Perpuisian
Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika (Bagian 1)
Estetika
dalam karya sastra (puisi) begitu penting keberadaannya karena hakikat karya
sastra merupakan karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai
estetika yang dominan.1 Dalam hal ini, estetika dalam karya sastra
menjadi suatu elemen penting yang eksistensinya berperan dalam menentukan
kiblat baiknya sebuah karya sastra. Estetika dalam karya sastra selalu berdiri
sejajar dengan etika. Dalam diskursus kesusastraan, etika dapat ditafsirkan
sebagai nilai moral, sedangkan estetika sebagai nilai keindahan dalam karya
sastra.2
Dalam sajak,
estetika menjadi semakin penting peranannya karena sajak adalah genre sastra
yang mengemas peristiwa dalam diksi yang padat dan secara total memberdayakan
dengan penuh aspek estetikanya. Estetika dalam sajak berdiri sejajar dengan
makna. Tidak mengherankan bila kesempurnaan sajak sangat ditentukan oleh
bangunan estetikanya. Pentingnya peran estetika dalam sajak ini karena secara
umum merupakan makna dari nilai-nilai keindahan dan keagungan pemikiran yang
terdapat di dalam sajak.
Dalam kajian
ini, penafsiran makna sajak-sajak Abdul Wachid B.S. dikaji dengan membahas
estetika sajak kaitannya dengan makna. Kajiannya adalah objektif, yaitu
menempatkan sajak-sajak Abdul Wachid B.S. sebagai bahan utama yang dikaji aspek
estetikanya untuk mendapatkan totalitas makna secara menyeluruh.
Membaca Biografi
Abdul Wachid
B.S. lahir di dusun terpencil Bluluk, kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober
1966.3 Kepenyairan Abdul Wachid B.S. dimulai saat
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), di SMA Negeri Argomulyo,
Yogyakarta. Sampai sekarang Abdul Wachid B.S. terus berkarya, yang berupa
puisi, cerpen, esai, dan pemikiran kebudayaan lainnya, dan dipublikasikan di
Majalah Sastra Horison, Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Suara
Pembaruan, Republika, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Merdeka, Wawasan,
Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surabaya Post, Jawa Pos, dan Bali Post.4
Sebagian sajak
Abdul Wachid B.S. terdokumentasi dalam antologi sajak: (1) Sembilu (Dewan
Kesenian Yogya, 1991), (2) Ambang (DKY, 1992), (3) Oase (Titian
Ilahi Press, 1994), (4) Serayu (Harta Prima Press, 1995), (5) Lirik-lirik
Kemenangan (Taman Budaya Yogya, 1994), (6) Tabur Bunga (Seperempat
Abad Haul Bung Karno, 1995), (7) Negeri Poci-3 (Tiara Jakarta, 1996),
(8) Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996), (9) Gerbong
(Cempaka Kencana, 1998), (10) Tamansari (Festival Kesenian Yogya X,
1998), (11) Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kampanye Seni untuk HAM Aceh,
1999), (12) Embun Tajali (Aksara Indonesia, 2000), (13) Angkatan
Sastra 2000 (Grasindo, 2000), (14) Hijau Kelon (Kompas, 2002), (15) Medan
Waktu (Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, 2004), dan (16) Untuk
Sebuah Kasihsayang (Penerbit Bukulaela, 2004).
Esai pemikiran
Abdul Wachid B.S. terdokumentasi dalam antologi: (1) Kiat Menembus Media
Massa (Titian Ilahi Press, 1994), dan (2) Begini Begini Begitu
(Dewan Kesenian Yogya, 1997).
Abdul Wachid
B.S. juga menulis cerpen sekalipun tidak produktif, di antaranya
terdokumentasi dalam antologi: Cerita-cerita Pengantin (Galang,
2004; dieditori Triyanto Triwikromo, dikatapengantari K.H.A. Mustofa Bisri); Bacalah
Cinta (Penerbit Bukulaela, 2005; bersama cerpen K.H.A. Musofa Bisri,
Dharmadi, Eko Sri Israhayu, Evi Idawati, Heru Kurniawan, Joni Ariadinata,
Raudal Tanjung Banua, dan R. Toto Sugiharto).5
Sementara itu,
buku tunggal yang menghimpun karya Abdul Wachid B.S., antara lain: (1) Rumah
Cahaya (Ittaqa Press, 1995; cetak ulang edisi revisi oleh Gama Media,
2003), merupakan buku sajak yang menghimpun karya awalnya. (2) Sastra
Melawan Slogan (FKBA, 2000), merupakan bunga rampai esainya yang diberi
kata penutup oleh Dr. Faruk. (3) Religiositas Alam : dari Surealisme ke
Spiritualisme D. Zawawi Imron (Gama Media, 2002), diangkat dari karya
ilmiah S-1, yang dikatapengantari oleh Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo. (4)
Buku pilihan puisi cinta 1986-2002, Ijinkan Aku Mencintaimu (Penerbit
Buku Laela, 2002, cet.II-2004), dikatapengantari oleh peneliti sastra dari
Jepang, Urara Numazawa. (5) buku puisi Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003).
(6) Beribu Rindu Kekasihku (Amorbooks, 2004), buku pilihan puisi cinta,
dikatapengantari oleh Dr. Katrin Bandel, peneliti sastra Indonesia
berkebangsaan Jerman. (7) Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A.
Mustofa Bisri (buku kajian ilmiah sastra; Grafindo, Mei 2005); dan, (8) Sastra
Pencerahan (buku esai sastra; Grafindo, Juni 2005). 6
Kiprahnya di
dunia kesastrawanan, Abdul Wachid B.S. dalam sejarah kesusastraan Indonesia
termasuk dalam “Angkatan 2000”, yaitu suatu generasi angkatan dalam sastra
Indonesia yang basis kesusastraannya dibangun pada abad ke-20. Dalam peta kurun
waktu ini, Abdul Wachid B.S. termasuk dalam generasi sastrawan tahun 1980-an.
Pada generasi tersebut, kepenyairan Abdul Wachid B.S. tumbuh bersama dengan
penyair Indonesia lainnya, antara lain D. Zawawi Imron, Afrizal Malna, Ahmadun
Yosi Herfanda, Joko Pinurbo, Dorothea Rosa Herliany, Acep Zamzam Noor, Oka
Rusmini, Mathori A. Elwa, Jamal D. Rahman, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah
el-Khalieqy, Hamdy Salad, Soni Farid Maulana, Wiji Thukul, dan diikuti oleh
generasi penyair yang lebih muda seperti Otto Sukatno C.R., Amin Wangsitalaja,
Kuswaidi Syafi’ie, Evi Idawati, Aning Ayu Kusuma, Raudal Tanjang Banua, dan
lainnya.7
Estetika dalam
Sastra
Sebagai cabang
filsafat dan ilmu yang berdiri sendiri, estetika terlepas dari metafisika,
logika, etika, dan teologi, terjadi sejak abad ke-18, dan pandangan sebagai
ilmu yang berdiri sendiri sebagian masih dipertahankan sampai masa kini. Buku
paling awal yang membahas estetika sebagai ilmu tersendiri ialah karya
Baumgarten, seorang filsuf rasionalis Jerman, buku itu diberi judul Aesthetica
(1950). Kata “aesthetica” diambil dari kata Yunani “aesthesis”, yang artinya
pengamatan indera atau sesuatu yang merangsang indera. Dari arti perkataan itu,
Baumgarten mengartikan estetika sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan
objek yang dapat diamati dan merangsang indera, khususnya karya seni. Dalam
perkataan “aesthesis” juga tercakup pengertian sensasi atau reaksi organisme
tubuh manusia terhadap rangsangan luar. Begitulah, dalam pengertian tersebut
tercakup reaksi perasaan terhadap objek pengamatan inderawi, kecenderungan jiwa
manusia terhadap segala sesuatu yang menjadi sasaran.8
Secara umum
kajian dalam estetika ini mengandung tiga unsur utama, yaitu (1) pembicaraan
tentang hakikat karya seni dan objek-objek indah buatan manusia; (2)
pembicaraan tentang maksud dan tujuan penciptaan karya seni, serta cara
bagaimana memahami dan menafsirkannya; (3) mencari tolak-ukur penilaian karya
seni dengan kaidah-kaidah tertentu. Tolok ukur bobot dan keindahan karya seni
juga harus dikaitkan dengan besar-kecilnya kesempurnaan yang ditampilkan karya
seni. Dalam hal ini, para ahli estetika melihat besar-kecilnya kesempurnaan
dalam karya seni secara umum memberikan patokan, yaitu (1) sempurna dilihat
dari sudut bobot gagasan, konsep, dan wawasannya; (2) sempurna dilihat dari
besarnya fungsi sebuah karya seni dalam kehidupan manusia; (3) sempurna
dilihat dari sudut nilai-nilai yang ditawarkan karya seni dan relevansinya bagi
perkembangan kebudayaan; (4) sempurna dilihat dari sudut kesesuaian karya seni
dengan cita-cita kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan/keruhanian yang hendak
ditegakkan manusia; dan (5) sempurna dilihat dari sudut kegunaan.9
Keterkaitannya
dengan sastra, estetika menjadi suatu elemen penting yang mengemas makna yang
akan dikomunikasikan dalam karya sastra. Estetika kedudukannya seperti tubuh
atau wadah yang menyimpan makna, gagasan, pemikiran, dan amanat.
Kedudukan estetika dalam sastra dikemas dalam bentuk kata-kata (bahasa) yang
berwujud ungkapan. Hal inilah yang membedakan antara estetika dalam seni sastra
dan seni-seni lainnya. Estetika dalam sastra melesap dalam bahasa, estetika
seni lukis melesap dalam warna dan garis, estetika seni musik melesap dalam
bunyi/suara, sedangkan estetika seni tari melesap dalam gerak. Dengan demikian,
estetika dalam sastra bisa ditafsirkan setelah karya sastra direkuperasi arti
atau bahkan maknanya secara menyeluruh. Akhirnya memahami estetika dalam sastra
sama kedudukannya seperti kita memahami makna dalam sastra. Oleh karena itu,
antara makna dan estetika dalam karya sastra menjadi sesuatu yang tidak
terpisahkan.
Estetika pada
akhirnya menjadi idiosinkrasi dari seni (seni sastra), di mana estetika
sering menjadi hal yang paling ditonjolkan dalam karya sastra. Sastrawan dalam
menciptakan karya sastra selalu mengindahkan nilai-nilai estetikanya. Nilai
estetika pada gilirannya menjadi corak yang khas dalam karya sastra. Tidak
mengherankan jika T.S. Elliot (sastrawan ternama dari Inggris) menafsirkan
bahwa keindahan karya sastra sangat ditentukan oleh aspek kesastraannya atau
estetikanya, sedangkan keagungannya sangat ditentukan oleh pemikirannya. Namun,
pemikiran dalam karya sastra selalu melembaga di dalam aspek estetikanya. Oleh
karena itu, estetika dan pemikiran dalam sastra tidak bisa dijauhkan
eksistensinya. Keduanya menjadi bagian penting yang membangun karya sastra.
Menafsirkan dan meretas nilai estetika di dalam karya sastra sama halnya dengan
menafsirkan makna pemikiran yang terdapat di dalam karya sastra.
Tafsir
Hermeneutika
Pada awalnya
keberadaan hermeneutika itu merupakan disiplin ilmu yang banyak digunakan oleh
mereka yang berhubungan dengan kitab suci, terutama Injil. Hermeneutika
diberdayakan sebagai ilmu untuk menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia.
Model ini hanya milik kaum penafsir kitab suci, kemudian hermeneutika
berkembang dalam berbagai bidang disiplin ilmu yang luas. Kajian terhadap
hermeneutika sebagai sebuah bidang keilmuan mulai marak pada abad ke-20, di
mana kajian hermeneutika semakin berkembang. Hermeneutika tidak hanya mencakup
kajian terhadap kitab suci saja (teks keagamaan) dan teks klasik, melainkan
berkembang jauh kepada ilmu yang lain. Adapun ilmu-ilmu yang terkait erat
dengan hermeneutika adalah ilmu sejarah, filsafat, hukum, kesusastraan, dan
bidang ilmu yang terkait dengan pengetahuan tentang kemanusiaan.
Secara
etimologis kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein,
yang berarti “menafsirkan, menerjemahkan, dan mengartikan”. Dari kata hermeneuein
ini dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran”
atau “interpretasi”, dan kata hermeneutes yang berarti “penafsir”. Kata
ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani Hermes yang
dianggap sebagai utusan dewa langit.10 Kedudukan Hermes adalah
dewa yang menyampaikan pesan para dewa kepada manusia sehingga dapat dikatakan
ia tidak hanya mengumumkan kepada mereka kata demi kata saja, melainkan
bertindak sebagai penerjemah yang menjadikan kata-kata para dewa dapat
dimengerti dengan jelas dan bermakna; di samping itu, dapat memunculkan
penjelasan terhadapnya atau hal lainnya sebagai tambahan, yang hal itu disebut
sebagai tafsiran hermeneutika. Dari sinilah hermeneutika terikat kepada
dua tugas yaitu, pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata atau
kalimat dalam teks; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat
di dalam bentuk simbolisasi.
Menurut
Bleicher,11 hermeneutika adalah disiplin ilmu yang menginterpretasikan
makna di balik simbol dengan tujuan agar memperoleh nilai makna yang
mentransendensikan makna literal, yaitu mengekspresikan dengan alat-alat
linguistik, sebuah makna yang hanya dapat dibayangkan dan sebaliknya harus
tetap diam. Usaha menafsirkan simbol akhirnya harus dilakukan dengan
“menggantikan” penilaian metaforis yang dicangkokkan simbol oleh sebuah
penilaian bukan metaforik, yakni mengulangi pertanyaan sekarang dari arah yang
berlawanan; penerjemahan yang telah terjadi di dalamnya sebuah konteks
metaforik grafis kepada konteks lain yang tidak metaforik, yaitu konteks
abstraksi-diskursif; maka tujuan interpretasi simbol-simbol dalam hermeneutika
tidak bertujuan mengganti makna simbolik dengan makna literal, melainkan pada
sebuah pendalaman pengayaan makna simbol.
Hubungan antara
makna simbol dan makna literal dalam ungkapan metaforis memberikan pedoman
tepat yang memungkinkan kita mengidentifikasi corak semantik yang tepat dari
sebuah simbol. Corak-corak ini adalah suatu yang menghubungkan simbol dengan
bahasa, yang untuk itu meyakinkan keutuhan simbol yang berbeda dari
keberagamannya di antara tempat yang banyak di mana simbol itu muncul.
Kemunculan dimensi semantik ini merupakan hasil dari sebuah pendekatan yang
panjang dan membingungkan kita tentang hakikat semantik simbol dengan corak
lainnya yang meresistensi transposisi apapun ke dalam bahasa. Sebagai
akibatnya, simbol hanya memberikan kemunculan pada pemikiran, bila simbol
pertama kali memberikan kemunculan pada pembicaraan.12
Simbol dapat dimaknai sebagai struktur
penandaan yang di dalamnya terdapat sebuah makna langsung, pokok, atau literal
yang menunjuk kepada, sebagai tambahan makna lain yang tidak langsung sekunder
dan figurative, dan yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama.
Pembatasan ekspresi dengan sebuah makna yang ganda ini terdapat dalam wilayah
hermeneutika.13 Simbol dalam
hermeneutika yang dimaksud adalah sebuah tanda yang merepresentasikan entitas
lain yang menunjuk pada suatu yang ada di luarnya.14 Makna simbol dalam hermeneutika bukan hanya
mengandung ranah semantik atau sistem tanda yang jelas, namun juga mengacu
kepada realitas di luar bahasa, lebih jauh simbol dalam bentuk gejala menunjuk
kepada kondisi-kondisi tertentu yang tersembunyi. Akhirnya, dapat disimpulkan
bahwa hermeneutika pada dasarnya merupakan salah satu teori (disiplin ilmu) dan
metode yang menyingkap makna di balik simbol sehingga dapat dikatakan bahwa
tanggung-jawab utama dan pertama dari hermeneutika adalah menampilkan makna
yang ada di balik simbol-simbol yang menjadi objeknya.
Pada gilirannya
konsep mengenai hermeneutika, menurut Paul Ricoeur itu, mencakup interpretasi
di mana interpretasi adalah karya pemikiran yang terdiri atas penguraian makna
dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang tersirat di dalam makna yang
literal. Interpretasi merupakan penggalian dan pemertahanan makna-makna awal
yang tersembunyi, dengan begitu simbol dan interpretasi menjadi konsep yang
saling berkaitan dalam hermeneutika, di mana interpretasi muncul karena makna
jamak berada dan di dalam interpretasi simbol pluralitas makna termanifestasikan.15
Interpretasi
atas simbol yang terdapat dalam karya sastra tetap melandaskan penafsirannya
pada tiga tahapan yang dikemukakan Ricoeur (level semantik, level refleksi, dan
level eksistensial) karena hermeneutika dalam karya sastra adalah suatu usaha
menyingkap, menafsirkan atau menginterpretasikan makna yang terdapat dalam
simbol-simbol bahasa sebagai media (bahan baku) karya sastra. Hermeneutika
dalam menafsirkan simbol yang terdapat dalam karya sastra akan melewati empat
tahap, yaitu: pertama, tahap menentukan arti langsung yang primer; kedua,
tahap menjelaskan arti-arti implisit dalam simbol; ketiga, tahap
menentukan tema; keempat, tahap memperjelas arti-arti dalam teks.16
Penafsiran
hermeneutika terhadap karya sastra akan bergantung pada sisi mana yang akan
diungkap sebab yang terpenting dalam penafsiran hermeneutika adalah
interpretasi simbol yang jelas dengan tanpa ada unsur yang dihilangkan.
Karenanya, Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika adalah teori mengenai
aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan
tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks. Kajian hermeneutika bertujuan
untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara
membuka selubung-selubung yang menutupinya sehingga dapat mengurai makna dari
simbol-simbol tersebut, maka langkah kerja pemahaman atau interpretasi simbol
dalam hermeneutika menurut Paul Ricoeur terdiri atas tiga langkah sebagai
berikut:
1. Langkah
simbolik, atau pemahaman simbol ke simbol;
2. Pemberian
makna oleh simbol, serta penggalian yang cermat atas simbol;
3. Langkah
filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik-tolaknya.17
Ketiga langkah
di atas tidak akan lepas dari pemaknaan secara semantik karena hermeneutika
sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika
linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman
makna dengan menggunakan “makna kata”, dan selanjutnya sampai kepada tataran
pemaknaan pada aspek simbol. Ketiga langkah pemaknaan yang dikemukakan Ricoeur
tersebut menjadi aspek langkah yang harus dilakukan dalam kajian hermeneutika
sebagai usaha untuk menafsirkan atau menginterpretasikan makna yang terdapat
dalam simbol.
Daftar Bacaan
1 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2000), hal. 12.
2 Heru Kurniawan, “Etika dan Estetika dalam
Sastra Sufi” (Semarang: Wawasan, 22 Mei 2005), hal. 17.
3 Abdul Wachid B.S., Ijinkan Aku Mencintaimu
(Yogyakarta: Bukulaela, 2002), hal: 125.
4 Ibid.,
hal. 125.
5 Abdul Wachid B.S., Membaca Makna: dari
Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (Yogyakarta: Grafindo Litera Media,
2005), hal. 161-164.
6 Ibid.
7 Korrie Layun Rampan, Angkatan Sastra 2000 (Jakarta:
Grasindo, 2000). Buku ini membahas tentang sastrawan dan karyanya yang oleh
Korrie Layun Rampan disebutnya sebagai Sastrawan Angkatan 2000, dan Abdul
Wachid B.S. termasuk di dalam Angkatan ini.
8 Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika,
dan Religiositas (Yogyakarta: Mahatari, 2004), hal. 33.
9 Ibid., hal. 34-35.
10 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani:
antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2003), hal.
20.
11 Josef
Bleicher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan
Kritik (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hal. 5.
12 Paul Ricoeur, The Interpretation Theory
(Yogyakarta: IRCISoD, 2002), hal. 121.
13 Ibid., hal. 276.
14 Josef Bleicher, Hermeneutika, hal. 53.
15 Ibid., hal. 376.
16 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian
Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta Press, 2003), hal. 45. Tentang metode-metode dalam penelitian
sastra, salah satu metode yang dipaparkan adalah metode penafsiran
hermeneutika. Kiblat metode penafsiran hermeneutika yang dipakai dalam buku ini
adalah metode hermeneutika Paul Ricoeur.
17 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani:
antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2003), hal.
36.
Biodata Penulis
Heru Kurniawan, lahir di
Brebes, 22 Maret 1982. Dia merupakan pengajar di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri
Purwokerto. Menulis banyak buku mengenai parenting, bacaan anak, pendidikan dan
pengembangan kreativitas. Dia adalah founder Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK).
Dengan RKWK yang dikelola telah mendapatkan penghargaan dari Bupati Batang
2016, Kemdikbud RI 2017, Integritas Taman Baca KPK 2017, dan Gramedia Reading
Community 2018.