ORANG-ORANG BUNGGU
pada tanah mereka humuskan nasib
menanti putaran musim menumbuhkan rerumputan
waktu berhenti melaju, lantaran batu-batu, juga ilalang
yang menghampar hingga ke tepi langit, lebih merangkum makna
bagi setiap kaki yang menapak di atas tanah merah,
tanah lelehur orang-orang Bunggu.
orang-orang Bunggu, setia menatap hari-hari yang hampa
merelakan diri dikumur panas dan dingin hujan,
sesekali angin ribut hinggap di rambut mereka,
menerbangkan gubuk-gubuk mereka, mereka berlari ke Bantaya,
lantaran itulah tempat mereka merelakan diri
bagi yang maha segala dari segalanya.
orang-orang Bunggu, luruh bersekukuh pada petuah leluhur,
menggadaikan hidup bagi sandaran yang pasti, lantaran rindu dendam
tak dapat diharapkan dari dunia kini yang selalu menipu.
hanya masa silamlah yang mengajari mereka,
agar tak mengagadaikan hidup pada apapun, lantaran hanya pada tanahlah,
pada air dan pada api, kita akan pulang jua akhirnya.
orang-orang Bunggu menari di atas bara,
menikam diri sendiri dengan pedang, meniup slumpit
hingga menembus cakrawala, tak ada rindu tiada dendam,
lantaran hanya karena cintalah hidup ini kan berbinar.
/Suku Bangsa Bunggu-Sulbar, 2007
SAJAK LINGLUNG
Kenyataan telah
melampauhi akal sehat, basulah wajahmu dgn puisi, setidaknya puisi mampu
menampung duka deritamu.
Kutulis sajak dan
puisi dgn dua buah batu menggantung di dadaku. Dada yg sesak dari asap hutan-hutan
terbakar, dada yg sesak sbb menelan letusan gunung-gunung purba.
Gunung-gunung
menjulang, meledak di jiwaku, orang-orang terkapar di jalan-jalan berlumur
darah, bangkai terbakar menggelepar.
Bumi serapuh kafan.
Anak-anak kami tawuran di jalan-jalan sepulang sekolah, perempuan-perempuan
berdada runcing, berdansa di kedalaman bola mata kami.
Anak-anak kami tidur
dalam igauan. Mimpinya tentang masa depan yang suram, porak-poranda digilas
perang saudara.
Kiutulis puisi dgn
kepala yg berat-bimbang. Banjir lahar menghancurkan otakku, jembatan, aspal di
jalan-jalan dicuri dari kepala kami, pikiran kami hanyut ke muara, ke laut yg
tak nampak ranah tanah tepinya.
Ayah, ibu, guru dan
para penganjur agama kami oleng dipukul badai hidup, langit murung melihat kami
meratap di sungai-sungai, di kaki bukit, di lampu-lampu merah kota-kota, di
kaki para pemangsa.
Para tetua
dikampung-kampung kehilangan pandangan, petuah leluhur hanyut di sungai
sejarah, bercampur tinja, comberan dan sampah-sampah peradaban di kali waktu.
Kami tak bisa lagi
membeda siapa penjaga dan siapa maling. Kami seperti bunglon. Sekali waktu jadi
maling di lain waktu jadi penjaga. Tergantung di orde mana kami bertengger.
Wajah dan rupa kami
lucu-lucu. Tak lagi dapat dibedakan siapa pendidik siapa penyidik, siapa yg
disidik, yg pasti kami bukan manusia Sinddiq.
Kami melihat
orang-orang berbaris di dalam layar. Mulut mereka berbusa-busa, menuding wajah
orang lain sambil melupa wajah mreka lebih menjijikkan, hancur, bopeng-bopeng,
liur dan ingus ditelan mulut sendiri, namun tetap merasa gagah, sebab tak
pernah bercermin sehingga tak tau seburuk apa rupa di dalam kaca.
Kami tawarkan cermin
padanya, cerminnya diretak dan dihancurkan. mreka percaya cermin itu telah
memburukkan wajah mereka.
Orang-orang bercinta
sambil berdiri di pantai, di gedung-gedung dan tong sampah, di kandang kuda,
lalu dihakimi orang-orang pemilik negeri berbudaya, diarak dan ditelanjangi ke
cakrwala, padahal diam-diam ia juga melakukan hal yg sama namun hanya Tuhan dan
kamar mandi yg tau.
Inilah sajakku,
linglung di masa yg suram, langit linglung, bumi linglung, pantai linglung,
matahari linglung, bintang-bintang linglung, negeri linglung, semuanya
linglung.
“Mungkin kiamat
sudah dekat” kataku.
“Insha Allah kiamat masih lama !” kata Gus Mus.
Inilah sajak
linglung, sebab penyair linglung. Kata-kata telah beku di kutub utara. Para
penyair meloakkan puisinya sendiri, lebih murah dari bangkai ikan di pasar
sentral, lebih terkutuk dari kisah si Maling Kundang.
Penyair kehilangan
kata-kata. Penyair membuang kata-kata. Penyair takut pada kata-kata. Sebab
penyair kini hanya tau kata anggur dan rembulan. Smentara di sudut puisi,
Rendra menagis airmata kata-kata.
/Jogja-Mamuju, 2018.
MASA KE MAMASA*
pagi bangkit dari matahari
ketika waktu memintal sore ke dalam malam,
pucat pasih. bukit-bukit didaki. darah membeku di Dara,
sawah-sawah merangkum di Messawa: mendongengkan kisah
tentang Putri Bangsawan Parengngeq yang dikutuk ibu dan ayahnya
jadi dingin batu dan geliat ular.
namun pagi dingin tak menyurutkan kaki orang-orang Messawa,
turun meniti pematang, membalik tanah jadi berkah,
menggali kolam kecil untuk ikan mas piaraan
sebagai titisan para dewa.
“janganlah kau pergi menepi, ke gigir kolam, bersandar ke pematang,
sebab jejakmu nanti tak nampak”.
ujar petani itu.
jika hujan dan panas datang merajammu,
kembalilah ke dalam damai sunyi hatimu,
ke dalam kolam kasih dan cinta tempatmu lelap tertidur semalam.
pagi memahat matahari, senja memanjat bukit dan pegunungan,
di kaki, lumpur dan kerikil tajam mengeras, meski jarak tak mengalah tak
sabar.
tetapi rindu kan terbayarkan diantara derit pinus dan cemara,
ketika sayap-sayap malam menerbangkanmu ke dalam kelam dan kau tiba:
“hei datanglah ke bumi jiwa kami yang resah, Kondossapataq Wai
Sappaleleang”**.
selamat malam Mamasa. inilah masa ke Mamasa. menyulam waktu ke dalam cuaca,
musim berganti, menyusur jalan dan kampung yang dulu menjadi ladang subur
anak cucu Elisabeth dari negeri seberang.
inilah Mamasa, yang lahir dari upacara Rambu Saratu:
tempat bidadari meniti kabut putih ke bumi.
masa ke Mamasa, anak-anak melintas di hulu sungai, pipinya memerah dikumur
cuaca,
diantara alisnya mengalir sungai-sungai damai meski tak tahu muaranya.
ke Mamasa, di rumahmu tinggal kabut putih, aku menggigil, aku kedinginan.
/Mamasa-Mambi, 2009.
*Mamasa nama salah satu kota kecil di pegunungan Sulawesi Barat di
utara bagian barat Tana Toraja (Tator).
**Nama lain dari Mamasa.
DI BATU WAKTU
dari peram rindu-dendam zaman kau dilahirkan.
melukis gairah anggur dan empedu di batu-batu,
di pohon-pohon, pada logam, pada besi, emas dan permata.
di riak air sungai, laut dan gunung-gunung senja hari,
kau dibangunkan dari lelap lapis tanah, agar tak sekedar jadi humus,
melupa kisah dan celoteh waktu
menjadi embun dan hujan, lalu retak dan sirna ke muara.
dari api abadi kau dilebur dan ditempa waktu, dituang
ke dalam kepingan-kepingan ingatan, digerus dengan rindu dan airmata
maka menjelmalah tanda, garis dan coretan hitam di dadamu,
serupa perunggu-menunggu rindu.
tapi dari beku perdu zaman, kau direguk setandas cadas, dibasuh airmata,
diteteskan serupa saripati, lalu dengan mantra-mantra paling purba,
kau direkatkan dengan semesta, diamini bianglala.
kemudian diantara ketiak waktu yang melenggang ke barat, bukit-bukit,
gunung-gunung, muntah di kepalamu. Air laut meluap.
Orang-orang berlari di pundakmu, dadamu ditumbuhi lumut berbatu,
dianyam kisah, dihanyutkan ke sungai, ke muara ke timur dan ke barat,
lalu orang-orang mengerti dan menulismu dalam buku tua,
mewariskan di himne kematian, agar tak jadi lagu sumbang di malam buta
dan menjelma menjadi permata bagi anak-anak cucu mereka kelak nanti.
kau yang dulu lahir dari batu-batu, pohon-pohon, logam, besi, emas,
perunggu,
permata dan juga air mata yang kini menjelama menjadi arca, candi, benteng,
rumah tua, lorong waktu, masjid, katedral dan kuil-kuil,
sekali waktu pernah tersesat dan beku dilekukan pantai peradaban,
serupa jam dinding tua yang tak berdetak lagi, tak membunyikan lonceng
dan tak menabuh tabuh di senja dan di subuh hari.
lelah zaman melenggang sepi.
bertahun-tahun dan ber-abad-abad kami anak cucu mawarismu mencari-cari,
mengais-ngaismu di remah-remah belantara kota-kota,
di hutan-hutan kecemasan kata-kata, di ceruk-ceruk palung terdalam zaman,
menangisi dan mencari alamatmu dimana. betapa lama, betapa lengang,
hingga lempang lindas waktu lelah menanti.
di lapis lampau waktu, kau dicuri, dilarikan ke se gala penjuru mata angin,
mengembara di pulau-pulau, di benua-benua, Eropa, Timur Tengah,
ke Tanah Mongoloid, bahkan ke gugusan zamrut tak terkira,
disayang-sayang dan dikunci rapat ke
dalam locker-locker tua,
lantaran kau adalah kekayaan sejati semesta, sebab di garis telapak
tanganmu
melahirkan kisah dan legenda yang tak sudah-sudah.
maka kini kami mengerti, untuk apa peram rindu-dendam
yang meneteskan saripati waktu, menjelama menjadi arca, candi, benteng,
rumah tua, lorong waktu, masjid, katedral dan kuil-kuil, jika tak tahu
makna kedatangan dan kepulangan, agar anak-anak yang kini tumbuh
dari akar matahari, terus memacu kuda-kuda kembara,
merawat benteng dan kuil tua, menjaga rayap dan lumut berbatu,
melagu cinta dan keheningan di masjid dan katedral
di kaki-kaki peradaban yang duduk ganjil dan termangu-mangu
menantang matahari pagi hari.
/Rumah Panggung-Jogja, 12 Juni 2013
MEMETIK TEH DI KEBUN PUISI
(: untuk Rama Iman Budhi Santosa)
dulu datang. di tangan dengan puisi
segala kenangan adalah kata, lalu pulang dengan puisi
dengan cinta bunga kecubung, tahun-tahun menjelma kabut kata-kata
puisi adalah rindu yang disulam ke dalam tahun-tahun berkarat
serupa permadani, lapangan rumput dibentangkan menghampar
suara-suara bergelayut di tebing-tebing curam
dongeng-dongeng dikisahkan diantara lembah dan hutan
anak-anak bermulut mawar, lahir dari rekah tanah moyang sendiri
menapak tanah, membelai bumi, meminta agar Tuhan,
menurunkan hujan dari langit dan mata kami kan berbinar
di sini siapa saja menjadi saudara, katamu.
jika telah bulat, matahari merekah di langit timur, kami tiba
menangkup jejak embun di pagi buta, lalu Tuhan menyeka keringat
dan air mata kami, menapak tanah basah, menari riang
di pucuk-pucuk teh Medini. Ya, di sini.
kami melahirkan anak cucu, membangun rumah dari mimpi
setelah lelap tidur dalam alunan nyanyian angkup nangka
sebagaimana moyang kami mengajari; kepada siapa langit dijunjung
dan kepada siapa kelak bumi dipijak.
namun malam dan hari-hari tak dapat dicegah
ruang dan waktu terus menipu diri,
orang-orang memandang kami
dengan memicingkan mata, sementara Tuhan tidak begitu.
Tuhan mengasihi siapa saja yang jatuh cinta di kaki-Nya.
maka gerhana bulan,
atau raungan gunung-gunung bersahut-sahutan adalah cinta
dimana kelak kami menyemai rindu dalam mimpi, meski tak sunyi
dari badai dan parahara, dari dendam kesumat zaman.
maka pulanglah hai lelaki daun jati, robohkan segala berhala di depanmu
dirimu adalah rindu-dendam atas dirimu sendiri, berangkatlah,
jangan gentar, sebab di tanganmu segala garis dan lekukan
telah menjelema puisi dan kata-kata. Jika dulu kau datang dengan puisi,
sekarang pulanglah dengan puisi yang kau seret dari perah keringat dan
airmata
maka Tuhan, telah menyuguhkan nirwana puisi dan bidadari untukmu.
/Lereng Medini-Kendal, November 2011
KUANTAR KAU PULANG
:bagi Joko
Pinurbo
bulan sedikit menggigil
saat mengantar malam pulang ke subuh
sebagaimana kita, seusai menuang malam
ke dalam botol dan cangkir-cangkir yang dingin,
kuantar kau pulang membelah malam.
“Mau pulang kemana, Mas?” tanyaku
“Ke kuburan.” jawabmu
“Kuburan siapa?” tanyaku lagi
“Ya, kuburanku ¡” jawabmu tegas
“Hah…..Kuburanmu?” tanyaku heran
“Maksudku, kuburan keluargaku.” jawabmu santai
lalu aku sibuk menggenjot motorku
ke dalam malam, ke dalam keheninganmu.
dalam perjalanan
kami pun berbincang banyak hal
sambil melihat-lihat malam yang berlari kian jauh ke subuh.
Di tengah jalan, motor agak sedikit oleng
lantaran ngantuk yang tidak tertahankan
lalau engkau berkata:
“Kamu sepertinya ngantuk?”
“Ya” jawabku singkat
“Sini, gantian aku yang di depan. Aku sudah tidak sabar,
ingin segera menabur bunga di atas kuburan moyangku……!!”
lalu kita pun menepi sejenak, dan gantian engkau di depan.
dan aku, sambil terus menggigil di belakangmu, bingung, antara heran
dan tertawa cekikikan dalam hati, sebab baru ini kali pertama
aku melihatmu menggenjot motor, kencang pula.
tapi malam terus merambat perlahan
udara dingin kian menyergap hingga tulang sumsum
aku menggigil tak karuan, dan tak dapat berkata-kata lagi.
tak lama berselang, akhirnya kita sampai di kuburan
kuburan nampak sepi sekali
tak ada suara apapun, kecuali suara jangkrik malam
ditingkahi desir angin yang sesekali mematahkan ranting
dan menggugurkan daun-daun.
engkau menepikan motor ke pinggir
dan akupun berlari menuju pos ronda yang terletak tidak jauh
dari kompleks pekuburan itu. Melanjutkan tidur
yang menerjangku sejak perjalanan tadi.
masih kulihat kau melangkah bagai penjaga kuburan
ke dalam kompleks pekuburan, sebelum aku benar-benar terlelap
tak lama berselang kau pun kembali dan membangunkanku dari tidur
dan kantuk yang luar biasa malam itu.
di tanganmu, masih kulihat keranjang dan bunga yang akan kau taburkan masih
utuh.
Aku sedikit bingung.
“Lho, bunganya kok belum ditaburkan, Mas?” tanyaku
“Kuburan moyangku telah digusur” jawabmu
“Lalu…?” tanyaku mengejarnya.
“Ya sudah, kita pulang aja, dan bunga ini biar kubawa pulang!”
“Untuk apa, Mas?”
‘Biar kutaburkan di halaman rumah para koruptor,
sebagai doa, agar mereka segera mati, dariapada
menjadi sampah sejarah di negeri bencana ini ¡”
malam menjelma subuh
pagi hampir tiba
bulan pucat, mengintip kami
dari balik langit yang retak
dirajam matahari pagi yang kemuning.
/16
Tentang Penulis
Bustan Basir Maras,
lahir Teluk Mandar (Mekkatta-Malunda) Majene, Sulawesi Barat, 9 September.
Tahun 1998 memilih tinggal di Yogyakarta dan beberapa kota lain di Pulau Jawa.
Menempuh pendidikan formal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Oxford Course.
Aktif di berbagai komunitas teater dan pernah bekerja sebagai jurnalis.
Karya-karyanya memenuhi berbagai mesia seperti Bernas Jogja, Minggu Pagi, Wawasan, Republika, Info Indonesia, SKH.
Mimbar Karya Sul-Sel, Kompas, Harian Fajar Makassar, Kedaulatan Rakyat, Suara
Merdeka Semarang, Aktual, Koran Sindo, Suara Pembaharuan, Majalah Arena,
Majalah Sukma Banjarmasin, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Koran Mandar, Kuntum,
Serapo Kaltim, Radar Sulbar, Koran Singapur-Johor-Riau (SIJORI) Batam, Suara
Muhammadiyah, Jurnal Ibda’, Jurnal Pohon, media-media online: titikkoma,com,
Melayu Online, Mandar News.com, Kompas Online, Panyingkul.com, annoramedia.com,
dan Suaramandar.com. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Negeri Bersyair (puisi, SSST Sila,
2000), Mata Air Mata Darah (puisi,
Buku Laila, 2004), Damarcinna
(cerpen, Fajar Pustaka, 2005), Negeri
Anak Mandar (puisi, Annora Media, 2006), Ziarah Tanah Mandar (GOeBOeK Indonesia, 2006), Carita (cerita rakyat Sulbar, Annora Media, 2007), dan Ziarah Mandar (GOeBOeK Indonesia, 2010).