangan dan gembira. Kesenangan dan kegembiraan hati itu adalah
pangkal jalan menuju bahagia. Ridho menghilangkan cela dan aib. Lantaran ridho
telah lekat di hati dahulu, maka kalaulah ada cela, ia akan cepat dilupakan,
jika ada cacat, ia tidak akan teringat, begitulah ucap Hamka.
Wallahu’alambishawab.
BIODATA
Wahyu Budiantoro, Lahir di Purwokerto, 10 April. Saat ini ia tercatat sebagai Kepala
Sekolah sekaligus pengajar di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP)
Purwokerto dan Logawa Institute Purwokerto. Baru-baru ini esainya menjadi salah
satu yang terbaik pada even Bulan Bahasa Universitas Gadjah Mada (UGM) 2019 dan
Balai Bahasa Jawa Tengah (2019). Beberapa tulisannya juga pernah dipublikasikan di media cetak.
Buku pertamanya berjudul Aplikasi Teori Psikologi Sastra: Kajian Puisi dan
Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera Press, 2016).