RIUH
Kepala bergemuruh
serupa hujan di bulan
peperangan, Delima
bukan sebab kau memilih
memanjangkan garis rindu
di antara belantara sunyi
yang meledakkan batinku
tetapi, mengenai pesta mengalpakan
yang kau selenggarakan
setelah bertahun-tahun
kita saling merindukan
wajah purnama
bersitatap, bercumbu lingar
dalam lengang yang melahirkan
ciuman beserta bahasa-bahasanya
hingga pada puncaknya kita pun berjumpa
dengan matlamat pelepasan: riuh.
RENYUK
Musim telah terpangkas, Delima
bagaimana kau tak jua tahu
bahwa senja yang kita lekatkan
di langit perjanjian
kini telah berubah warna
menjadi semacam abu-abu
pertanda seluruh yang pernah penuh
dijejali pengingkaran yang sempurna
Musim telah terpangkas, Delima
bagaimana kau tak jua tahu
bahwa mulut lorong panjang di samping rumah kita
yang biasa kita jadikan tempat bisu
sembari menunggu dewi senjamengantarkan makanan kesukaan batinmu,
kini digenangi oleh air mataku
yang tak pernah timpas
Musim benar-benar terpangkas, Delima
jejakmu yang alpa, rindumu yang rembas,
garis kesetiaanmu yang purna,
dan harum baju batinmu yang mereput
adalah syarat lengkap senja itu berpulang
dan mati
sementara, dalam renyuk yang mengitari
seluruhku, yang merasuk sepanjang waktu,
aku tak pernah tertidur
memandangi percik hujan yang tak lazim.
RUNTUH
Mencintaimu begitu semi, Delima
ketika kerontang menjadi amat jalang
biji-biji flamboyan berubah bentuk menjadi kematian
dan kasturi-kasturi di taman itu
runtuh tanpa kencantikan
aku tetap melekatkan batinku pada tiang kesetiaan
kau tak perlu susah payah menunggu
daun-daun yang kering mungkin akan purna jua
sebab kesepian teramat isak
ditinggal hujan, diremuk-redamkan sengat
matahari
yang perlu menunggu hanya aku
dalam sunyi yang tak jua bisa dininabobokan itu,
aku ‘kan pura-pura tidur sendiri
kemudian terbangun di antara detak-detik kemungkinan
kau pun tak perlu susah payah menahan jantung
untuk tetap seirama dengan detak rindu-rinduku
sebab musim yang rutin datang itu,
yang mungkin dihidangkan dengan secantik mungkin
seringkali memesan rasa bosan
yang puncaknya adalah ketidakmungkinan
dan kau pun tak perlu susah payah menerjemahkan
kesetiaanku
sebab segala urusan batinmu
adalah urusanmu
dan garis yang membentang
begitu panjang
adalah jarak yang mungkin mustahil
untuk kita patahkan lewat harumnya doa-doa.
SURAT PAGI
Kau telah mengantar
sepucuk surat pagi untukku
tatkala sedang kuaduk kopi lembut
yang aromanya menghunus hidungku
sejenak kuhentikan sendok yang tengah memutar
lalu, kubaca sepucuk surat pagi itu
dengan mata tertutup dan hati terbuka
: rindu
hanya satu kata yang kautulis
tetapi jelas-jelas memenuhi kepalaku
lekas-lekas kuselesaikan kopiku
lalu berangkat memenuhi doa
: semoga kita lekas jumpa.
Purwokerto, Desember 2021
LURUH
Pada suatu malam yang tak berisik
hujan begitu dahsyat luruh di kepalaku
lalu meresap, sampailah di kolam batin
barangkali hujan adalah kenangan
yang diciptakan dari mendung yang sempat terkurung
lantas, pada waktunya, tak ada
yang sanggup menjegal dari kecemasannya
menjadi otot-otot yang berkontraksi,
mendobrak, jatuhlah hujan
mencari pangkuan
sehimpun kisah-kisah arkais
yang telah terkuras kemudian
berangsur-angsur menjadi basah,
sampai melembap berhari-hari
tanpa mengenal persis sebab apa
hujan-hujan itu dikirim
apa sebab luka pernah sedalam
makna yang paling batin?
atau kau yang tak juga selesai
mengirim dendam lewat doa-doa?
Tentang Penulis
Eri Setiawan, lahir di
Banjarnegara pada 23 Januari 1993. Sekarang bermukim di Desa Ledug, Kecamatan
Kembaran, Kabupaten Banyumas dan mengajar di SMP Negeri 2 Pengadegan,
Purbalingga. Gabung di komunitas menulis (Komunitas Penyair Institut)
Purwokerto. Novel pertamanya yang
ditulis berjudul Bujuk Dicinta Kenangan
Pun Tiba. Selain itu, ada beberapa tulisan seperti puisi dan cerpen yang
dibukukan bersama penulis-penulis lain. Ada pula beberapa karya sastra yang
termuat di media koran maupun media digital. Instagram @erisetiawant_