Kota yang Merindukan Pagi
Mungkin
sejak ribuan tahun lampau kota kami tidak lagi mengenal pagi. Entahlah, kami tak
tahu persis. Saat kami tanyakan hal itu pada bapak-ibu dan kakek-nenek kami,
tak kami temukan jawaban pasti. Semua orang yang masih hidup mengaku sejak
lahir belum pernah menikmati pagi di kota ini.
Kami
tahu, di kota-kota lain, pagi selalu muncul lengkap dengan kicauan
burung-burung dan matahari yang terbit di ujung timur. Matahari itu akan terus menaiki
tangga langit, tiba di puncak, dan perlahan lengser ke barat, memasuki sebuah
pintu, menutup pintu itu dari dalam, sehingga bumi jadi gelap.
Sangat
berbeda dengan yang terjadi di kota kami. Tahu-tahu matahari sudah di puncak
langit, tersaput awan tebal yang bukan mendung, menjadikan bumi meremang, dan
keremangan itu kian lama mengental; sempurnalah malam.
Sejak
kapan kota kami tak mengenal pagi? Misterius. Tapi tak penting benar untuk
mengungkapnya. Terpenting sekarang, bagaimana cara agar kota kami kembali
mendapatkan pagi. Pagi, yang menurut
dugaan kami, telah dirampok oleh para srigala.
Srigala, bagaimana mungkin?
Dengarkan ini! Kota
kami di kelilingi puluhan bukit kapur yang tandus serta sebuah gunung tinggi kekar
angkuh di sebelah timur. Gunung Srigala, demikian kami menyebutnya. Nama itu
lahir karena gunung itu dihuni oleh ratusan srigala. Setiap hari selalu terdengar
aum srigala dari gunung itu. Aum srigala yang bisa kapan saja muncul, saling
bersahutan, bising dan sangat menambah ketidaknyamanan hari-hari kami.
Tak
seorang pun warga ada yang berhasil menaklukkan puncak gunung Srigala. Entah
berapa ratus orang—disebabkan karena kemarahan dan sebagian ingin disebut
pahlawan—telah mencoba untuk melawan srigala-srigala yang mendiami puncak
gunung itu. Tetapi begitulah, tak seorang pun dari mereka ada yang berhasil,
sebagian besar justru hilang, baik nama maupun jasadnya.
Tak
hanya itu, setiap kali ada orang atau sekelompok orang yang nekad menaiki
gunung Srigala, maka kurang dari dua puluh empat jam kemudian, ratusan srigala
akan turun dan mengamuk ke kota. Memasuki rumah-rumah dan memporak-porandakan
isinya dan tak segan-segan membinasakan orang-orang yang berusaha melawan.
Kami
bukan penakut! Kami telah melawan amukan para srigala itu, meski kekuatan mereka
tak tertandingi. Betapa tidak? Mereka adalah makhluk-makhluk aneh yang kuat dan
jahat. Tubuh-tubuh mereka seperti dilindungi baju baja, tidak mempan oleh
tombak, panah, dan parang. Akibatnya, semakin kami berusaha melawan, maka
semakin banyak korban berjatuhan.
Sampai
kemudian diadakanlah sebuah pertemuan yang sangat rahasia. Pertemuan yang diikuti
oleh sekelompok pemuda dan sesepuh kota, diadakan di bawah tanah yang rahasia. “Manusia
lebih unggul dari makhluk apa pun,” kata sesepuh kota yang memimpin pertemuan. “Srigala-srigala
itu harus kita tumpas. Mereka telah merampas apa-apa yang kita miliki. Dan saya
yakin, mereka juga telah merampas pagi yang semestinya dimiliki oleh kota ini.”
Pagi?
Srigala-srigala itu telah merampas pagi yang menjadi hak kami, penghuni bumi?
Orang-orang yang mengikuti pertemuan saling pandang.
“Kalian
tahu,” lanjut sesepuh itu. “Matahari selalu terbit dari timur. Semestinya kita
bisa melihatnya menggelimangkan cahaya, menyembul dari gunung itu setiap hari.
Tapi, begitulah, srigala-srigala itu telah merampoknya. Bukankah srigala lebih
menyukai bulan dan membenci matahari? Sangat mungkin mereka telah ramai-ramai
menangkap matahari itu ketika melintas di pucuk gunung, dan dengan kekuatan
sihir mereka berhasil menangkapnya, lalu mereka mengundang ribuan gulungan awan
dari berbagai penjuru dan setelah awan itu berkumpul di langit, barulah mereka lepaskan matahari.”
Keesokan
harinya, sesepuh kota yang berkoar-koar itu ditemukan mati mengenaskan di
kolong ranjangnya. Tubuhnya tinggal tulang belulang. Tak ada keluarga yang
menangisinya, karena semua keluarganya telah juga bernasib sama. Apa yang sudah
disampaikan sesepuh kota di pertemuan rahasia itu dengan cepat menyebar dari
mulut ke mulut, diterbangkan angin, memasuki rumah-rumah, lalu singgah di dada
semua orang dan tidak mau keluar lagi.
Lalu
sekelompok pemuda yang sudah sangat malu dengan kota-kota lain karena sering
diejek sebagai pengecut mengawali sebuah aksi. Mereka berkumpul di alun-alun
kota, meneriakkan yel-yel, sebelum kemudian bergerak menuju gunung Srigala.
Tak
diduga, sekelompok pemuda yang berani dan tangguh tersebut berhasil menyeret
seekor srigala hidup-hidup. Seekor srigala bertubuh gemuk dengan bulu yang
bukan abu-abu, melainkan kuning keemasan. Bulunya itu, ah, sangat berbeda dengan
srigaga-srigala lain yang pernah kami lihat. Bulu srigala itu lebih menyerupai
pakaian yang dilapisi emas berkilauan. Barangkali srigala itu adalah pemimpin
kawanan srigala. Entahlah. Kami tak peduli.
Kami
mengarak srigala itu keliling kota dan mengikatnya dengan rantai baja di tiang
besi di tengah alun-alun. Tetapi yang terjadi kemudian seratusan srigala mendadak
datang menyerbu kota, mengepung kami yang berkumpul di alun-alun. Mereka
berdiri tegap, mengaum berahutan. Mata mereka merah menyala, taring-taring
mereka yang runcing berkilatan.
Tubuh
kami gemetar, gentar. Jumlah kami memang lebih banyak dari srigala-srigala itu,
tetapi kami sadar kekuatan kami tak sebanding dengan mereka. Namun, sekelompok
pemuda yang telah berhasil menangkap seekor srigala itu yakin sanggup
mengalahkan mereka.
“Lawan!”
mereka mengacungkan tangan terkepal.
“Lawan!
Lawan! Lawan!”
Wajah
merah yang menyala-nyala dan teriakan-teriakan yang keras sanggup mendesirkan
setiap dada. Keberanian kami yang sempat lumpuh mendadak tegap. Lalu seolah
muncul suara dari alam bawah sadar kami: untuk sebuah perubahan, memang
dibutuhkan keberanian berlipat.
Melihat
keberanian yang terpancar di mata kami, juga teriakan-teriakan kami yang
lantangkan, seratusan srigala itu saling pandang sejenak, lalu mundur
selangkah. Yang kami inginkan mereka pergi agar tidak terjadi pertumpahan
darah. Tetapi itu tidak terjadi. Ketika kami maju setelah terlebih dulu
merapatkan barisan, mereka justru terlihat geram.
Pertumpahan
darah tak bisa dicegah. Kami melawan dengan senjata seadanya dan keberanian
yang menyala-nyala. Korban-korban dari kalangan kami berjatuhan satu-satu. Banyak
orang mendadak kesurupan, keluar taringnya, mengaum bak srigala. Orang-orang
yang membuat suasana kian tidak menentu. Mereka membakar rumah-rumah, menjarah
toko dan swalayan, memperkosa gadis-gadis. Kian lama kian banyak yang
kesurupan, dan kekisruhan dengan cepat merambat. Sementara kami, sedikit orang
yang masih bisa mengendalikan pikiran, gigih bertarung melawan kawanan srigala.
Demi pagi yang telah mereka rampas, kami siap jika harus kehilangan nyawa.
Dan
etah kenapa, tiba-tiba kawanan srigala itu berhenti menyerang kami ketika seokor
srigala berbulu kuning keemasan yang kami ikat di tengah alun-alun itu melolong
panjang.
“Kami
tahu daripada apa yang kalian mau,” ujar Srigala berbulu keemasan, mengagetkan.
Ternyata srigala itu bisa bicara seperti manusia. “Bahwa daripada pagi kalian
memang telah saya yang sembunyikan. Daripada itu saya minta maaf.”
“Enak
saja minta maaf, emangnya kami apaan?” lantang seseorang.
“Bunuh!”
sahut yang lain.
“Sembelih!”
Baru
kami hendak bergerak maju kawanan srigala telah terlebih dulu meloncat, membuat
benteng pertahanan mengelilingi srigala berwarna kuning keemasan. Mereka hanya
berdiri diam, tak menyerang. Bahkan ketika kami mendesak maju dan memukuli
kepala mereka. Mereka cuma sesekali menghindar, tak membuat perlawanan sama
sekali. Mungkin mereka telah menyerah. Lidah mereka memang masih
menjulur-julur, sebagian meneteskan darah, tetapi mata mareka tak lagi nanar.
Kami pun mendadak tersadar bahwa sebenarnya srigala bukanlah makhluk yang buas,
tetapi mereka selalu menempatkan keluarga di atas segalanya. Mereka pastilah
ingin melindungi srigala berbulu kuning itu dari amukan kami. Karena tak ingin
jatuh lebih banyak korban, maka kami lepaskan rantai yang mengikat raja
srigala, dan seketika itu juga kawanan srigala berhampuran pergi meninggalkan
alun-alun.
Sejak
kejadian itu, kehidupan di kota kami tidak banyak berubah. Orang-orang memang bisa
keluar rumah tanpa takut diserang srigala. Tetapi matahari pagi yang kami
rindukan tak kunjung muncul. Kami juga tidak takut-takut lagi mendaki gunung
Srigala, meskipun untuk mencapai puncaknya tidaklah gampang, karena di punggung
gunung itu, ada sekawanan srigala sigap menjaga. Hanya orang-orang tertentu
saja yang diijinkan melewati gerbangnya, sebagian besar dari mereka adalah
orang-orang yang dulu berhasil menangkap srigala berbulu kekemasan itu.
“Kami
sedang berupaya mengembalikan matahari di kota ini,” terang salah seorang ketika
ia kembali dari puncak gunung. Hanya itu, hanya kalimat itu saja yang selalu
dan terus menerus kami dengar dari mulut orang-orang yang menjadi wakil kami
untuk berjuang mengembalikan pagi kota kami. “Srigala berbulu kuning keemasan itu
memang telah mati digerogoti usia, tetapi kalian tentu paham, matahari yang ia
sembunyikan bertahun-tahun lamanya, butuh waktu untuk membujuknya mau bersinar
di kota ini.”
Berhari-hari,
berbulan-bulan, bertahun-tahun, kami menunggu, kota kami tak kunjung disapa
matahari.
***
Dengarkan suara hati
kami yang merindukan pagi. Pagi dengan matahari yang menyebar ke sudut-sudut kampung, menumbus ke
gubuk-gubuk pinggir kali. Kami menunggu, seperti tahun-tahun yang telah lalu,
kami masih menunggu, terus menunggu, mungkin
sampai sesuatu yang lain yang juga kami tunggu datang menjemput kami lebih
dulu.
TENTANG PENULIS
Jusuf AN (M. Yusuf Amin Nugroho) lahir di Wonosobo, 2 Mei 1984. Penulis pernah belajar bersama kawan-kawan Komunitas Rumah Poetika dan Sanggar Jepit Jogjakarta, telah menerbitkan lima novel, yaitu Jehenna (2010), Burung-Burung Cahaya (2011) dan Mimpi Rasul: Bibir yang Ingin Dicium Rasulullah Saw (2011), dan Pedang Rasul (2012), Kailasa (2016).
Kumpulan cerpennya berjudul: Gadis Kecil yang Mencintai Nisan (2012), mendapat penghargaan Sastra untuk Pendidik dari Pusat Bahasa (2013). Kumpulan puisi tunggalnya berjudul Sebelum Kupu-kupu (2009) mendapat penghargaan dari Pusat Perbukuan Nasional. Kumpulan cerpen Ibu yang Selalu Berdandan Sebelum Tidur diterbitkan Penerbit Basabasi (2017) Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai tersebar di berbagai media daerah dan pusat, antara lain Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Femina, Majalah Anggun, Majalah Ummi, Majalah Sabili, Suara Merdeka, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dll.
Cerpennya tergabung dalam antologi bersama, Robingah Cintailah Aku (2007), Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen TSI II,2009), Tiga Butir Peluru (2010), Perayaan Kematian: Liu Tse (2011).
Puisinya dimuat dalam antologi:
Kisah-Kisah Dari Tanah di Bawah Pelangi
(2008) dan Antologi Pendhopo #5 (2008), dll. Selain aktif menulis, penulis kini menjadi staff pengajar di Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Sains Al-
Qur’an (UNSIQ) Wonosobo. Email: yusufamin@unsiq.ac.id. Beberapa tulisannya dapat dilihat di http://dindingsastra.blogspot.com