TIADA YANG BAKAL DIRINDU
Percikan
cahaya surya begitu menyayupkan mata. Terlihat begitu cantik dan gagahnya di
Barat mentereng seperti pemilik tata surya di muka bumi. Pak Jarwo menggoes
sepeda bututnya memboncengkan istrinya yang telah rapuh. Aku melihatnya begitu
tersayat, hatiku tersayat api dengki. Sepagi ini Darso-suamiku masih
enak-enakan memeluk bantal guling yang sangat lusuh, katanya bantal itu
menemani tidurnya semenjak ia brojol dari Rahim Ibunya. Jika tak ada bantal
guling itu Aku yang dijadikan samsak tinju. Mukaku selalu jadi sasarannya. Ayam
Bangkok milik suamiku yang kandangnya setumpuk seperti tumpukan uang yang
berarti baginya, namun tidak bagiku terus pentas menyuarakan nada terbaiknya.
Biasanya mereka merindukan belaian majikan malasnya itu. Aku sangat jijik
ketika melihat tai ayam yang bergunung-gunung. Baunya seperti bangkai manusia
yang tidak dikubur seminggu “hoekkk”
sebuah istilah yang selalu terlontar ketika aku menyamperi kandang buruk rupa
itu.
Aku
tengah menyapu di bawah pohon asam pelataran rumah, sungguh kotor sekali. Tak
heran jika seperti itu karena semalam hujan sangat lebat sekali akibatnya bau
kotoran ayam sialan itu berlarian ke
mana-mana. Aku sangat benci hal itu. Tapi suamiku sangat cuek dengan keberadaan
bau semprul yang selalu menghantui
kami selama musim hujan bergerak. Aku terus menyapu dan menyapa
tetangga-tetanggaku yang tengah melakukan kegiatan sama-menyapu dan
membersihkan pelataran rumahnya. Mbak Runtah, salah seorang tetanggaku yang
memiliki suami sepertiku, malasnya minta ampun. Tapi, kalau dilihat rumah
tangganya damai-damai saja. Tidak seperti Darso, lelaki sembrono itu “ahhh,
luar biasa biadabnya” kataku dalam hati.
Jarum
jam menunjuk ke angka 10, matahari mulai bergeser ke arah timur. Jago-jago itu
semakin berisik karena kelaparan. Si Pemalas akhirnya ke luar dari pertapaannya
meninggalkan bantal guling yang bau jigong.
“Tembe tangi, Mas? Ngapa bae mau mbengi neng
umahe Kang Darsim?” Tanyaku dengan ketus karena muak melihat muka si malas
itu.
“Iya, genah-genah tembe tangi bisa takon. Tes
masang nomer.” Jawab Suamiku balik
ketus terhadap istrinya, bau jigong
itu menyambar hidungku.
“Hoekkkk.”
Aku sangat muak akan kemalasan itu. Aku terdiam dan ingin sekali mengamuki
mukanya yang masih penuh dengan kerak mata. Sebenarnya aku sudah muak dengan
perilakunya. Tapi, aku masih berusaha sabar hingga badanku kuru aking tak terawat. Ya, mau perawatan bagaimana? Untuk makan di
besok hari saja kami keteteran. Bahkan terkadang kami hanya makan nasi sisa dan
dijemur untuk dijadikan nasi aking. Itupun perutku masih bernyanyi, nyanyian
nelangsa.
Setelah
Darso selesai memberi makan ke anak kesayangannya dia langsung duduk di krotak
depan rumah yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Tamunya ya hanya
teman-teman si pemalas itu yang hendak mengadukan jagonya.
“Mah, gawekna kopi.” Perintah Darso
sembari menyalakan rokok. Asap rokok kretek murahan itu membuatku mual.
Tanpa
banyak kata diriku langsung melangkah ke pedangan
mencari toples yang biasa kami gunakan sebagai tempat menyimpan kopi. Alangkah
kagetnya ketika kubuka toples itu ternyata isinya menganga hanya menyisakan
sedikit kopi yang sudah hampa tak berasa. Aku mencoba mencari persediaan kopi
di lemari. Kubuka dan kugeladahi semuanya ternyata tidak ada sisanya, kemudian
kucoba membuka gentong penyimpanan bahan-bahan makan sebulan. Setelah kubuka
tutupnya. “Ya Tuhan, kami tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan” aku sedikit
menggerutu dalam hati,
“Wis entek, Pa. Wis ora due stok nggo madang
pirang dina maring ngarep.” Jawabku sedikit marah dan dibumbui kesedihan
memiliki suami gendeng seperti ini.
“Lah, ko si kepriwe dadi wong wadon.
Bisa-bisane stok panganan ora digatekna!” Gentak Darso tanpa rasa melas
kepadaku.
Aku
hanya diam dan meratapi nasibku yang begitu malang seperti ini. Kalau saja dulu
aku lebih memilih Tugiman-Pria pilihanku yang sekarang sudah jadi juragan
sembako pasti nasibku berubah tigaratus enampuluh derajat. Semua ini karena
perjodohan orang tuaku. Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan orang tuaku.
Mereka menjodohkanku di usia 16 tahun dengan Darso yang saat itu hampir
berkepala tiga karena terlilit hutang dengan keluarga Darso dan akulah gadis
satu-satunya pengharapan mereka untuk melunasi hutang sebesar 100 juta. Jadi
beginilah nasibnya. Sebenarnya dua tahun yang lalu Aku dan Darso masih bisa
bepergian mengendarai mobil bak terbuka, rumah kami gedung. Jika aku boleh
mengatakan, kami termasuk orang kaya di desa Sindurasa. Tapi apa? Sekarang
semua berubah drastis karena Darso gunanya membuang hartanya untuk judi.
Terakhir rumah kami melayang karena Ia kalah judi dengan Juragan Wasman. Aku
menangis tersedu-sedu mengingat semua yang telah terjadi.
Aku
tak boleh menyalahkan siapapun. Ini salahku, aku harus bekerja lagi untuk anak
kecilku yang tengah sekolah. Jangan sampai anakku merasakan pahitnya kehidupan
ini. Cukup aku saja dan si Pemalas itu. Dengan terpaksa aku berjalan dengan
penuh perasaan malu ke warung Yu Ning untuk menghutang setengah kg beras, kopi,
gula, dan garam. Agar dapurku tetap menyala.
“Yu, aku njiot beras setengah kilo, kopi jawa
karo gula pasir 2 plastik bae, terus uyaeh, Yu.” Pintaku dengan muka
berantakan sehabis menangis.
“Jiot bae, Jah. Gampang dibayar pas ko lagi
ana bae.” Jawab Yu Ning dengan senyum menyeringai. Seakan dia tahu apa yang
tengah aku alami ini.
“Temenan kie, Yu?” Aku bertanya karena
tak yakin dengan perlakuan Yu Ning yang terlewat baik kepadaku. Padahal
utang-utangku sebelumnya hampir setengah juta. Tapi dia mau dihutangi lagi, Ya
Tuhan.
“Temenan, Jah, nek butuh apa-apa gari mrene
bae. Bakal tek bantu insya Allah.” Jawab perempuan separuh baya dengan
kerudung putih yang selalu menutupi kepala yang sudah ditutupi uban.
“Ya Gusti, Maturnuwun, Yu Ning.” Jawabku
diiringi isak haru, diriku tidak percaya di zaman ini masih ada orang yang mau
membantu dengan sepenuh hati.
Aku
beranjak pulang dari warung Yu Ning yang berjarak 2 rumah dengan gubuku. Saat
sampai, aku tertegun melihat ada dua orang yang tengah asyik dengan jagonya
masing-masing. Sudah bisa kutebak, mereka teman Darso yang biasa totoan adu
ayam. “Ya Tuhan Si Pemalas ini.” gerutuku dalam hati. Aku melanjutkan langkah
kakiku menuju ke dalam rumah dengan acuh tanpa memedulikan keberadaan mereka.
“Hee bojo gemblung. Ndi kopine!” Bentak
Darso dengan kata kasar.
Ya
Tuhan, Dasar Pemalas yang hanya bisa mengata-ngatai, mencaci-maki istri yang
telah kuru aking seperti ini oleh
perbuatannya dasar lelaki bajingan!
Mataku
kembali menitikan air penghabisan. Aku telah putus asa. Harus bagaimana lagi
menghadapi si Pengangguran malas ini. Dia memang kerja, tapi kerjaanya hanya
memeras kebahagiaan istrinya yang selalu memberi pelayanan terhadapnya. Aku
sudah berusaha bertanggungjawab sebagai istri sesuai syariat agama. Tapi,
lelaki bajingan ini hanya nganggur,
tidak bekerja sama sekali. Agar bisa menutupi makan tiga kepala, ia hanya mengandalkan
tarung jago dan nomer togel. Aku tidak tahu harus melakukan apa saja. Omongan
tokoh masyarakat yang pernah kumintai pertolongan untuk menyadarkanya tidak
mempan. Bahkan omongan istrinya yang dulu dipuja-puja dianggap sampah yang
berserakan dan mengganggu hatinya.
Aku
bergegas ke dapur menyeduh kopi hutangan dari Yu Ning untuk dua orang teman
lelaki tengik itu. Langsung kusodorkan dengan muka acuh ke mereka bertiga.
”Kerja o, Mas. Melasi Dikin wis meh lulus SD.
Wis meh mlebu SMP butuh biaya akeh banget. Apa ora mikir tekan ngonoh, Mas?” Kalimat
itu sontak ke luar dari hatiku yang telah muak dengan perilaku Darso.
Tanpa
banyak bicara Darso langsung mengambil kopi yang kubuat dengan penuh kasih
sayang dan disemprotkannya tepat ke mukaku. Padahal ada dua orang yang hendak
mengadukan jagonya. Mereka pura-pura tak melihat peristiwa itu dan pergi secara
perlahan dari mataku.
“Bajingan koe. Ngerti apa koe tentang aku.
Aku ngode esuk, awan, wengi ya nggo koe karo Dikun!” Dia tersinggung dengan
omonganku tadi.
“Ngodemu kue dilarang Agama, Mas, sadar o.”
Suaraku melirih berusaha menenangkan lelaki keras kepala ini.
“Agama apalah. Ora susah nggawa-nggawa Agama
nang uripku. Aku urip-urip dewek be teyeng nggolet duit.” Jawabnya angkuh
seperti orang yang lupa akan tanggung jawab.
“Plakk.”
Suara tangan Darso begitu keras menyambar kepalaku tepat di bagian mata. Aku
langsung tergelepak. Seluruh pandanganku buram dan sayup. Sayup, damai seperti
yang kuinginkan dalam kehidupanku bersama Darso. Tapi, apalah dayaku. Omonganku
sudah tak pernah digugu. Aku bagai buih di tengah lautan, kecil dan tidak
terlihat di mata hatinya.
Burung
pleci hinggap di pohon asam depan rumahku. Mereka bercericau seperti
mengobrolkan sesuatu yang tengah panas-panasnya dan enak dijadikan bahan
obrolan. Gerombolan bangau terbang memotong langit ke arah utara menuju ke
sawah. Mereka hendak mencari makan. Begitu bertanggungjawabnya sang Bangau
dengan diri dan keluarganya sendiri. Begitu damai perasaan luarku tapi tidak
dengan pedalamanku. Ketika awan tengah memunculkan rona jingga semu gelap aku
mengemasi baju-bajuku dan Dikun. Ini sudah sebuah keputusan bulat. Aku akan
berpisah dengan si Bajingan yang tak
bertanggung jawab dan kerjaanya hanya menyiksa diriku saja. Aku berjalan cepat
diikuti Dikun yang menangisi Bapaknya. Dia tahu kami berdua akan becerai. Saat
aku hendak ke luar, Darso tengah memandikan ayam-ayam yang dijadikan anak oleh
dirinya. Matanya tak melirik sama sekali. Dia tidak peduli dengan kepergianku.
Tambah yakin aku harus pergi dari rumah yang dihuni oleh iblis neraka ini!
Mataku terus menitikan air permata yang tak ada habisnya. Mungkin badanku
kering karena terkikis oleh air mata yang terus dipaksa mengalir setiap hari.
Aku takan peduli dia mau hidup bagaimana. Yang penting aku harus pergi jauh
dari sini. Aku terus berjalan tanpa tujuan.
24 Januari 2022, Gunungkarang
Tentang Penulis
’Penulis bernama Muhammad Aziz Rizaldi. Ia terlahir
pada 7 April 2001. Ia tinggal di Desa Gunungkarang, Kecamatan Bobotsari,
Kabupaten Purbalingga. Ia tengah menempuh studi sarjana pada Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia merupakan pegiat isu dan kritik sosial.
Karyanya yang sudah dimuat dalam media massa berupa esai berjudul Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan
dalam rubrik Opini Redaksi Metafor.id (2021), esai berjudul Degradasi Moral di Indonesia diterbitkan
Kumparan.com (2022), esai Negara Hukum
yang Bobrok diterbitkan Kumparan.com (2022),cerpen berjudul Lelaki Tua yang Tabah yang diterbitkan
tiga kali antara lain: rubrik sastra Redaksi Marewai (2022), Redaksi Bhirawa online (2022), dan Redaksi Mbludus (2022).
Ia dapat dihubungi melalui :
Surel: azizrizal218@gmail.com
Instagram: muhammadazizrizaldi (SanguSang)