MENUNGGU
butir butir biji rumputanlah yang tahu
ketika titik-titik hujan pertama menyapanya
mereka segera bangkit dan tumbuh
menghijau
mereka berharap menjadi darah menjadi mata
mengembik menjadi kambing dan berjalan
di padang padang yang terbuka
tetapi kemarau mengekal tahta
“tak ada janji pada hujan!”
katanya
TENTANG API
karena dekat adalah bara
kenangan kenangan bambu
berangkat memasuki hutan kembali
tapi kita tahu
tak ada hutan yang baka
api telah membakarnya
sejak nafsu yang pertama
maka dimusnahkannya pasar
orang orang lengah
orang orang yang kalah
MALAM
gelap membakar api
silalatu menunjukkan jalan jalan baru
di persimpangan
aku dengan langit kosong
arah dan pertimbangan
tapi engkaukah itu
samar sekali
MANGLAYANG
/a/
malam yang diusik oleh semacam inisiasi
melambat bulan melambat gerak cemara
yang bertasbih di ketinggian manglayang
/b/
di sini terasa lebih tenang menatap lembah
yang sekali waktu pernah berpijar
lembah kunang kunang
lembah yang anggun
/c/
yakni sebuah kota yang pulas sunyi
yang mesti kujumpai esok pagi
karena janji
1996
KETIKA MENJEGUK
kujenguk engkau dalam sakitmu
karena cuaca tak bisa dipercaya
berlarat larat engkau demam
tapi bangkit pula
ya
di sini aku semakin merasa dihubungkan
dengan talkin
dengan orang orang yang kehilangan
kujenguk engkau dalam sakitmu
karena beradab abad
aku merasa telah diundangnya
1997
KETIKA DI EMERGENCY
tapi kita tak boleh menjerit
atau mengenang marka jalan yang gelisah
oleh luka atau papa
yang mungkin adalah mencermati dengan takzim
bagaimana tangan mahahalus itu
menusukkan detak jarum waktu
ke jalinan rumit pembuluh
di ruang yang menyempit itu
lampu lampu runduk bagai usia yang
ditangguhkan
1998
KETIKA BANJIR MELANDA
setelah kita menutup pintu
kecemasan yang asing itu pun menyelinap
meja menjadi altar yang mengingkari kemesraan
ruangan adalah bayang bayang
rasanya kita paham
bahwa di luar hujan
air melanggar ruang ruang yang paling muskil
lumpur melumat padi
sawah adalah harapan yang lantas tenggelam
pukul sepuluh malam itu atau sebelas
ada jeritan yang melesat
mungkin dari dada kita
mungkin dari orang orang yang sengaja diutus
kita pun paham
ketika tiba tiba lampu padam
kita mestinya tidak lagi di sini
1998
DALAM KELAMBU
seekor nyamuk tersesat dalam kelambu
tak menemukan napas yang tenteram
semuanya bisu seperti martil dan kapak
sehabis pertengkaran
bercak darah, kaki kaki yang lemas
kehormatan yang usai direnggut
mustahil dikembalikan
malam itu seharusnya damai
kota bernapas lega seperti pengantin yang
berahi
tapi perempuan itu tergeletak sendiri
2000
PATUHA
gunung tua mantel gelap
helai kabut pada rambutmu
sebentar
mata jernih itu pun tengadah
menyihirku menjadi pohonan kerdil
di tepi kawahmu
dan seperti tercekam
kau tersedu lalu pingsan
apakah semuanya
karena puisi?
kawah tua hasrat purba
samar samar
rintik hujan
2000
KAWAH PUTIH
mestinya ada legenda di sini
misalnya tentang perempuan malang
yang terpendam di dasar telaga
atau laki laki yang marah dan menyumpah
lalu beku di dinding batu
keduanya tak ada
hanya tuan belanda itu saja yang tercatat
yang kagum dan gembira lalu surut
ke utara
selanjutnya orang orang lupa
juga para pelancong itu
di lembah ini pohon pohon menjadi kecil
udara penuh sulfur
hujan kabut dan suhu
terus merendah
2000
Tentang Penulis
TÉDDI MUHTADIN, lahir di Bandung, 9 Februari 1967. Pendidikan : SDN Sukamanah, Rancaekek (1974-1980), SMPN Rancaekek
(1980-1983), SMAN Rancaekek (1983-1986), S-1 Program Studi Sastra Sunda, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Unpad (1986-1991), S-2 Ilmu Sastra UGM (2002-2007),
dan S-3 Kajian Budaya FIB Unpad (2010-2015). Pernah
mengajar di SMA YAS (Yayasan Atikan Sunda) Bandung (1994-1999), Unpas
(1996-1999), SMA Muhammadiyah 5 Rancaekek (2000-2002), dan FIB Unpad (sebagai
dosen luar biasa [1993-1999] dan dosen tetap sejak [1999]). Pernah menjadi Ketua Prodi Sastra Sunda Unpad
(2009-2014), kepala
Pusat Studi Budaya Sunda (PSBS) FIB
Unpad
(2017-2021), dan kini sekretaris Pusat Digitalisasi dan
Pengembangan Budaya Sunda (PDP-BS) Unpad. Di luar kampus
pernah menjadi redaktur Koran Sunda (2005-2007) dan bersama kawan-kawan
pernah menerbitkan Jurnal Budaya Sunda Rawayan (1996), Dangiang (2002),
dan Jurnal Pengetahuan Lokal Lopian (2021). Aktif menulis sejak menjadi mahasiswa. Karya berupa
sajak, drama, dan esai dimuat dalam media massa berbahasa Sunda dan Indonesia,
a.l. Manglé, Galura, Kudjang, Koran Sunda, Bandung Pos, Galamedia, Tribun
Jabar, Pikiran Rakyat, dan Media Indonesia. Karya-karya yang telah
terbit berupa buku a.l. Silalatu (kumpulan sajak Indonesia, ditulis
bersama Enes Sobari, 1996), Ning (kumpulan sajak Sunda, 2004), Fungsi
Sosial Kritik Sastra Ajip Rosidi (2020), Lain (Ukur) Éta (kumpulan
esai tentang sastra Sunda, 2020).Menjadi editor, a.l. Kritik Sastra Sunda (2020)
dan Polemik Sajak Sundadina Majalah Warga 1952-1957 (2021). Sering ikut
serta dalam penjurian penulisan dan pembacaan karya sastra. Sejak tahun 2010 sampai sekarang menjadi juri tetap Hadiah Sastra Rancagé
untuk sastra Sunda.