Karya M. Irfan Hidayatullah
Oleh
Nizar Machyuzaar*
KATA | Puisi mirip
teka-teki dalam bidang datar dua dimensi yang dibentuk koordinat X dan Y. Ordinat X dapat dianggap pertimbangan dan
perimbangan pemilihan kata dan hubungan antarkata yang populer diistilahkan
diksi. Dari ordinat X kita mendapatkan kata dan hubungan antarkata dalam garis
horizontal sebagai sintagma kata. Oridnat X yang diistilahkan dengan sintagma
puisi merupakan tindakan konkret penyair melalui ekspresi simbolik tanda bahasa
yang kemudian dikenal dengan istilah larik puisi.
Sementara
itu, ordinat Y dapat dianggap pertimbangan dan perimbangan jejaring kosakata
dan kosamakna yang dimungkinkan ada dalam sebuah bahasa, yang melingkungi
sebuah diksi, sintagma puisi, atau larik puisi dibuat. Jejaring tersebut
populer diistilahkan dengan istilah style
‘gaya bahasa’. Dari ordinat Y kita mendapatkan kata dan hubungan antarkata dalam garis vertikal
sebagai paradigma puisi. Di dalamnya terdapat asosiasi ‘paradigma selingkung’ yang menandai jejaring teks dengan
ikatan makna tak mengubah sintagma puisi dan dissosiasi ‘paradigma bukan selingkung’ yang menandai jejaring teks
dengan ikatan makna mengubah sintagma puisi.
Sebagai
bidang datar dua dimensi, puisi menyertakan ordinat X dan Y dalam hubungan
tanda kebahasaan yang melahirkan kode bahasa ‘pemahaman dan pengetahuan atas
sistem tanda kebahasaan dalam kesadaran kolektif para pengguna bahasa’. Kurang
lebihnya, kita dapat mengatakan bahwa kode bahasa ini menjadi dasar pembentuk
teks. Satuan kebahasaan kata menjadi satuan kebahasaan terkecil yang sudah
berorientasi pada makna. Lalu, satuan kebahasaan kata mendapat perluasannya
pada hubungan antarkata yang disebut dengan frasa dan klausa.
KALIMAT |
Sementara itu, kalimat sebagai ekspresi simbolik penyair dengan pertimbangan
dan perimbangan diksi dan gaya bahasa membentuk larik puisi. Hubungan
antarlarik dalam kesatuan gagasan ‘kohesi’ dan kepaduan makna ‘koherensi’
menyusun bait puisi. Demikian pun bait dan hubungan antarbait menyusun keutuhan
sebuah teks puisi. Di dalamnya terbakukan tema dan amanat dengan nada dan
suasana yang khas. Dengan kata lain, kalimat atau larik puisi menandai
pertemuan koordinat X dan Y dengan Z,
yakni penyair.
Ordinat
Z tidak begitu saja ternoktah pada bidang datar dua dimensi X dan Y. Ordinat Z
menandai seseorang yang dengan kesadaran menuangkan gagasan dengan pelabelan
tulisan atau teks bernama puisi.
Hasilnya, pertemuan ordinat X, Y, dan Z adalah bangun datar dua dimensi
bernoktah penyair yang membentuk ruang tiga dimensi yang, kemudian, kita sebut
dengan teks puisi. Bolehlah kita istilahkan bahwa pertemuan ketiga ordinat
tersebut membentuk domain xyz.puisi
yang membakukan peristiwa dan makna bahasa. Singkatnya, domain xyz.puisi
menandai manusia yang menyejarah dalam ruang dan waktu yang terbakukan dalam
wacana ‘bahasa sebagai peristiwa’.
Dari
andaian ini, kita dapat menganggap bahwa domain xyz.puisi dibangun dari
sintagma dan paradigma teks puisi yang tersusun dalam larik dan hubungan
antarlarik puisi. Artinya, larik adalah satuan terkecil pembentuk teks puisi.
Larik dapat dianggap sebagai disposisi teks (atau sebuah keputusan membuat teks
atas pemerolehan pengalaman puitik penyair). Dengan semestinya, larik sebagai
sintagma teks puisi menyertakan paradigma teks dalam posisi ‘hubungan’ dan
oposisi ‘pertentangan’ antarteks (baca: antarlarik) yang dimungkinkan dalam
ekologi teks suatu peristiwa bahasa sehingga disposisi teks dapat tercipta.
Sampai
di sini kita dapat membedakan sintagma dan paradigma kata dalam tanda
kebahasaan yang menjadi seperangkat pengetahuan bersama suatu komunitas
pengguna bahasa. Sintagma dan paradigma kata mendapat perluasannya dalam satuan
kebahasaan frasa dan klausa sebagai bahan baku
pembentuk larik. Dari sintagma dan paradigma kata, teks puisi disusun
dalam larik dan hubungan antarlarik dengan menyertakan kode bahasa.
Sementara
itu, sintagma dan paradigma teks puisi
lebih ditempatkan sebagai tindakan konkret berbahasa (wacana) penyair yang
dibentuk dari satuan kebahasaan kalimat. Satuan kebahasaan kalimat ini menjadi
satuan kewacanaan terkecil pembentuk teks. Dari sintagma dan paradigma teks,
teks puisi menyediakan jalan untuk penafsiran khas dalam pemodelan ragam teks
yang menyertakan kode teks, yakni kode puisi. Dengan demikian, larik dapat
dianggap sebagai satuan kewacanaan terkecil pembentuk teks puisi. Di dalamnya
terdapat diksi dan gaya bahasa sebagai tindakan berbahasa penyair.
REFERENSI DAN MAKNA |
Selanjutnya, domain xyz.puisi mensyaratkan adanya domain sebelumnya dan
mengandaikan adanya domain sesudahnya. Hal ini berhubungan dengan pembingkaian
kembali teks puisi melalui wacana saat (1) pemerolehan pengalaman puitik
penyair, (2) saat terbakukan dalam teks puisi, dan (3) saat diresepsi penanggap[1].
Ketiga tahap ini juga menandai referensi dan makna teks puisi yang tidak
identik bagi ketiganya. Singkatnya, pada tahap pertama, pembaca tidak hadir
saat teks ditulis.
Referensi
dan makna teks saat pemerolehan pengalaman puitik penyair berhubungan dengan
makna subjektif penyair. Namun, kedua hal ini telah terjarak dengan teks puisi
karena teks telah membakukan referensi-diri dan makna otonomnya melalui tanda
kebahasaan yang menyertakan kode bahasa dan strategi literer pemodelan teks yang
menyertakan ragam teks sebagai kode teks puisi. Singkatnya, pada tahap ini,
penyair tidak hadir saat teks dibaca.
Pada
saat dibaca atau diresepsi penanggap, teks telah siap menyediakan jalan
penafsiran bagi penanggap karena teks telah mencukupkan dirinya dalam dua hal,
yakni referensi-diri teks dan makna otonom teks. Jalan penafsiran yang dibangun
kode bahasa dan kode teks puisi mengantarkan pembaca pada pemerkayaan
pengetahuan penanggap. Pertemuan antara teks dan penanggap ini diantarai oleh
kode sosial dan budaya yang terbakukan dalam referensi-diri teks dan makna
otonom teks serta pemahaman dan pengetahuan penanggap yang khas dan relatif.
Dari
pembahasan singkat ini, dapat dikatakan bahwa dalam sintagma dan paradigma
kata, kita menemukan bidang datar dua dimensi yang dibentuk ordinat X dan Y
sebagai kode bahasa, yakni seperangkat pengetahuan atas tanda kebahasaan yang
disepakati bersama oleh antarpengguna bahasa dalam kesadaran kolektif para
penggunanya. Dari sintagma dan paradigma tanda kebahasaan kata (dengan
perluasan frasa dan klausa), teks puisi menyediakan jalan penafsiran bagi
penanggap sehingga logika makna puisi dapat berterima dengan penanggap.
Sementara
itu, dalam sintagma dan paradigma teks, kita menemukan bidang datar dua dimensi
X dan Y bernoktah Z yang menandai ruang tiga dimensi karena kehadiran penyair.
Satuan kebahasaan larik (dan bait) menjadi unsur pembangun teks puisi yang
membakukan peristiwa dan makna puisi. Dengan kata lain, teks puisi dianggap
mampu mengantarkan penanggap pada referensi-diri teks dan makna otonom teks
yang berhubungan dengan sesuatu yang melampaui bahasa dan teks. Kurang
lebihnya, kita dapat mengatakan bahwa sesuatu
yang melampaui bahasa dan teks tersebut adalah bentuk-bentuk pengetahuan
dan pengalaman hidup yang terbakukan teks puisi. Untuk sampai pada andaian ini,
kita mesti memahamkan kode sosial dan budaya yang terbakukan di dalam teks.
Akhirnya,
apa yang dapat kita temukan dari pembahasan singkat tentang domain syz.puisi?
Dapat dikatakan bahwa domain tersebut adalah sintagma dan paradigma teks puisi
yang dibentuk satuan kebahasaan larik
puisi. Di dalamnya terbakukan peristiwa dan makna puisi yang menyertakan
pengalaman dan pengetahuan hidup. Jalan penafsiran atas domain ini diantarai
oleh kode bahasa, kode teks, dan kode sosial-budaya[2].
Kita tidak membayangkan ketiga kode tersebut dalam gradasi penafsiran yang
terpisah masing-masing, tetapi dalam gradasi penafsiran yang dialektis,
beririsan, dan saling melengkapi.
SINTAGMA |
Buku kumpulan puisi berjudul Mendaras/
Komposisi/ Senja terdiri atas 96 puisi. Setiap puisi adalah domain
xyz.puisi. Jika kita menghubungkan noktah-noktah Z pada setiap puisi, kita akan
menemukan garis antarnoktah yang menandai rangkaian peristiwa dan makna dalam
tiga tematik sesuai dengan judul bukunya, yakni (1) tematik “Mendaras” yang
terdiri atas 24 noktah, (2) tematik “Komposisi” yang terdiri atas 24 noktah,
dan (3) tematik ”Senja” yang terdiri atas 48 noktah. Namun, untuk sampai pada adanya peristiwa dan
makna dalam setiap tematik, kita harus memulainya dari pemahaman renik atas
sintagma (dan paradigma) teks setiap puisi.
Dengan semestinya, pemahaman atas sintagma teks puisi melibatkan
asosiasi (paradigma teks selingkung) dan dissossiasi (paradigma teks bukan
selingkung) yang dimungkinkan dalam jejaring teks yang melingkungi sintagma
teks sebuah puisi.
Sebagai
contoh, dalam tematik “Mendaras” terbaca
puisi pertama berjudul “Mendaras Kesendirian”. Puisi ini dibangun dari enam
larik, tetapi sintagma teksnya terhitung lima. Setiap sintagma teks mengandung
paradigma teks. Berikut dipaparkan sintagma teks pertama yang membangun puisi
tersebut (gambar 1).
Gambar
(1) di atas hanya memaparkan sintagma pertama teks puisi “Mendaras
Kesendirian”. Tentu, ada empat sintagma teks puisi lainnya yang dapat dibahas
seperti gambar (1). Misal, pada sintagma kedua, pernyataan //berjejal tanya
pada rentetan peristiwa// memiliki hubungan dan pertentangan antarteks yang
dapat mengisi kelima deretan kata dalam sintagma puisi kedua tersebut. Begitu
pun pada sintagma ketiga, sintagma keempat, dan sintagma kelima. Jejaring teks
yang dimungkinkan dapat mengisi setiap kata dalam sebuah sintagma teks puisi
menjadi paradigma teks, baik yang berasosiasi selingkung maupun bukan
selingkung. Secara utuh, kelima sintagma teks puisi “Mendaras Kesendirian”
digambarkan berikut ini.
Teks
puisi “Mendaras Kesendirian” tidak berdiri sendiri, tetapi diikat oleh tematik
“Mendaras” yang berisi 24 teks puisi. Kita dapat menganggap tematik “Mendaras” sebagai gagasan yang menyatukan
sintagma kedua puluh empat teks puisi yang tentunya menyatukan juga paradigma
kedua puluh empat teks puisi. Gambar (3) kiranya dapat memaparkan hal tersebut.
1) Mendaras Kesendirian, 2) Mendaras Kecemasan, 3) Mendaras Cuaca, 4)
Mendaras Kekisah, 5) Mendaras Penungguan, 6) Mendaras Bunga-Bunga, 7) Mendaras
Hujan Deras, 8) Mendaras Harapan, 9) Mendaras yang Selintas, 10) Mendaras yang
Deras, 11) Mendaras Nyanyian, dst.
Akhirnya,
sebagai sebuah kumpulan puisi, buku Mendaras/
Komposisi/ Senja membangun sebuah monumen teks (buku) yang dibentuk dari
tematik “Mendaras”, tematik “Komposisi”, dan tematik “Senja”. Hal tersebut
dapat dipaparkan dalam gambar berikut ini (gambar 4).
Sampai
di sini, kita telah mengukuhkan teks dari satuan terkecil, yakni sintagma dalam
sebuah teks puisi yang dapat berjumlah sesuai dengan pernyataan satuan
kebahasaan kalimat. Tentu saja, hal ini tidak identik dengan jumlah larik puisi
dalam sebuah bait puisi. Hal ini dapat diidentifikasi melalui pembubuhan tanda
baca titik (.) dan atau pemenggalan larik[3].
Hubungan
antarsintagma dalam sebuah teks puisi membentuk sintagma sebuah bait puisi,
hubungan antarsintagma bait puisi membentuk sintagma sebuah teks puisi, dan
hubungan antarsintagma sebuah teks puisi membentuk sintagma tematik “Mendaras”,
“Komposisi”, dan “Senja”. Selanjutnya, hubungan antarsintagma ketiga tematik
tersebut membentuk sintagma sebuah teks buku Mendaras/ Komposisi/ Senja. Setiap tingkatan sintagma menyertakan
paradigma teks yang menyiratkan bahwa disposisi pernyataan (atau sintagma)
dibangun dari jejaring teks (atau paradigma teks) yang melingkunginya dalam
setiap tingkatan.
Sekarang,
mari kita konkretkan imaji domain xyz.puisi sebagai ruang tiga dimensi yang
menyertakan ordinat Z dalam visualisasi gambar berikut (gambar 5).
Gambar
(5) Bentuk dan Isi Teks
Dari
gambar di atas terbaca bahwa teks memiliki aspek bentuk dan isi. Buku kumpulan
puisi Mendaras/ Komposisi/ Senja
dapat dikatakan sebagai aspek bentuk. Di dalam buku tersebut terdapat isi teks
yang mengandung dua hal, yakni peristiwa dan makna. Hal ini berhubungan dengan
pembingkaian isi teks puisi melalui konteks puisi kala dibuat oleh penyair,
kala terbakukan dalam teks berlabel puisi, dan kala diresepsi pembaca. Ketiga
pembingkaian tersebut membentuk makna yang sejajar dengan makna subjektif
penulis, makna otonom teks, dan makna relatif pembaca.
Dalam
gambar tersebut, ordinat X dan Y terbakukan dalam referensi-diri teks (atau
peristiwa) dan makna otonom teks. Saat teks dihubungkan dengan penulis-pembaca,
ordinat Z muncul menandai peristiwa dan makna yang tak identik lagi dengan
referensi-diri teks dan makna otonom teks, yakni penulis undur peran atau
terjarak dengan tulisannya dan pembaca potensial siap bersua dengan
referensi-diri teks dan makna otonom teks. Ordinat Z menandai teks yang
berhubungan dengan konteks, yakni aspek kesejarahan puisi yang berhubungan
dengan makna subjektif penulis dan makna relatif pembaca serta referensi
sosial-budaya yang melingkungi konteks resepsi atas teks. Ilustrasi gambar
berikut ini dapat menjelaskan koordinat X, Y, dan Z yang membangun ruang tiga
dimensi sebuah teks puisi.
Paparan
dalam gambar 1 s.d 4 dapat kita anggap sebagai jalan penafsiran bahasawi yang
disusun dari pengetahuan bahasa atau singkatnya
disebut kode bahasa. Sementara
itu, diksi dan gaya bahasa penulis yang terbakukan dalam teks puisi membangun
sintagma dan paradigma teks puisi dalam pengetahuan atas ragam teks puisi atau
singkatnya kita sebut kode teks.
Satuan kebahasaan kalimat dan paragraf yang
langsung membentuk teks puisi adalah larik
dan bait. Dengan demikian,
pengetahuan atas larik dan bait menjadi semacam kode teks bergenre puisi yang
tak terbantahkan. Di dalam kedua kode teks puisi inilah, yakni larik dan bait,
kita menemukan sintagma dan paradigma teks puisi, yakni diksi dan gaya bahasa.
Biodata
Penulis:
Nizar Machyuzaar
Penulis,
aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia,
Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk, Gelanggang Sasindo Unpad. Karya
tulis dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Majalah
Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita
digital. Karya: Buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku puisi
tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi
Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Pengelola inskripsi.com. Terbaru, esainya dimuat di laman artikel Badan
Bahasa Kemdikbud.go.id berjudul 1) “Narasi Subversif, Mitos Baru di Era
Digital, 2) Pandemi Kleptoteks: Kluster Baru Dunia Maya, dan 3) Akar dan Pohon Sastra, 4) Berpikir Kritis Ala Warganet
[1]
Pembahasan referensi dan makna teks dipinjam dari langkah-langkah
menginterpretasi teks sesuai prasaran Paul Riceour dalam buku The Interpretation Theory, Discourse and The
Surplus of Meaning (1976).
[2] Jalan
penafsiran atas teks puisi juga menyertakan sistem ketandaan yang membangun
struktur teks puisi. Dalam buku Sastra
dan Ilmu Sastra (Pustaka Jaya, 1984), A Teeuw membagi sistem ketandaan teks
sastra (baca: puisi) ke dalam sistem ketandaan bahasa yang disebut dengan kode
bahasa, sistem ketandaan teks yang disebut dengan kode sastra, dan sistem
ketandaan konteks yang disebut dengan kode sosial dan budaya.
[3] Sintagma
puisi menandai satuan kebahasaan kalimat yang dapat dibangun dari satu atau
lebih larik dalam sebuah bait puisi. Sintagma puisi dapat mengantarai
penafsiran terhadap teks puisi karena keutuhan sebentuk pengetahuan dan
pengalaman hidup akan utuh tergambarkan dalam sebuah sintagma puisi. Dengan
demikian, dalam sebuah bait, jumlah larik puisi menjadi tidak identik dengan jumlah
sintagma puisi.