Kirim Karya

SKSP Book Store
No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan
No Result
View All Result
SKSP Book Store
No Result
View All Result
Home Puisi

Puisi Eri Setiawan

Admin by Admin
13 Januari 2022
0
Share on TelegramShare on WhatsappShare on Twitter

RIUH

 

Kepala bergemuruh

serupa hujan di bulan

peperangan, Delima

bukan sebab kau memilih

memanjangkan garis rindu

di antara belantara sunyi

yang meledakkan batinku

 

tetapi, mengenai pesta mengalpakan

yang kau selenggarakan

setelah bertahun-tahun

kita saling merindukan

wajah purnama

bersitatap, bercumbu lingar

dalam lengang yang melahirkan

ciuman beserta bahasa-bahasanya

 

hingga pada puncaknya kita pun berjumpa

dengan matlamat pelepasan: riuh.







RENYUK

 

Musim telah terpangkas, Delima

bagaimana kau tak jua tahu

bahwa senja yang kita lekatkan

di langit perjanjian

kini telah berubah warna

menjadi semacam abu-abu

pertanda seluruh yang pernah penuh

dijejali pengingkaran yang sempurna

 

Musim telah terpangkas, Delima

bagaimana kau tak jua tahu

bahwa mulut lorong panjang di samping rumah kita

yang biasa kita jadikan tempat bisu

sembari menunggu dewi senjamengantarkan makanan kesukaan batinmu,

kini digenangi oleh air mataku

yang tak pernah timpas

 

Musim benar-benar terpangkas, Delima

jejakmu yang alpa, rindumu yang rembas,

garis kesetiaanmu yang purna,

dan harum baju batinmu yang mereput

adalah syarat lengkap senja itu berpulang

dan mati

sementara, dalam renyuk yang mengitari

seluruhku, yang merasuk sepanjang waktu,

aku tak pernah tertidur

memandangi percik hujan yang tak lazim.

 





RUNTUH

 

Mencintaimu begitu semi, Delima

ketika kerontang menjadi amat jalang

biji-biji flamboyan berubah bentuk menjadi kematian

dan kasturi-kasturi di taman itu

runtuh tanpa kencantikan

aku tetap melekatkan batinku pada tiang kesetiaan

 

kau tak perlu susah payah menunggu

daun-daun yang kering mungkin akan purna jua

sebab kesepian teramat isak

ditinggal hujan, diremuk-redamkan sengat

matahari

yang perlu menunggu hanya aku

dalam sunyi yang tak jua bisa dininabobokan itu,

aku ‘kan pura-pura tidur sendiri

kemudian terbangun di antara detak-detik kemungkinan

 

kau pun tak perlu susah payah menahan jantung

untuk tetap seirama dengan detak rindu-rinduku

sebab musim yang rutin datang itu,

yang mungkin dihidangkan dengan secantik mungkin

seringkali memesan rasa bosan

yang puncaknya adalah ketidakmungkinan

 

dan kau pun tak perlu susah payah menerjemahkan
kesetiaanku

sebab segala urusan batinmu

adalah urusanmu

dan garis yang membentang

begitu panjang

adalah jarak yang mungkin mustahil

untuk kita patahkan lewat harumnya doa-doa.

 






SURAT PAGI 


Kau telah mengantar

sepucuk surat pagi untukku

tatkala sedang kuaduk kopi lembut

yang aromanya menghunus hidungku

 

sejenak kuhentikan sendok yang tengah memutar

lalu, kubaca sepucuk surat pagi itu

dengan mata tertutup dan hati terbuka

: rindu

 

hanya satu kata yang kautulis

tetapi jelas-jelas memenuhi kepalaku

lekas-lekas kuselesaikan kopiku

lalu berangkat memenuhi doa

: semoga kita lekas jumpa.

 

Purwokerto, Desember 2021






 

LURUH

 

Pada suatu malam yang tak berisik

hujan begitu dahsyat luruh di kepalaku

lalu meresap, sampailah di kolam batin

barangkali hujan adalah kenangan

yang diciptakan dari mendung yang sempat terkurung

lantas, pada waktunya, tak ada

yang sanggup menjegal dari kecemasannya

menjadi otot-otot yang berkontraksi,

mendobrak, jatuhlah hujan

mencari pangkuan

 

sehimpun kisah-kisah arkais

yang telah terkuras kemudian

berangsur-angsur menjadi basah,

sampai melembap berhari-hari

tanpa mengenal persis sebab apa

hujan-hujan itu dikirim

 

apa sebab luka pernah sedalam

makna yang paling batin?

atau kau yang tak juga selesai

mengirim dendam lewat doa-doa?

 



Tentang Penulis

 


Eri Setiawan, lahir di
Banjarnegara pada 23 Januari 1993. Sekarang bermukim di Desa Ledug, Kecamatan
Kembaran, Kabupaten Banyumas dan mengajar di SMP Negeri 2 Pengadegan,
Purbalingga. Gabung di komunitas menulis (Komunitas Penyair Institut)
Purwokerto.  Novel pertamanya yang
ditulis berjudul Bujuk Dicinta Kenangan
Pun Tiba
. Selain itu, ada beberapa tulisan seperti puisi dan cerpen yang
dibukukan bersama penulis-penulis lain. Ada pula beberapa karya sastra yang
termuat di media koran maupun media digital. Instagram @erisetiawant_

Admin

Admin

SKSP

POPULER

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

Puisi – Puisi Quinta Sabrina

2 Juli 2024

Tentang Redaksi

11 Juli 2024
Puisi – Puisi Tania Rahayu

Puisi – Puisi Tania Rahayu

2 Juli 2024
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara

15 November 2024
  • Disclaimer
  • Kebijakan & Privasi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Esai
    • Esai
    • Esai Terjemahan
  • Puisi
    • Puisi
    • Puisi Terjemahan
  • Cerpen
  • Gurit
  • Galeri
  • Katalog Buku
    • Info Buku
    • Beli Buku
  • Tentang Redaksi
  • Kerjasama Korea Selatan

© 2024 SKSP - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In