NUN, SEBUAH RUMAH (1)
Ketika aku temukan tanah itu, di selatan
Merapi, awan bergoyang ramah
di sebelah timur dan barat
rumput menggeliat, daun-daun menyapa
suara-suara sayup kembali terdengar
di sini aku akan tinggal, kataku
mata air meleleh gembira, ilalang bersahutan
dari utara angin mendesau, bercampur abu
menimbun dirimu dalam ingatan yang remang
Aku hela batu-batu, dan kayu-kayu
aku ikat dengan rotan dan tali cinta
benih-benih tanaman aku simpuhkan
berdampingan dengan bunga kuning dan
merah, dalam bayang-bayang seperti gunung
meruncing ke atas, ke satu titik, bersilang
melebar ke bawah, ke mana-mana
mencari dirimu merambat ke ujung
sudah kuputuskan, di mana akan aku
letakkan tidurku
NUN, SEBUAH RUMAH (2)
Di regol yang langsing, dan sepasang kelapa gading
berjalan diam melewati seketheng
aku pasrahkan jiwa ragaku, dalam tubuhmu
Berpayung genteng dan tiang-tiang yang bersiku
ruang-ruang seperti terbagi dalam angan
sentong dan pringgitan menyatu di dalam
Dengan gebyok yang semakin licin
aku telusuri bayangmu, dari pendapa yang terbuka
hingga ruang dalam yang sejuk, mencari huruf
yang tersisa dari jemarimu, atau mimpimu
nanti, di kala rasa itu mendahaga
biarkan aku duduk di pawon yang tak selesai
agar keringat bahagiaku bisa diketahui
NUN, SEBUAH RUMAH (3)
Tamu datang silih berganti, membawa
umur dan rezeki, tahun-tahun berlalu tumpang
tindih, tak ada sejarah yang mencatatmu
Di gandok, yang bergerak ikut bermain
melompat dan menari, melambaikan
tangan, seperti menjawab panggilan
Tapi aku harus bergegas, mengemas
buncahan air, dan ceceran butir-butir padi
agar pawon tetap candradimuka
Di pojok rumah, sumur bersama pohon-
pohon menjaga dari kering dan panas
Ketika matahari berniat ngaso
rumah lumer bermandikan
percah-percah kehangatan
NUN, SEBUAH RUMAH (4)
Aku melihat anak-anak ikut bermain
main petak umpet, berlari dari pendapa
bersembunyi di balik bilik, tak ada tembok
Di longkangan, anak-anak berteriak
“ Ini bukan rumah untuk kami,
Ini rumah orang tua, tak ada tempat yang
asyik untuk menyuruk”
Aku pun menjelaskan,
“Semua telah dipikirkan matang-matang
Rumah ini untuk menjaga harga diri
ada batas-batas, tidak boleh ngawur”
Anak-anak bergegas, bemain di luar rumah
Di kuncung aku termangu
Melihat anak-anak lebih gembira
NUN, SEBUAH RUMAH (5)
Pada sebuah senja, aku menggambar
sebuah rumah, tempat anak-anak bermain
tak ada sekat, pohon dan tanaman bertumbuhan
kupu-kupu hilir mudik dan mainan itu
masih kau biarkan
sawah terbentang di samping kolam
dengan riang kecipak ikan, meloncat-loncat
menyatu dalam senda guraumu
ketika hari mereda, anak-anak tidak lagi bermain
anak-anak berkarya membangun rumah
masing-masing
dalam kerinduannya
sendiri-sendiri
Biarlah aku di sini, menunggumu
Rumah masa depanmu
Sleman, 10-1-22.
Tentang Penulis
Aprinus Salam pernah menulis puisi dan cerpen,
tetapi sangat tidak produktif. Hijrah ke Yogyakarta Desember 1977, setelah
lulus Sekolah Dasar di Riau, hingga kini
ia telah dan tetap bermukim di Yogya. Pada tahun 1992, ia menyelesaikan skripsi
tentang puisi, tahun 2002 menyelesaikan
tesis juga tentang puisi, dan tahun 2010 menyelesaikan disertasi tentang
prosa/novel Indonesia di UGM. Kini, ia menjadi staf pengajar FIB UGM. Pernah
mendapat tugas sebagai Kepala Pusat Studi Kebudayaan dari 2013-2020, Konsultan
Ahli di Dinas Kebudayaan Yogya (2014 dan 2015), dan anggota Senat Akademik UGM
(2012-2017). Pada Januari 2021, ia menjadi Kaprodi Magister Sastra. Beberapa
buku telah ditulisnya, antara lain Oposisi Sastra Sufi (2003), Biarkan
Dia Mati (2003), Politik dan Budaya Kejahatan (2015), Kebudayaan
Sebagai Tersangka (2016), Sastra, Negara, dan Politik (2019), Biokultural:
Dari Fantasi Kerakyatan hingga Menolak Identitas (2020), Sosiologi
Kehidupan: Fragmen-fragmen Teoretik (2020), dan Kesahalan dan Kejahatan
dalam Berbahasa (2021). Untuk buku cerpen, ia menulis Keboji (2015);
buku puisi, Mantra Bumi (2016), dan Suluk Bagimu Negeri (2017).