PERJUMPAAN RINDU
Tiap berlayar
selalu kuingat saat berlabuh
Sebab Cintaku
padamu tak pernah angkat sauh
Dengan layar perahu
kurentang Rindu
Namun angin
membawaku semakin jauh
Walau gemuruh ombak
mengaduh
Minta dermaga kembali
mendekapmu
Adakah ombak
yang tak rindu pantai
Adakah pantai
yang tak rindu ombak
Adakah dermaga yang
tak rindu perahu
Adakah perahu
yang tak rindu dermaga
Ombak telah membuktikan
kesetiaan pada pantai
Padanya ia selalu
melabuhkan kecupan
Tiap detik tak
lepas dari kasih sayangnya
Setiap berlayar
selalu kucatat
Waktu kembali berlabuh
padamu
Tunggulah.
Rinduku takkan lupa
Hangat pelukanmu
Tanjungpasir,
2021
DOA UNTUK NEGERIKU
Seperti harapan yang engkau tabur
Aku pun menebar rasa bersaudara
Jika hari kembali terjaga dalam gairah kerja
Aku selalu berdoa, untukmu, negeriku
Untuk keselamatanmu, untuk kejayaanmu
Walau corona masih menghantuimu
Dan wabah gelombang ketiga menakutimu
Aku ingin engkau tetap tegar dalam langkahmu
Kutebarkan kata-kata bijak
Mengusap wajah-wajah para pekerja
Menepis covid, berlindung selembar harapana
Mereka menumpang gerbong-gerbong kereta
Dan bus-bus antarkota. Mereka dari desa ke
kota
Lalu lenyap di balik gedung-gedung berkaca
Di tanganmu yang perkasa, mereka
Menganyam cita-cita, sehasta demi sehasta
Juga untukmu, tanah airku
Kini doaku mengental, menjadi sajak
Yang dengan senyumnya mengucapkan
Selamat malam, selamat menuai mimpi
Lalu dengan sayap makna menari-nari di udara
Menciumi tiap pipi yang merona oleh sapaannya
Esok hari dengan seribu sayap bidadari
Sajak itu akan membawa sekuntum bunga
Bagi tiap warga negara. Berharap tiap
kelopaknya
Mekar jadi tawa dalam rasa bersaudara.
Jakarta, 2021
SORE DI PANTAI
Masih
kutemukan sosok itu bermain di pantai
Hari itu, Sabtu
sore, empat puluh tahun lalu
Tubuhku yang
dekil, dengan kolor merah tua
Mengejarmu
melintas pasir yang menyimpan luka
Seperti tak
ada yang berubah. Ombak masih setia
Mengusap
bibirmu yang basah, dan para nelayan
Dengan
perahu-perahu kecil, menganyam masa depan
Bersama angin
dan rinai hujan. Sesekali kakap
Dan cakalang,
kadang kue atau tengiri,
Berserah diri
pada jala dan kail nelayan
Di barat
kulihat kaki langit yang redup
Oleh tumpukan
awan, dan di timur kegelapan
Mulai menelan
sisa-sisa air hujan
Pada saat
seperti itu, dulu pun aku mulai berkemas
Meninggalkan
pasir dan ombak, meninggalkan
Segala
kenangan, tanpa bidikan kamera
Hanya
sebingkai senyuman bintang
Membawaku
kembali ke kampung halaman
Dalam rasa
asam-manis buah mempelam!
Kaliwungu, 2020
SUARA TANGIS ITU
Kudengar lagi
suara tangis itu
Tangis anak-anak
yang kehilangan ibu
Pelarian dari negeri
yang dihujani peluru
Tapi ini di
teluk Jakarta
Bukan di Selat Malaka
Dan aku sedang
mengail ikan
Di antara rumpon
dan karang
Ah, adakah
mereka tersesat di sini
Dan perahu
mereka terbalik
Sebelum
menyentuh pantai?
Tak ada
anak-anak di perahu ini
Kecuali para
pengail yang bersedih hati
Mendengar suara
tangis itu lagi
Mungkin tak jauh
dari sini
Ada perahu
serombongan imigran
Yang
terombang-ambing tanpa nakoda
Dan tak tahu
akan berlabuh ke mana
Tak ada
anak-anak di perahu kami
Tapi rintih dan
suara tangis mereka
Terdengar sampai
di sini
Jakarta, 2017
SENJA DI ULELE
seperti
tak tersisa lagi derita itu
petaka
yang dilukis jari-jari tsunami
dan
luka yang digoreskan senjata api
wajah-wajah
kini sumringah lagi
melambaikan
cinta pada senja jingga
langit
tersenyum mengecup matahari
menyapa
tarian burung dan ikan pari
akankah
kau hadir lagi senja ini
kembali
menoreh harapan di pasir pantai
atau
hanya kenangan pahit itu yang terbagi
:
tiga helai rambutmu tersangkut di batu,
sesobek kerudung ungu di ujung kakiku,
dan jasadmu yang mengapung
bersama pecahan dinding perahu
seperti
tak tersisa lagi petaka itu
meski
lelehan air mata tentangmu
tak
terhapus telapak waktu
Banda
Aceh, Maret 2019
Tentang Penulis
alumnus FPBS Univ. Negeri Yogyakarta (UNY – d.h. IKIP Yogyakarta). Pernah
kuliah di Univ. Paramadina Mulya dan menyelesaikan Magister Komunikasi di Univ. Muhammadiyah Jakarta. Ia lahir di Kaliwungu, 17 Januari 1958. Dikenal
sebagai penyair social-religius. Ia adalah salah seorang penggagas dan
pencanang forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum penyair yang diadakan
secara bergilir di Negara-negara Asia Tenggara, dan salah seorang deklarator
Hari Puisi Indonesia (HPI) yang dirayakan secara nasional tiap 26 Maret. Selain
puisi, ia juga banyak menulis cerpen dan esei
sastra. Sejak 2010, mantan redaktur
sastra Harian Republika ini
mengajar penulisan kreatif (creative writing) pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Ia
sering menjadi pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional
dan internasional di dalam dan luar negeri.
Ahmadun juga pernah menjadi ketua tetap
Jakarta International Literary Festival (JILFest), anggota pengarah Pertemuan
Penyair Nusantara (PPN), anggota dewan penasihat Malay Studies Centre Pattani
University Thailand, ketua Lembaga Literasi Indonesia (Indonesia Literacy
Institute), dan pemimpin redaksi portal sastra Litera (www.litera.co.id ). Ia juga
pernah menjadi ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 2009-2012), ketua Komunitas Sastra
Indonesia (KSI, 2007-2012), ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia
(HISKI, 1993-1996), ketua Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2012), dan
anggota tim ahli Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud RI
bidang Sastra (2014-2015).
Buku kumpulan sajaknya yang telah
terbit, antara lain Sang Matahari (Nusa Indah, Ende Flores, 1980), Sajak
Penari (kumpulan puisi, Masyarakat
Poetika Indonesia, 1991), Sembahyang Rumputan (Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta,
1996), Fragmen-fragmen Kekalahan (Penerbit
Angkasa, Bandung, 1996), Ciuman
Pertama untuk Tuhan (puisi
dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004 — meraih Penghargaan Sastra Pusat Bahasa,
2008), Dari Negeri Daun Gugur (Pustaka Littera, 2015), dan Ketika
Rumputan Bertemu Tuhan (Pustaka Littera, 2016) – terpilih sebagai buku
unggulan (5 besar) dalam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Sedangkan buku
kumpulan cerpennya yang telah terbit, antara lain Sebelum Tertawa Dilarang
(Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Sebutir
Kepala dan Seekor Kucing (Bening
Publishing, 2004), dan Badai Laut
Biru (Senayan Abadi Publishing,
Jakarta, 2004).***