AKTUALISASI SASTRA
PESANTREN
Bahasa dan sastra sebagai media untuk menjelaskan
pesan hasil pemikiran maupun rasa seringkali disalahpahami, apalagi jika
diberikan tafsir secara lisan yang bersifat spontan. Sebagai contoh adalah
Surat edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di
Masjid dan Musholla yang diberikan penjelasan saat wawancara oleh Menteri Agama
sendiri. Hal itu ternyata menjadi heboh dan viral di media sosial pada akhir bulan Februari dan awal Maret 2022. Kritikan bahkan umpatan
datang dari kelompok yang tidak sependapat. Padahal, dalam konteks sastra
pesantren (ilmu balaghah), penjelasan
Menteri Agama ini menguatkan tentang betapa penting menjaga kerukunan dengan membangun
tenggang rasa dan ketenangan lingkungan.
Dalam upaya untuk mendapatkan pengertian yang “cetha
wela-wela” alias terang benderang, Menteri Agama membuat analogi atau tasybih
berupa adzan lewat pengeras suara yang bersautan, dengan volume yang tinggi antar
masjid dan musholla yang berdekatan itu akan mengganggu kenyamanan warga
sekitar tempat ibadah tersebut. Kondisi yang mengganggu ini juga bisa terjadi
pada suara lolongan anjing yang dimiliki oleh orang-orang yang bertetangga.
Anjing-anjing tetangga ini jika jumlahnya banyak dan dalam waktu yang bersamaan
menggonggong dengan suara keras pasti akan mengganggu warga atau tetangga di
sekitarnya.
Fokus penyerupaan atau wajahu syibhi-nya adalah
berupa suara keras yang “mengganggu” kenyamanan hidup bersama bukan menyamakan
adzan muadzin dengan lolongan anjing. Sekali lagi, bukan juga menyamakan adzan
dengan lolongan apalagi menyamakan antara muadzin dengan anjing. Begitulah Sastra Arab (balaghah)
meningkatkan ketajaman rasa dan mencerdaskan jiwa. Sehingga, setiap pemeluk agama yang paham akan bahasa
dan sastra pesantren akan mudah menangkap ungkapan dan pesan baik yang lugas
maupun simbolik dan tidak mudah salah paham apalagi menyalahkan paham orang.
Banyak pendapat yang biasa dan wajar dalam konteks kajian
bahasa dan sastra direspon oleh publik secara berlebihan, karena lepas dari
konteksnya (tidak mengerti tentang muqtadlol hal-nya). Pada masa Orde Baru, Nurcholish Madjid pernah mengartikan kalimat
la ilaha illa Allah, dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dalam kajian bahasa
memaknai kata ilah dengan tuhan (menggunakan t kecil) dan kata Allah berarti
Tuhan (dengan huruf T besar) sudah diperdebatkan dalam studi Bahasa Arab di pesantren. Ada perdebatan, apakah lafadz
Allah itu musytaq (bentukan dari kata ilah yang diberi al atau alif lam) atau jamid (kata asli, bukan bentukan dari kata ilah).
Kajian semantik yang bersinggungan dengan teologis ini kemudian menjadi polemik
pemancing amarah sebagian umat yang belum memahamai tentang karakter Bahasa dan Sastra Arab. Bagi komunitas pesantren, pendapat ini sudah biasa karena dari
awal belajar Bahasa Arab ada bab tentang isim nakirah (undefenitif)
dan ma’rifat (defenitif) atau pembahasan tentang al ta’rif. Kalam konteks bahasa dan sastra pesantren terjemahan Cak
Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) itu, wajar, rasional, dan
diperbolehkan.
Dalam konteks sosial-politik, bahasa dan sastra
pesantren diaktualisasikan di dalam dan di luar pesantren oleh santri di mana pun
mereka tinggal dan menjadi tokoh spiritual di lingkungannya. Lagu-lagu modifikasi
Arab-Jawa lekat dalam tradisi spiritual santri yang dikenal dengan sebutan Islam
Nusantara. Santri telah menyatu dengan tradisi kejawaan (keindonesiaan)
dengan keislaman yang dipeluknya. Keduanya dipahami dan diekspresikan 100%. Tidak
kurang. Keislaman seperti ini menampilkan wajah keteduhan dan kedamaian dalam
beragama. Syair-syair besutan wali dan kiai pesantren, berbicara begitu dalam
akan arti penyatuan jiwa lokalitas dan globalitas yang terpatri kuat dalam
sanubari para santri dan komunitasnya. Syair seperti Lir Ilir dan Dandang
Gulo menjadi milik bersama bangsa Indonesia. Selain sebagai penyejuk jiwa juga menjadi pitutur
luhur yang sarat makna bagi siapapun yang mendengarkannya.
Geliat upaya pelestarian sastra pesantren terus tumbuh
tak terkecuali dilakukan oleh Pesantren Mahasiswa An-Najah dengan program “Pondok
Pena” yang secara kontinyu menyelenggarakan perbincangan santai sastra
pesantren yang dikemas dengan nama Blakasuta dan perlombaan nasional
rutin dua tahunan dengan nama Pesantren Menulis. Gayung bersambut, dunia
pesantren termotivasi untuk mengusung tema-tema sastra pesantren sebagai bentuk
aktualisasinya sebagaimana biasa mereka belajar dalam kesehariannya tentang
Bahasa Arab. Dalam rengkuhan sastra pesantren yang teraktualisasikan dalam berbagai
bentuk lagu-lagu dan syair-syair, tradisi ini telah menjadi jaminan kuat bagi
“semua” bahwa kehidupan beragama yang moderat, toleran, dan damai benar-benar
ada dan nyata dalam kehidupan.
Tentang Penulis
Dr.
K.H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah pengasuh Pesantren
Mahasiswa An-Najah, Rektor UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto (UIN
Saizu), dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Banyumas. Ia
menulis dalam bentuk buku, artikel jurnal ilmiah, karya sastra dan lainnya.