HUJAN DAUN TEH
terjun angin pagi
melapis bukit
turuni teras lereng
disekat sendekap dedaunan teh
meramu katekin dan cincin aromatis
hijau dirajut tanah
berbukit
dimana lembah terkepung kabut
bunga-bunga dingin merekah
menyemai damai di rekah wajah
pemetik teh datang pada
sinar pagi pertama
singgah cahaya di pucuk-pucuk daun
manisnya berkitar, aroma alami
meresap ke dasar bumi
daun-daun rebah
sekeranjang bambu
berpindah dalam genggaman
bergoncang di getar langkah dan laju roda
turuni lembah berbisik
angin taburkan daun teh
dari langit
melesat wangi lembut resap ke dada
daun-daun tumbuh di wajah bumi
melukis hidup hari ke hari
atau, jadi hujan di penghujung hari
KIDUNG BUNGA
Serpih debu melayang
Retih masa lalu beterbangan
Letih tersuruk kelu di ujung jalan
Bunga-bunga liar mekar
Di antara liang penuh akar
Derita membelukar
Tak ada yang tahu
seberapa lelahnya
Menghirup napas sekali lagi
Gigil sendi dan getar sel
Beresonansi dalam terpaan waktu
Menyusur jalan seribu kelok
Menyasar padang berlimpah cahaya
Ingin aku percaya
Pada hatiku yang bicara
Bunga-bunga kering pun akan mendedah
Bebiji runtuh ke bumi
Di sepanjang tanah yang kujalani
Lalu warna mekar sekali lagi
Bila hidup ini serupa
garis tanganku
Tumpang tindih dan bercabang
Maka dimana kutemui akhir perjalanan?
Yang berbunga di ujung jari
Selepas taburan bunga mengendap
Di atas zikir pusara
RIMBA TAK PERNAH HENING
Serasah basah
Lumut melapisi tanah
Sinar jarang bertandang
Terhalang ranting melintang
Pekat auramu
Terhimpun tajuk dedaun
Tinggi, tinggi di sana
Mengunci ketukan langit
Batang-batang mengulir
umur
Pada ukir lingkaran tahun
Dipompa pembuluh kayu
Rekah-rekah kulit adalah bukti bakti
Gugus pepohon kepada bumi
Di sana tersimpan sinar
Gelap dalam mata
Di bawah lekuk dahan liuk menjulang
Rimba menjembatani langit-bumi
Menghimpun hewan-hewan malang
Sengit pertarungannya sendiri
Penuh suara nyaring-lirih
Tersusup pada jalinan akar dan pucuk dedaun
Nyawa terbuka pada
genggam hutan
Memahami arti buas dan nasib
Disitulah sumber segala hidup
Dari akar tipis di kubur bumi
Mengalir hara ke pucuk menara hijau
Menghembus oksigen tanpa suara
Inti nyawa penghuni bumi
Meski dunia menepikannya
TERBANG KERANDA
Ada yang mati hari ini
Tetangga lima rumah jauhnya
Yang artinya maut begitu dekat
Entah siapa namanya
Jaman sekarang silaturahmi entah mengapa
Begitu jauhnya
Ketika mayat dikuburkan
Menjelang maghrib pelayat bubar
Selepasnya doa dan shalat ditegakkan
Serupa bunga yang disebar ke angkasa
Sebagai jalan yang mati ke surga
Hanya Tuhan yang tahu
Larut malam tangis
mereda
Duka pun butuh waktu lelapnya
Sirap malam memantra jalan desa
Nyala temaram oleh barisan teplok
Di dinding-dinding rumah
Malam itu di dekat
kuburan
Keranda besi berderit tanpa angin
Engselnya mengatup sendiri
saat burung malam menarik diri di balik pepohon
Malam itu keranda
terbang sendiri
Saat angin henti bernapas
Mungkin esok maut datang lagi
Manusia tak pernah tahu
Hanya malaikat,
tindak atas ketetapan-Nya
RAYU IBLIS
Membaca bumi tua
Memancar darah gelap
Dari nadi yang bergolak
Penuh muslihat setan
Bersemayam kengerian
Di balik wajah manusia
Selapis tipis
Tersembunyi rahasia iblis
Mungkin akan sampai masanya
Bumi bermandi darah
Sungguhkah manusia mulai
lupa
Pada jiwanya sendiri
Kejahatan subur dihantar setan
Meluncur tangan-tangan manusia
Terjebak nafsu, harta dan selangkangan
Lalu tanya mengimbuhi langit,
makhluk apa ia sebenarnya?
DUA SISI BUMI
Air mata langit mengalun
biru di angkasa
Hanyutkan debu kelabu dari wajah bumi,
di bibir kegetiran
Manusia tumbuh, katanya, berhati suci
Menumbuhkan kehidupan di lapisan bumi
Di bawah garis doa sehalus lembayung
Namun hati manusia tak sesuci itu
Ribuan ruang kosong
bergaung dalam relung
Tak tersentuh, tak terengkuh
Teraliri uap pekat tangis yang mengendap
Dalam sisi gelap yang beranjak semarak
Manusia di muka bumi
memiliki inti suci
Tak sedikit yang hilang di pusar badai kesadaran
Hati kelabu menghitam, kaku, batu
Jiwa hilang dibenam derita nafsu
Di sudut-sudut bumi yang
hening
Di sudut-sudut hati yang bening
Ingatlah sekali lagi cinta tulus
Pada tawa matahari dan anak-anak polos
Pada lembut hujan dan kasih kekasih
Pada binar awan dan keluasan hati
Dunia semestinya semesta
yang memberi sukacita
Dalam duka pun tersimpul senyum
Dalam luka pun amarah tersiram tabah
Sisi hitam dunia tak harus mengelamkan hati
Di balik bumi, sejatinya terang menanti
Hati, janganlah bersembunyi
Di balik kegelapan yang kau cipta sendiri
LAUT PUN TAK BERDAYA
dan laut pun tak berdaya
menampung air matamu
turun dari kebisuan biru yang menutup cahaya
percik ombak begitu kau suka
membasahi wajahmu lalu kau bisa berpura-pura
menyembunyikan asin tangismu
garis pantai memanjang
di tengah-tengah jalur karang
putih bertabur nisan kerang
menyala di bibir pertemuan ombak
ketika angin dan badai menapak batas langit
selalu kau gemuruhkan
luka-luka
pada larutan garam penawar itu
mungkin kau pikir dukamu akan berlayar pergi
tapi kau tak mau beranjak dari sinar suram badai
sudah kubilang aku akan
menjemputmu sebelum badai
mengikat angin dan riak ombak
tapi kau tak pernah mendengar,
dan tak mau menunggu
maka ketika aku tiba,
aku menangis di atas jasadmu yang mengapung di lautan
PUSARA DADA
Ada pusara dalam dada
Dimana kau kebumikan rasa
Dan nama yang kau kebumikan
Dalam geliat tanah
Menunjuk langit dengan cara rahasia
Taburan bunga melukis
doa
Warna-warna merasuk ke wajah
Ada lintas angan dan kenangan
Dalam tiap jumputan mahkota
Di atas pusara yang terdiam
Sunyi,
Musnahkan keluh yang memeluh
Diam,
Merentang napas sehalus bentang satin
Diam-diam kau ingin turunkan hujan
Mengalirkan taburan bunga di atas tanah
Terlumat lumpur dan bunga-bunga tanah
Meninggalkan kita pada bentuk asli
BELUKAR DI NADIMU
Belukar di nadimu
berkembang liar
Melukis makar yang mekar di telapak tangan
Bukan henna, meski terlukis dengan arah yang sama
Dari nadi ke ujung jarimu
Jemarimu itu telah lama
sesat
Pada perjalanan-perjalanan jauh
Dan perbuatan teluh
Telunjukmu itu telah lupa arah mata angin
Memendam cahaya dalam kubur mata hati
Maka seluruh tubuhmu,
bermula dari nadimu
Mekarkan makar yang liar
Atas namamu,
Atas jiwamu,
Dan kau perlahan-lahan
Menjelma jadi belukar
DOSA
air bagai buih
keluar dari tubuhmu
ludah,
keringat,
air mata,
untuk mengeluarkan
yang buruk di sana
sudahkah kau mengalirkan dosa
dari lautan hatimu?
Tentang Penulis
Novia Rika Perwitasari. Berasal dari Malang, saat ini dia tinggal di
Tangerang Selatan. Senang menulis puisi untuk memberikan ketenangan dan
menghidupkan jiwanya. Karya puisinya masuk dalam berbagai buku antologi puisi
nasional serta beberapa media puisi internasional seperti Dying Dahlia Review, The Optimum Zine, The Murmur House, Haiku Masters
by NHK TV Japan, The Poetry Kit dan World Gogyoshi. Pernah beberapa kali
menjadi juara 1 penulisan lomba puisi nasional antara lain Majelis Sastra
Bandung (2016), lomba puisi “Pindul Bersajak” oleh Forum Penulis
Negeri Batu (2017), Writers on Vacation
(2019), Writing Competition oleh Indonesian
Youth Association (2020). Karya puisinya pernah menjadi materi promo Sumpah
Pemuda tahun 2019 di salah satu televisi nasional. Penyair ini pernah terlibat
dalam proyek penerjemahan puisi yang diselenggarakan oleh Intersastra Publisher
(2020).