MULUT
Pagi
itu antrian loket sudah panjang. Seorang perempuan tua dengan mengenakan
tongkat, berjalan lambat ke meja resepsionis. Mungkin saja ia merasa tidak
karuan lantaran demam yang menyerangnya semenjak tiga hari yang lalu. Mulutnya
komat kamit—entah apa yang ia katakan, tak terdengar—mendekati suster yang tengah
melayani pendaftaran pasien di meja resepsionis.
“Anak
ibu sudah berapa hari batuk-pilek bu?” Tanya suster sembari mengecek suhu badan
seorang balita. Mukanya lesu, terduduk di pangkuan ibunya. Perempuan tua itu
tiba-tiba menyergah.
“Suster.
Ini kapan giliran saya? Sudah antri lama begini tidak juga dipanggil-panggil!” Tukasnya
sambil melotot. Raut wajahnya terlihat sangat kesal. Suster memasang termometer
di bagian dalam ketiak balita itu, lalu menghampiri perempuan tua yang
mengomelinya.
“Sabar
ibu. Maaf, kalau boleh tahu, berapa nomor antrian ibu? Bisa saya lihat nomor
antriannya?” Suster yang murah senyum itu melihat Kartu Sehat dan juga nomor
antrian perempuan yang tidak sabaran. “Tinggal tiga lagi. Ditunggu dulu yah.
Mari saya bantu duduk di kursi.”
Suster
yang baik hati itu menawarkan bantuan. Ia mencoba meraih tangannya.
“Tidak
usah. Saya bisa sendiri.” Ia menolak dengan tegas tawaran suster. Perempuan itu
menekuk mukanya sambil berjalan pelan kembali ke kursi tunggu.
“Tidak
apa-apa bu, saya bantu.” Suster terus mendesak. Mungkin ia khawatir sebab badan
perempuan itu lumayan panas dan dia sadar tidak bisa mendahulukan antrian.
“Wah
suster baik sekali.” Kata seorang lelaki yang kaki kanannya separuh diperban.
Suster hanya tersenyum.
Puskesmas
memang setiap hari selalu penuh. Apalagi saat hari senin. Tidak ada tempat
berobat murah selain di sini. Di desa Ngundu memang ada seorang dokter yang
buka praktek setiap hari. Dokter Lie Ni namanya. Dia keturunan Cina Bugis.
Warga asli dari Kabupaten Dli yang melihat kesempatan besar membuka praktek di
desa yang belum tersentuh teknologi. Peluang itu memang benar, sebelum
puskesmas Ngundu memiliki fasilitas dan banyak dokter, puskesmas ini dapat
dikatakan tidak seperti puskesmas pada umumnya. Hanya memiliki seorang dokter
dan satu suster. Obat-obatan yang tersedia pun masih sangat minim. Parahnya
lagi jika obat terlambat dikirim dari pusat. Warga yang berobat harus pergi ke
kota untuk membeli obat sesuai dengan resep yang dibawa dari puskesmas Ngundu.
Peluang
ini pula yang ternyata sudah lama di incar oleh dokter Lie. Obat yang
disediakan pun jelas jauh kualitasnya dengan obat-obatan dari puskesmas. Hanya
saja, warga yang berobat pada dokter Lie harus merogoh kocek lebih dalam.
Apalagi jika hari sabtu dan minggu, puskesmas tutup. Di hari-hari itulah,
tempat praktek dokter Lie selalu penuh.
Untung
saja, dua tahun ini, pemerintah telah merenovasi dan juga memperluas gedung
puskesmas. Semua dipertimbangkan karena banyak hal—termasuk kondisi ekonomi
masyarakat yang pas-pasan. Semenjak itu pula, warga selalu pergi ke puskesmas
untuk berobat. Mereka lebih memilih berobat di puskesmas, barang harus menunggu
rasa sakit sehari-dua hari ketika menerima kenyataan bahwa setiap hari
sabtu-minggu puskesmas tutup. Kini sudah ada lima dokter, termasuk dua dokter
spesialis. Suster pun bertambah menjadi lima belas orang. Memiliki persediaan
obat yang jauh lebih bagus dan stok selalu terpenuhi.
Di
hari-hari biasa, antrian selalu menumpuk. Perempuan tua itu masih kesal. Duduk
bersebelahan dengan lelaki yang kakinya dibalut perban. Dari arah belakang,
seseorang menepuk pundaknya.
“Heh,
Darsih!”
Perempuan
tua itu menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang wanita yang seusia dengannya.
“Kau siapa? Seenaknya saja menepuk pundakku. Aku ada masalah denganmu?” Ia
tambah kesal.
“Dasar
pikun.” Seloroh perempuan itu sambil tertawa.
“Sembarangan
mengatai aku pikun, heh!!!”
“Kau
lupa denganku? Aku Painem. Temanmu saat di Sekolah Rakyat.”
Dia
terdiam. Mencoba mengingat-ingat nama itu. Painem dan Sekolah Rakyat. Dua kata
kunci yang membuat Darsih sedikit agak lama berfikir untuk mengingat-ingatnya kembali.
Dia menatap langit-langit puskesmas. Mencoba untuk menghadirkan kembali
ingatannya tentang perempuan yang menepuk pundaknya. Selang beberapa detik, ia
tersenyum. Darsih sudah mulai ingat. Sambil membalas tepukan Painem ke
pundaknya. “Oalah, kamu Painem. Yang dulu anak kepala desa Karmono
bukan?”
Painem
tersenyum. “Kau sakit apa?” Tanya Darsih.
“Kau
tidak lihat, pipiku bengkak dan kutempel Koyo begini? Sudah jelas sakit gigi. Pakai
ditanya segala.” Gerutu Painem. Sekalipun ia tengah sakit gigi, namun kemampuannya
untuk memarahi orang tidak bisa diremehkan. Darsih pun tertawa. “Memangnya kau
ini kenapa?”
“Asam
uratku kambuh. Ditambah lagi demam dan jika begini, biasanya gula darah naik.”
Giliran
Painem menertawai Darsih. “Memang kau ini sudah tua Sih.”
“Emang
kau pikir, kau ini masih muda? Lihat saja kerutan di dahimu, sudah tidak
terhitung lagi jumlahnya”
Mereka
berdua menertawai diri mereka masing-masing. Puskesmas Ngundu semakin sesak. Bertambah
siang, pasien samakin banyak. Mereka mengantri hingga membludak sampai rela
duduk menunggu di beranda puskesmas. Banyak balita dan anak kecil menangis,
sambil mengantri giliran untuk diperiksa dokter. Pasti, mereka pun sama, tengah
merasakan sakit di badan mereka. Entah itu demam, pusing, ataupun sakit lain
yang wajar dialami oleh anak-anak.
***
“Nomor
antrian A lima belas” Sebuah pengumuman terdengar dari sepaker kecil yang
menempel di dinding ruang tunggu. Di layar monitor yang menggantung di
langit-langit, menunjukkan tulisan A15. Darsih melihat kembali kertas antrian
yang sedari tadi ia pegang. Ia melihat nomor antrian yang sama persis dengan
yang terpampang di layar monitor, A15. Tepat,
ini giliranku. Kata Darsih dalam hati. Ia
pun berdiri, meraih tongkat yang sengaja ia sandarkan di dinding. Berjalan
pelan menuju suster yang sedari tadi mengurus pendaftaran pasien.
“Ini
giliranku. Aku mau mendaftar dulu.” Ucap Darsih kepada kawan lamanya itu. Painem
mengangguk.
Dari
arah jauh, suster berdiri lalu menghampiri Darsih.
“Giliran
saya suster.”
“Iya
ibu. Mari saya bantu.” Suster itu memegangi tangan kiri Darsih. Menarik kursi
duduk. “Silakan ibu duduk. Mari, biar saya bantu. Pelan-pelan saja bu.” Darsih
duduk dengan sempurna. Suster itu kembali ke tempat duduknya. Kembali
menggenggam mouse, menulis data dalam layar komputer.
“Bisakah
saya pinjam Kartu Sehat yang ibu bawa?”
Darsih
memberikan Kartu Sehat miliknya. Suster dengan cekatan memasukkan data ke dalam
komputer. Setelah itu, ia melontarkan beberapa pertanyaan kepada Darsih perihal
rasa sakit yang ia dera.
“Ibu
sakit apa? Bisakah tangan kanan ibu diletakkan di atas meja sebentar?” Suster meraih Sfigmomanometer,
merekatkan kain hitam di lengan Darsih. Lalu dengan otomatis, alat itu
mengembang. Membuat sebuah tekanan pada lengan darsih. Di layar Sfigmomanometer,
keluar beberapa angka. Darsih tak paham, dilihatnya angka 150 dan juga angka
100.
“150
per-100. Tensi ibu lumayan tinggi.” Ucap suster.
“Iya
Sus, saya sedikit pusing, batuk-batuk, dan asam urat sepertinya kambuh.”
“Sudah
berapa hari ibu sakit?”
“Tiga
hari ini.”
“Ini
Kartu Sehat ibu. Disimpan kembali”
Darsih
menerimanya. Dengan cepat, suster menggerak-gerakan mouse, menciptakan
bunyi klik, klik, klik. Data yang telah dikumpulkan oleh suster,
kemudian dicetak. Selembar kertas perlahan muncul dari mesin printer. Berisi
data-data yang dikumpulkan oleh suster, termasuk riwayat sakit yang Darsih
alami selama ini.
“Silakan
ibu tunggu di depan ruang dokter.” Suster itu menyodorkan selembar kertas tersebut
kepada Darsih.
Darsih
berdiri. Suster membantu mengambilkan tongkat yang terjatuh di lantai.
“Pelan-pelan saja ibu.” Suster itu memegangi lengan kanan Darsih sambil
tersenyum. Darsih kembali duduk di kursi tunggu. Kini ia benar-benar
bersebelahan dengan Painem.
“Kau
ingat Ningsih teman kita dulu yang paling pintar? Dia bulan lalu meninggal.”
Darsih kembali membuka obrolan dengan Painem.
“Kau
serius? Aku tak tahu kabarnya.”
“Dia
kena stroke. Baru tiga hari sakit, tubuhnya tidak kuat. Dia meninggal
begitu saja.”
Mereka
berdua seperti tengah bernostalgia di puskesmas Ngundu. Masa-masa Sekolah
Rakyat, kembali dalam ingatan mereka. Tentang masa lalu, bangunan sekolah yang
hampir roboh, guru-guru yang sering
memberi hukuman, sampai kawan-kawan Sekolah Rakyat yang satu persatu berpulang.
“Apa
kini tinggal kita saja berdua, Sih?” Tanya Painem dengan nada serius.
Darsih
terdiam sejenak. Kembali berfikir sambil sedikit merenung.
“Mungkin
saja iya.” Jawabnya lirih. “Selama tiga tahun terakhir ini, aku tidak pernah
melihat kawan lama. Barang itu berpapasan di jalan atau di pasar.” Ucapnya
dengan nada yang lemas. “Hari ini aku bersyukur masih bisa bertemu denganmu.
Sekalipun kondisi kita yang sudah sakit-sakitan.”
“Yang
sakit-sakitan itu kamu Sih. Kalau aku sehat-sehat saja, cuma sakit gigi kok.
Inipun gara-gara kebanyakan makan daging sapi.” Seloroh Painem sambil tertawa. Sekejap
saja, ia langsung terdiam. Tangannya reflek memegangi pipinya. Kali ini ia
benar-benar merasakan ngilu yang begitu kuat muncul dari gigi yang berlubang.
Gusi Painem pastinya bengkak pula, sampe membuat pipinya yang sudah kendor itu
membesar.
“Seharusnya
kau itu ingat diri.” Darsih membalas tawa. “Memang dari dulu kau tidak pernah
berubah.”
Suster
di depan ruang dokter menyebut nama Darsih. Namun dia begitu asik bercerita
dengan Painem. Kali ini Painem tidak menggebu-gebu lagi dalam bercerita dan
tidak mau menertawai Darsih lagi. Ingat dengan gigi dan gusinya yang sudah
bengkak. Bisa saja sewaktu-waktu, ia merasakan ngilu yang sangat kuat dan
seakan-akan kepalanya seperti ingin meledak.
***
Hari
bertambah siang. Puskesmas justru semakin ramai dipenuhi orang sakit. Mereka
pun mengantri untuk mendaftarkan diri ke suster yang murah senyum itu. Namun
Darsih dan Painem masih saja duduk di ruang tunggu, berada di antara pasien yang tengah mengantri. Banyak
sekali hal yang mereka obrolkan. Tak ingin berpindah tempat duduk, mereka
merasa sudah nyaman duduk di bangku panjang. Padahal Darsih telah dipanggil
oleh suster, namun ia tak mendengar. Atau bisa jadi, kali ini ia mengabaikan
pengumuman suster untuk masuk ke ruang dokter. Begitu pula Painem. Kertas
antrian yang ia pegang, terjatuh di lantai. Diambil oleh seorang anak kecil
yang duduk di belakangnya. Mungkin ia tak sadar atau memang sudah tidak
mempedulikan antrian. Atau bisa jadi mereka berdua telah melupakan rasa sakit
lantaran betapa nikmatnya obrolan panjang saat itu. Darsih lupa bahwa tubuhnya
tengah demam dan juga sakit kepala yang ia dapatkan dari kemarin. Sedangkan Painem
kini bertambah lancar ngegosip tentang kehidupannya sendiri. Memamerkan suami
barunya yang kaya raya kepada Darsih. Obrolan mereka tak habis-habis. Ada saja
yang mereka bicarakan. Ngilu di gusi Painem mungkin juga telah pergi. Sudah
tidak lagi peduli dengan antrian untuk
mendapatkan perawatan dokter, lebih penting obrolan mereka ketimbang rasa sakit
yang mereka dera.
*Cerpen ini pernah dimuat di Kompas.id pada
Juli 2020
Tentang Penulis
Faiz Adittian, seorang
pemuda asal desa Pasir Kidul,
Purwoketto Barat. Ia mahir dalam menulis cerpen dan puisi.